Perancang sampul: Mohammad Ali Tsabit. |
Kota Savatthi
Mungkin
hanya di kota ini, pikiran
mendahului
segala yang hendak
tumbuh
pada setiap tingkah dan pitutur yang lembut
tapi
ayahku, Brahmana Adinnapubbaka
seorang
kikir yang gulita jiwanya
tak
hendak ingin berbagi dengan siapapun
seolah
yang ayah miliki
hanya
untuk dikumpulkan dan disimpan
untuk
dirinya sendiri
bukan
buatku, ibu atau rakyatku kelak
dan
barangkali ia tak paham
kekuasaan
telah membutakan matabatinnya
matabatin
yang tak seharusnya
dipertahankan
atau diperjuangkan kemahakejiannya
yang
esok-lusa bakal membuat ia jatuh
ayah,
ayahku yang buta
kembalilah
ke Sang Buddha
sebelum
aku mati dan dikremasi esok hari
Kutub, 2013
Monologue
Ini
gelap berkali-kali
menghapus
matahari
menyergap
kebingunganku
yang
maha-ruah
tunjukkan
di mana kau
lemparkan
aku, Tuhan
jalan
terjun yang putih
indah
dan wah
membunuh
setiap kepak jiwaku
yang
lelah
ke
mana, Tuhan
ini
gelap melemparkan
aku
berkali-kali
ke
sunyi-sepi yang sendiri
adakah
aku punya bulan
dan
matahari sendiri
di
mana kau sembunyikan
kenapa
hilang di permukaan
jika
asal dan akhir perjalanan
adalah
duka yang tak terbatas
hendak
ke mana aku ini?
Kutub, 2013
Burung yang Terbang dalam Hujan
Burung
yang terbang dalam hujan
tak
mengenal cuaca dan suasana
ia
seperti ingin terus terbang
dalam
angin dan dingin putting
ia
tak ingin jatuh
dalam
kepak yang lelah
betapa
pun desah
berkali-kali
mendatangi
bulu-bulu
sayap putihnya
yang
merah tembaga
ia
bersikeras terbang
dalam
angin dan dingin hujan
yang
menyiksa
kedua
matanya yang padam
burung
yang terbang dalam hujan
tahu
kapan mesti
singgah
di pohon pengasingan
Kutub, 2013
Pada Sayap Kuda Terbang
Kuda
yang tak pandai sepertiku
memang
pantas ditertawakan
terbang
dengan sayap yang lemah
adalah
kebodohan yang menyakitkan
pada
hari-hariku yang lugu
matahari
tak bernilai apa-apa
tak
ada kegelisahan, tak ada kegetiran
sanggup
mendorongku
terbebas
dari kelemahan sayapku
yang
laknat
wahai
Kuda yang pitar
bukankah
kebodohan dan kelemahan
adalah
hal yang menjijikkan
adalah
hal yang memuakkan
aku
memang tak tahu jalanku
aku
tahu bagaimana menata diri
ketika
berkali kau terpingkal
aku
baru sadar dan mengerti
bahwa
setiap kepolosan sayapku
tak
ada harganya di hadapan dunia
Kutub, 2014
Tiba-tiba Luka Mengetuk Pintu
Tiba-tiba
luka mengetuk pintu
memelukmu
mengecup
keningmu
penuh
kejutan
di
ruang tamu
luka
tak mau melepas pelukan
rambutnya
yang harum
menyentuh
pipi dan bahumu
kau
mengelus-elus lengannya
penuh
perasaan
seolah
kau, juga luka
sedang
bahagia pagi itu
Kutub, 2015
Whirling Dervish
Kulipat
tanganku dengan khidmat
berharap
rahmat, jagad yang gelap
bersahabat
dengan ruhku
mataku
menjadi satu
setelah
merunduk kepada tuan guru
di
pusat suara dan sembilu
merekahlah
tangan dan jiwaku
seperti
bunga-bunga salju
ke
langit dan ke bumi yang ungu
menyangkal
waktu
matahari-rindu
dengan
cinta yang dungu
Kutub, 2015
Saifa Abidillah, lahir di
Sumenep pada 07 Februari 1993. Alumni MA 1 Annuqayah. Sekarang masih tercatat
sebagai mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga dan aktif mengelola LSKY (Lesehan Sastra
Kutub Yogyakarta). Tulisan-tulisannya pernah terkumpul dalam antologi bersama,
antara lain, Narasi Mendung dalam Tarian
Hujan (2009), Bersepeda ke Bulan
(2014), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia
Jilid III (2015), Nun (2015), Negeri Laut (2015), Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016) dll. Kini mukim di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar