Lukisan karya Joan Mitchell. Diambil dari Google. |
YANG TAK SEMPAT SAYA UCAPKAN
SAAT BERTEMU MUZAMMIL FRASDIA
Oleh Sofyan RH. Zaid*
“Setiap puisi terdiri dari kata, kata yang liar dan kasar, kemudian
dijinakkan oleh penyair dan dipatuhkannya kepada kehendaknya.”
(Asrul
Sani)
Muzammil Frasdia (Muzammil) aktif di Komunitas
Masyarakat Lumpur Bangkalan yang didirikan oleh M.
Helmi Prasetya. Saya bertemu dengannya pertama kali di Tegal dalam acara
tahunan Dari Negeri Poci 2017. Tidak banyak yang kami bicarakan karena
keterbatasan ruang dan waktu. Namun sesaat sebelum kami berpisah, sempat
merencanakan pertemuan kedua di acara Festival Puisi Bangkalan (FBP) II pada
tahun yang sama. Ternyata di acara FBP II pun sama, kami tidak bisa berbicara
banyak karena saya datang terlambat dan dia sendiri sibuk menjadi panitia. Dengan
cara yang sama, kami pun merencanakan pertemuan selanjutnya suatu saat nanti,
di ruang dan waktu yang kami belum tahu. Maka, melalui esai pendek ini barangkali
saya bisa menuliskan sebagian apa yang tidak sempat saya ucapkan padanya dalam
dua pertemuan tersebut.
Membaca beberapa puisi Muzammil –“Langit”, “Percakapan Sehabis Hujan”,
“Sujud Sungsang”, “Labirin Sujud Burung”, dan “Bertamu ke Kuburan Bapak”- dalam
Hikayat Sunyi mengingatkan saya pada esai Chairil Anwar “Membuat Sajak Melihat Lukisan” dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45, H.B.
Jassin. Bagi Chairil, sajak terbentuk dari
kata-kata, seperti juga lukisan dari cat dan sehelai kain. Bahan tidak penting, yang penting capaian hasilnya. Hasil pada umumnya
terbagi menjadi dua; bentuk dan isi. Bentuk sangat berurusan dengan pembaca,
sedangkan isi merupakan urusan penyairnya sendiri karena pembaca hanya bisa
menafsir. Keberhasilan bentuk -kata Chairil- tergantung pada tehnik penyair
mengolah bahan menjadi hasil yang “tersendiri” dan “istimewa”.
Dalam proses pengolahan bahan, penyair dituntut “cermat” dan “tepat”
melukiskan “segala sesuatu yang abstrak” menjadi “sesuatu hal yang nyata”. Baik
dari dalam dirinya (batin) atau dari luar dirinya (alam). Proses tersebut
berkaitan dengan kerja “pemindahan” sebagaimana pelukis melukis gunung yang
dilihat ke atas kanvas melalui cat. Coba kita perhatikan bagaimana Chairil
melukis “Senja di Pelabuhan Kecil” dengan kata-kata ke atas kanvas yang
disebut puisi:
Senja di Pelabuhan Kecil
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada
berlaut
menghembus diri dalam mempercaya maut berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
Pada puisi-puisi Muzammil -yang saya sebut di atas- sebagian besar terlihat
“kurang” cermat dan tepat dalam proses pemindahannya. “Kekuarngan” tersebut
bukan berarti puisi-puisinya gagal, namun terkesan tidak menjadi “tersendiri”
dan “istimewa”. Ibarat lukisan, bentuk puisinya tidak bisa memukau pembaca
karena kesan yang dihasilkan berdiri sendiri-sendiri alias tidak utuh-menyatu.
Mari kita perhatikan misalnya puisi:
Percakapan Sehabis Hujan
Riuh suara-suara binatang seperti gemuruh
Perdebatan para malaikat bangkit dari rahim kubur
Berusaha meringkus
pernyataan-pernyataan
Yang hendak
kusampaikan kepada Tuhan
Memandang gelapnya
suasana sepi di rumah ingatan
Kukeraskan zikir yang
berhamburan
Menyaingi kumandang
azan
Seperti luapan aliran sungai yang menghantam
Khusyuk orang-orang
sembahyang
Apalah aku orang asing di matamu
Ketika sujud tak
jadi kugelar lagi kepadamu
Lalu sunyi yang menyendiri gigil bersandar pada pintu
Dingin merayap, merajai udara dan hantu
Doa-doa yang pernah
kupanjatkan
Kukutuk dengan air mata diam-diam
Arosbaya, 2016
Guratan dan sapuan warna yang dibangun dari awal puisi ini seperti
berdiri sendiri dan tidak juga mengarah ke satu ledakan kesan perihal bentuk
inti apa dan bagaimana “percakapan selepas hujan” tersebut. Kita tahu tentang
gambaran umum perihal suasana selepas hujan, ada bau tanah, daun basah, ricik
air, tanah becek, dingin sunyi, dan lainnya. Itulah bentuk-bentuk umum kesan
yang biasa kita tangkap selepas hujan. Setiap penyair punya teknik masing-masing agar “bentuk umum” tersebut bisa diolah menjadi kesan
yang “tersendiri” dan “istimewa”. Puisi “Percakapan Selepas Hujan” di atas coba
kita bandingkan dengan puisi:
Bertamu ke Kuburan Bapak
Menemuimu ketika azan berkumandang
Seperti menempuh perjalanan sunyi yang memabukkan
Pohon-pohon pisang meregang
Nisan-nisan berlumutan akar kerontang
Kenangan melingkar di genangan air selokan
Kebisuan kita menjadi sebuah petaka panjang
Dan lambang sepi yang menghanyutkan
Ketika jarak yang tak terjengkal
Selalu menciptakan ledakan di langit kekal
Seperti menjumpai sebuah kematian yang diulang-ulang
Kini aku hadir di sisimu dengan setumpuk rindu
Dengan lilin percakapan yang beraroma kehilangan
Sisir air mata sesak menyusuri rusuk-rusuk senja
Udara kian menggelap dan pohon-pohon saling menera
Sunyi pada bunyi
Aku pun mulai merabamu kembali
Di antara desah daun yang turut meramaikan bicara
Lalu menjadi puluhan lakon serangga dan kupu-kupu
Yang mengerubungi cahaya
Entah di mana dekap teraba
Langit kian meronta
Udara melengkung ke semak senja
Suling nyanyianku berhulu pada rindu
Serta namamu yang kusebut sepanjang waktu
Arosbaya, Desember 2016
Pada puisi ini, Muzammil terlihat lebih cermat dan tepat ketika
memindahkan susana “batin” dan “alam” ke dalam sebuah puisi yang -saya kira-
berhasil memukau pembaca. Muzammil sabar mengolah bahan, larik demi larik
saling terkait, kalaupun ada yang berdiri sendiri, namun masih berada di zona puitis
yang sama. Intinya melalui puisi ini, Muzammil sanggup memindahkan “segala
sesuatu” menjadi “sesuatu hal” saja; kesan yang utuh. Kenapa puisi ini
berhasil? Barangkali salah satu alasannya karena kedekatan Muzammil dengan
bahan yang diolah dengan pekakas bahasa yang ada, seperti rasa kehilangan,
kerinduan pada bapak, dan semacamnya. Kedekatan tersebut memberinya keuntungan
tersendiri dalam proses pemindahan dan pengolahan puisinya. Hal ini sejalan
dengan apa yang dimaksud Sapardi bahwa penyair mesti menguasai pekakas, teknik dan bahan puisinya sebelum menuliskannya menjadi puisi.
Demikian, sebagian yang bisa saya tuliskan mengenai apa-apa yang tidak
sempat saya ucapkan pada saat bertemu. Sebagian lainnya biar saya simpan untuk
pertemuan selanjutnya sambil minum kopi. Mohon maaf dan terima kasih, salam
untuk Muzammil Frasdia:
“Menyair adalah
pekerjaan yang serius. Namun penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh
meninggalkan kepenyairannya kapan saja. Tapi bila kau sedang menulis sajak, kau
harus melakukannya secara sungguh-sungguh, seintens mungkin, semaksimal mungkin,
kau harus melakukan pencarian-pencarian, kau harus mencari dan menemukan
bahasa. Yang tidak menemukan bahasa takkan pernah disebut penyair.” Dari Sutardji Calzoum Bachri dalam “Pengantar
Kapak” (1979).
Bekasi, 18 Juni 2017
*Madridista, dan pencinta para penyair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar