Diambil dari Google. |
Modernisme sebagai
“yang Lain”
Oleh:
Umar Fauzi Ballah*
Puisi, sebagai anak kandung bahasa,
sebenarnya tidak lebih dari sekadar media berkomunikasi. Sebagai media atau
alat, ia menyimpan makna dan menjadi penghantar bagi pembaca. Celakanya, makna
dalam bahasa puisi sudah terlanjur “berbelit-belit.” Namun, memang itulah yang
hendak digapai kaum penyair. Puisi dengan sendirinya menanggung risiko
tersebut. Bukan puisi namanya jika tidak begitu. Puisi adalah komunikasi
estetik. Ibarat batu, ia bukan batu kerikil. Puisi adalah intan.
Puisi adalah sesuatu “yang lain” dari bahasa. Karena
itu, puisi, konon, bersifat eksklusif. Tidak mudah memasuki bahasa puisi.
Kesadaran seperti itulah yang dialami Fendi Kachonk. Puisi sebagai sesuatu “yang lain”
kemudian ia tarik untuk menyampaikan kegelisahan tentang yang lain yang juga terdapat dalam realitas di luar teks. Alhasil,
puisi-puisi bertajuk yang lain yang
sedang saya hadapi ini adalah seperti idiom “cahaya di atas cahaya.”
Kini sang penyair sedang berhadapan
dengan kegelisahan tentang yang lain.
Kampung yang lain, tubuh yang lain, paragraf yang lain dan Madura yang lain
menyimpan kegelisahan yang tak tertanggung. Penyair seperti melihat ada yang
bukan bagian darinya, bukan bagian dari yang asli. Yang lain ini kadang
dikhawatirkan sedemikian rupa. Orang-orang
tak mengingat waktu,/ tak
mengingat nama hari, hanya gemar/ dengan
acara, mengajari anak-anak mampu/ berkidung
seperti burung, meniru peluit angina/ dan menghafal letak serta alamat
bintang.
Sesuatu yang lain
menuntut untuk diperkenalkan kembali sekaligus dicurigai. Ingatan berhenti, di depan pintu/ seorang anak memelas air minum/ dari tubuh; dari susu yang lain//
Sedang kegetiran serupa
lengan/ disandera
ketakutan-ketakutan/ menjelma
cemas; bergelung lapar.
Petikan puisi “Tubuh yang Lain” itu adalah konsekuensi modernisme. Modernisme
adalah sesuatu yang lain. Modernisme
telah memperkenlkan dirinya dalam wajah-wajah instan, dalam bungkusan industri,
dan kepentingan materialisme dan kapitalisme. Susu yang lain adalah frasa yang
tragis dan justru di sisi lain melahirkan lapar.
Fendi memiliki kesadaran sosial di
sini. Ia tidak menyampaikan kegelisahan itu dalam bahasa lugas, tetapi dalam
bahasa figuratif. Tujuannya jelas, bahasa puisi memiliki peran reflektif daripada
sekadar menuliskannya dalam bahasa diktat yang kaku.
Dalam puisi “Madura yang Lain,”
Fendi tidak lupa meneropong Jembatan Suramadu sebagai sesuatu yang lain dari Madura. Aku mencintai tak sebatas panjang
jembatanmu/ tapi
seperti darah yang terus memenuhi pori-pori/ bagi istana siang di rangkulan
ilalang dan belalang/ kehilangan
semak-semak, semasa kecilku, dahulu/ di sini, ceruk kerutmu serupa
tubuhku yang lain.
Jembatan Suramadu, kita tahu, dibangun atas kepentingan
“menyejahterakan” rakyat Madura. Namun, kita juga tahu bahwa jalan
“menyejahterakan” itu memerlukan “tumbal.”
Ia tidak bisa
dihindari sebab di sisi yang lain ia juga dicintai dan terpaksa dicintai
sehingga, dalam prosesnya, kita harus melihat darah yang terus memenuhi pori-pori.
Dengan memilih tema-tema tersebut,
Fendi sedang berhadapan dengan realitas yang sebenarnya tidak bisa ia tolak.
Karena itu, melalui puisi, ia sedang melakukan “perlawanan.” Melalui
puisi-puisi ini pula, Fendi menyampaikan luka dan kesedihan. Ia menyampaikan
kekhawatiran terhadap kelangsungan anak cucu atas yang lain; sesuatu yang lain
yang sudah tidak sakral dan tidak perawan.
Penyair
kini tinggal kota kelahirannya, Sampang.
Buku
puisi tunggalnya “Jalan Kepiting”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar