Lukisan diambil dari Abstract Painting. |
Bio-epigrafi Perjalanan
Oleh: Muhammad
Al-Fayyadl
Apakah (quod)—atau siapakah (quis)—subjek
dalam puisi-puisi Bernando J. Sujibto? Tubuh? Situs? Aku-lirik? Kata-kata?
Ingatan?
Tubuh (tubuh aku-lirik, “tubuhmu”,
“tubuhnya”, tubuh “mereka”…):
ini
adalah romantika perjalanan itu, bisikmu pelan
merangkum
lintasan waktu kelebat berderap
menghentak
setiap sudut diam di tubuhku
tubuhku,
selesaikan puisi ini segera
agar
kita pulang sama-sama lega
Situs (kampung halaman, taman Horseshoe,
Anatolia, Kaleköy, Çankaya, Tigris, Eufrat, Mediterania, Taksim, makam Rumi…):
mungkin,
aku sudah terlalu jauh melangkah, meninggalkan
tubuhku
sendiri menuju taman yang disilaukan aroma pesona
Aku-lirik:
aku
terus berjalan
anak
musim semua ruang
setelah
mengecup doa-doamu
Kata-kata (mitos, dongeng,
sejarah—pribadi atau kolektif …):
aku
akan kembali ke hikayat nenek moyang
menyerahkan
tubuh kepada bunga-bunga musim di jalannya
Ingatan (nostalgia, kenangan, memori
masa kecil…):
ke
mana aku pergi kapan aku pulang
kenangan
menyergapku sebagai tamu
Menarik ditelisik. Karena pertanyaan itu
akan menentukan status ontologis perjalanan dalam antologi puisi ini:
real-kah? Surreal? Spiritual-ruhani? Atau imajiner?
Semakin tubuh terlibat dalam puisi
sebagai subjek, semakin ia real, karena tubuh bersentuhan dengan dunia
yang tak lain adalah realitas materiil itu sendiri—hamparan situs, artefak,
benda-benda. Semakin situs terlibat
dalam puisi sebagai subjek, dan si aku-lirik surut dan berlaku sebagai pencatat
saja, semakin puisi itu bersifat materialis, menjadikan penyairnya
seorang dokumenter yang tangguh dan detail atas dunia sebagai fakta materiil
yang tersaji kepada persepsinya. Sebaliknya, semakin aku-lirik, kata-kata, atau ingatannya yang dominan, maka
semakin puisi itu subjektif dan berkurang kadar materialitasnya, menjadikan
dunia sekadar latar belakang bagi subjektivitas egologisnya.
Dalam puisi-puisinya, Bernando seperti
menyajikan kepada kita potret subjektivitas yang terkoyak: tubuh yang terkoyak
oleh situs, situs yang membara oleh tubuh (seperti Taksim dan para
demonstrannya), aku-lirik yang terkoyak
oleh kata-kata dan ingatan, ingatan yang terkoyak oleh tubuh dan situs, dan
seterusnya. “Tubuh ini adalah bastar di sebuah altar yang dingin”.
Namun, “jalan-jalan seperti berlepasan/menuju tubuh yang siap
dilahirkan/menuliskan seribu peta keberangkatan”. Terkoyak, subjektivitas
itu seperti hancur dan lindas tiap saat, namun siap lahir tiap saat pula, oleh
kebaruan situs dan kata-kata yang dihadirkan perjalanan.
Ada lima etos perjalanan dalam puisi
seorang penyair.
Pertama, egoistik.
Penyair bak robot: perjalanan baginya tak penting, yang penting baginya tujuan
dan pemenuhan keinginannya. Dalam etos ini, tempat-tempat yang disinggahi
sekadar latar belakang yang sesekali perlu dicatat atau kalau perlu diabaikan.
Aku-lirik adalah pusat segalanya.
Kedua, panoramik. Penyair memotret
situs dan menyajikannya bak panorama. Dengan narsistik, penyair ingin
mengatakan: “aku telah sampai di tempat ini, lihat!”. Lihat, betapa indahnya
London, New York, Paris... Penyair menulis seperti seorang pemandu dengan album
fotonya yang lengkap, dari berbagai sudut. Dalam etos ini, aku-lirik hadir
bersama dunia, namun dunia sebatas citra narsistik yang memantul pada si
aku-lirik. Dalam etos ini, penyair adalah turis.
Ketiga, impresionis. Penyair tak hendak
memotret, tapi melukis dunia. Ia melukis dengan kesan-kesan buram yang
diperolehnya dari situs, tanpa hendak menyajikannya lengkap. Pada etos ini, si
aku-lirik mulai terserap masuk ke dalam situs. Ia terpikat oleh situs, terharu
olehnya, namun tak ingin membingkai utuh situs, tetap membiarkannya bagai
bercak-bercak di atas kanvas, tanpa pola dan alur yang jelas.
Keempat, romantik.
Penyair terlibat sungguh-nyaris-penuh-seluruh dengan perjalanannya, membiarkan
aroma situs menghantui setiap langkahnya—juga segala riwayat dan dongengnya,
namun melawan godaan nostalgis itu, sembari tetap mengingat, tanpa melupa.
Ia yang, baginya, perjalanan membawa luka, namun percaya perjalanan itu akan
menyembuhkannya.
Kelima, nihilis. Penyair terserap masuk
seutuhnya ke dalam perjalanan. Rumahnya adalah dunia. Ia yang terputus sama
sekali dari akar dan kampung halaman. Dalam etos ini, hanya terdapat dua
kemungkinan: ia menjadi sufi atau zombie, kekasih Tuhan atau mayat hidup.
Perjalanan adalah mutlak, tak ada lagi situs yang dapat diingat atau dilupakan.
Aku-lirik adalah dunia itu sendiri, dengan kekacauan dan kedamaiannya.
Puisi perjalanan Bernando cenderung
dekat kepada etos romantik. Puisinya menolak untuk melupa, karena penyairnya
tak hendak ingin menjadi Malin Kundang. Ia mencatat, seperti seorang epigraf,
yang mengukir keras-keras apa yang dilihatnya pada puisi. Namun, semakin keras
ia menatah, yang ditatahnya tak lain kisah hidupnya sendiri, biografinya
sendiri. Kita dapat menyebut puisi-puisi ini sebuah bio-epigrafi perjalanan.***
Penulis
adalah peminat filsafat dan buku terakhirnya, Filsafat Negasi (2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar