Lukisan diambil dari Google. |
Di Pelukan Luka
Oleh; Royyan Julian
Apa implikasi
dari obsesi manusia untuk hidup abadi? Kerapuhan.
Kenyataan bahwa manusia dinilai
sebagai makhluk paling sempurna tidak mengubah keadaan bahwa spesies ini selalu
rentan di hadapan maut. Res cogitans
yang memiliki akal budi tak terbatas belum bisa—atau barangkali tidak bisa sama
sekali—mengatasi kematian yang sewaktu-waktu bisa melabaraknya dari berbagai
arah, pun oleh ketuaan. Bagi manusia, selamanya hidup adalah samsara.
Manusia yang mendaku sebagai axis mundi hanyalah mitos. Ia bahkan kalah
bertarung dengan mikroba tak kasat mata yang menggerogoti tubuh. Transformasi sapiens
menjadi homo deus (manusia ilahiah)—sebagaimana yang diramalkan Yuval
Noah Harari—akan selalu ditunda sebelum manusia bisa mencapai keabadian. Misteri
ajal, penderitaan, dan kedaifan manusia tersebut dikristalkan sejumlah puisi
Saifa Abidillah dalam buku Pada Sayap Kuda Terbang.
Dalam puisi “Monologue”, misalnya,
manusia merasa gelisah dengan eksistensinya sendiri. Drama tentang pencarian asal-usul
manusia di tengah kosmos yang tak terbatas menghasilkan narasi-narasi
primordial: legenda-legenda, mitologi, kosmogoni. Barangkali ia mampu memuaskan
manusia-manusia mitik, tetapi tidak adekuat di hadapan epistemologi bernalar
manusia yang kian berkembang. Maka, dunia menjadi ruang-waktu yang
membingungkan. Meminjam statemen puisi Adimas Immanuel: manusia kecil di
hadapan rahasia.
Dengan nada serupa, puisi “Monologue”
mengajukan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tak bisa dijawab oleh
ilmuwan dan filsuf mana pun hingga saat ini. Aku lirik dalam puisi tersebut
adalah jenis manusia yang telah malampaui alam berpikir mitik/mistik. Meskipun
dalam puisi tersebut terdapat persona “Tuhan”, bisa jadi “Tuhan” hanya
representasi dari teka-teki dan kebingungan aku lirik (bisa dibandingkan dengan
puisi “Doa” karya Chairil Anwar; siapakah Tuhan dalam puisi tersebut? Apakah ia
benar-benar merujuk kepada Tuhan atau ketaksanggupan aku lirik hidup di tengah chaos?).
Aku lirik dalam “Monologue” justru menyerupai orang yang tak percaya Tuhan;
orang-orang yang menganggap bahwa dunia ini tidak bermakna. Koda puisi jika
asal dan akhir perjalanan/adalah duka yang tak terbatas/hendak ke mana aku
ini?// merupakan parafrase pernyataan Camus: Manusia mati dan tidak bahagia.
Sebab iman kerap menunjukkan optimisme dan kegelapan hanya bersifat sementara
(bukan berkali-kali dan maharuah sebagaimana yang dicatat
mukadimah puisi ini). Kepercayaan kepada akhiran bahagia (surga) dan harapan
hidup yang lebih baik adalah konsekuensi dari keimanan yang kokoh kepada
entitas paling purna (Tuhan).
Aku lirik dalam “Monologue” adalah
manusia yang terkena kutukan Sartre di mana manusia terlempar ke dunia yang
gelap. Manusia jenis ini harus menentukan keber-Ada-annya sendiri (etre
pour-soi), mendefinisikan dirinya sendiri, dan berkehendak bebas. Jalan
terjun yang putih indah dan wah, jalan yang telah dibuat oleh
manusia-manusia lain, jalan yang tersedia dan ditentukan, justru dapat membunuh
setiap kepak jiwanya. Hidup yang ditentukan oleh liyan (etre en-soi)
akan mematikan kesejatian manusia sebagai makhluk yang dikutuk bebas. Ia takkan
bisa dibedakan dengan cadas dan atau binatang.
Sejumlah puisi dalam Pada Sayap
Kuda Terbang menjelaskan figur yang sintas di tengah dunia yang sarat
penderitaan (atau bahkan dunia itu sendiri bersinonim dengan penderitaan).
Puisi “Burung yang Terbang dalam Hujan” dan “Pada Sayap Kuda Terbang”
menggunakan gaya personifikasi burung dan kuda terbang. Perilaku burung dan
kuda terbang dalam puisi-puisi tersebut adalah alusi dari perjalanan hidup
manusia yang senantiasa berjuang mengatasi kesulitan yang dipenandai oleh
hujan, badai, dingin, dan sayap yang lemah.
Dalam puisi “Burung yang Terbang
dalam Hujan”, manusia (yang kuanggap sebagai petanda dari metafora burung)
bukanlah makhluk yang berupaya menaklukkan alam, tetapi makhluk yang bertahan
di tengah-tengah keganasan dunia. Puisi tersebut bukan teks yang mengklaim
manusia sebagai pusat wacana (antroposentrisme). Di sini alam (sebagai entitas
yang terpisah dengan manusia) merupakan situasi yang selalu mengancam,
alih-alih bisa ditaklukkan.
Sementara
itu, puisi “Pada Sayap Kuda Terbang” kian menegaskan bahwa di dunia yang tak
terbatas ini, manusia hanyalah secuil noktah. Puisi ini menegasikan kecerdasan
manusia yang dipuja-puja dalam dogma filsafat humanisme. Kecanggihan akal budi
manusia tidak memiliki harga di hadapan dunia yang mahaluas dan berkuasa.
Lalu apakah yang disebut
penderitaan? Puisi “Tiba-Tiba Luka Mengetuk Pintu” menarasikan bahwa penderitaan
adalah sesuatu yang akrab dengan manusia. Tragedi, dalam refleksi filsafat
Nietzsche, bukanlah momok yang harus dihindari. Ia merupakan bagian dari hidup
manusia. Ia harus dihadapi, diintimi, sehingga manusia tak lagi sedih bila
penderitaan hadir dalam hidupnya. Barangkali itulah yang disebut menghayati
penderitaan. Estetika puisi “Tiba-Tiba Luka Mengetuk Pintu” dibangun dari
erotisasi penderitaan yang lihai memeluk, mengecup, menyentuh, mengelus, dan
memberikan sensasi kejutan. Pada sekala tertentu, mengakrabi penderitaan dapat
menjadi semacam katarsis—sebagaimana fungsi tragedi—yang terpantul dalam bait …
kau, juga luka/sedang bahagia pagi itu//.
Royyan Julian
adalah penulis lepas; tinggal di Pamekasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar