Perancang sampul; Joko Sucipto. |
LANGIT
Hujan itu kembali hadir
Suaranya serak seperti batu
kerikil
Yang sengaja ditimbun langit
Ke arah lobang telinga kita
Sedang di atas bumi yang basah
Daun-daun terlunta bahkan ada
yang meninggal
Karena tak sanggup memeras
percakapannya
Lalu sekejap aku merebah dan
beranjak
Memangkas sunyi dari jendela
Melihat wajah langit yang tiada
guna
Dijadikan tempat berkeluh dan
berdoa
Kepada kita: Adakah ulah yang
salah di sana?
Arosbaya, Desember 2016
PERCAKAPAN SEHABIS HUJAN
Riuh suara-suara binatang seperti gemuruh
Perdebatan para malaikat bangkit dari rahim kubur
Berusaha meringkus pernyataan-pernyataan
Yang hendak kusampaikan kepada Tuhan
Memandang
gelapnya suasana sepi di rumah ingatan
Kukeraskan zikir yang berhamburan
Menyaingi kumandang azan
Seperti luapan aliran sungai yang menghantam
Khusyuk orang-orang sembahyang
Apalah aku orang asing di
matamu
Ketika sujud tak jadi kugelar lagi kepadamu
Lalu sunyi yang menyendiri gigil bersandar pada pintu
Dingin merayap, merajai udara dan hantu
Doa-doa yang pernah kupanjatkan
Kukutuk dengan
air mata diam-diam
Arosbaya, 2016
SUJUD SUNGSANG
Di antara kursi dan meja yang terbalik
Jemuran pakaian dan tumpukan
barang-barang bekas
Sebuah sawah dengan
rumput-rumput liarnya yang mengeras
Kehancuran adalah suara azan yang menghablur di udara
Patahan-patahan reranting yang
berjejalan pada tanah
Seperti isyarat kesepianku yang
bingung mencari rumah ibadah
Bukan karena aku tak punya
Tuhan
Bukan pula aku seorang pengikut
Syeh Siti Jenar
Aku bingung karena ketuhananku
Kini sulit disatukan bersama
orang-orang yang ahli akidah
Biarlah aku bersujud di kaki
sajakku yang legam
Meraba-rabai Tuhan di lorong-lorong
kelam
Jangan tanyakan kepadaku
mengapa langit itu mendung
Jangan tanyakan pula mengapa
musala-musala semakin sepi
Bahkan sang ustad beralih
profesi jadi tukang selfie
Kau dan aku sekarang tak lebih
dari anak-anak kelelawar
Yang rukuknya meregang-regang
di rusuk ingatan paha perempuan
Dari kediaman ke kediaman
Kantuk dan properti sujudku
yang hancur berantakan
Bayangan tubuh kita menggeliat
di ranjang gelap dan parfum
Lebih mempesona dari gerombolan
binatang
Yang beterjunan ke sungai
Lebih sunyi dari gesekan
dedaunan
Yang melambaikan tangan-tangan
hujan
Meminta untuk dibacakan doa sambil berjalan
Arosbaya, November 2016
LABIRIN
SUJUD BURUNG
Menjumpaimu suatu ketika
Di sebuah malam yang ngungun pesta embun
Tersebar ke seluruh pundak daun
Adalah makrifat suara burung pemintal sunyi
Yang tak segampang orang dapat menafsir
Siapa gerangan mata pusara yang ia patuk ke tembok?
Bulan pucat memeram tengkuk lehernya yang gemetar
Angin menyongsong keranda sepi ke timur laut
Sedang segelintir pepohonan bambu
Riap mengepakkan sayap bahasanya
Ke puncak labirin mata langit
Yang memetakan hidup ke liang tanah
Tempat Tuhan menakhodai seluruh zikir
Nyanyian alam semesta
Di antara yang menetes di kanan kiri hidupmu
Adalah jalur-jalur gelap penuh rahasia tersusun
Ke dalam tangga waktu yang sulit diserap indera
Kecuali membasuhnya dengan zikir tawakal dan puasa
Menyusuri labirin sujudmu yang bermata duka
Suatu ketika diriku terbayang sebuah ruang
Yang pengap, rampung dengan pesta sabu
Seraya memanjakan tubuhnya dengan api
Bersedih luka di paha nona dan aroma bir
Yang tertenggak ke dalam kibaran bibir
Dan celana dalamku yang kedodoran
Berlepotan semprotan nafsu dengkur lipstik
Dan aroma kemenyan pagi
Yang tersiram apak, asap rokok
Hingga wajah-wajah kusam jendela itu
Kian menggariskanku ke dalam suhu pantai kematian
Yang hening dan gelap
Lalu menjumpai rohku yang tersebar tanpa baju cahaya
Hanya mampu menungkup diri
Ke meja sepi mendengarkan kosong
Di antara derik laron dan serangga
Yang seakan ingin menjelaskan letak di mana surga
Arosbaya, 2016
BERTAMU KE KUBURAN BAPAK
Menemuimu ketika azan
berkumandang
Seperti menempuh perjalanan
sunyi yang memabukkan
Pohon-pohon pisang meregang
Nisan-nisan berlumutan akar kerontang
Kenangan melingkar di genangan
air selokan
Kebisuan kita menjadi sebuah
petaka panjang
Dan lambang sepi yang
menghanyutkan
Ketika jarak yang tak
terjengkal
Selalu menciptakan ledakan di
langit kekal
Seperti menjumpai sebuah
kematian yang diulang-ulang
Kini aku hadir di sisimu dengan
setumpuk rindu
Dengan lilin percakapan yang
beraroma kehilangan
Sisir air mata sesak menyusuri
rusuk-rusuk senja
Udara kian menggelap dan
pohon-pohon saling menera
Sunyi pada bunyi
Aku pun mulai merabamu kembali
Di antara desah daun yang turut
meramaikan bicara
Lalu menjadi puluhan lakon
serangga dan kupu-kupu
Yang mengerubungi cahaya
Entah di mana dekap teraba
Langit kian meronta
Udara melengkung ke semak senja
Suling nyanyianku berhulu pada
rindu
Serta namamu yang kusebut
sepanjang waktu
Arosbaya, Desember 2016
Muzammil Frasdia, lahir di Bangkalan, pada 6 Februari 1988. Menjadi Guru (Honorer) di Sekolah Dasar
Negeri Ra’as, Kecamatan Klampis, Kabupaten Bangkalan. Sekarang aktif mengelola
Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan bersama kawan-kawannya. Puisi-puisinya terangkum dalam
beberapa antologi bersama. Buku puisi tunggalnya terkumpul dalam “Jiwa Hilang Jiwa” (2015) dan “Hikayat Sunyi” (2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar