Dini
Hari
Dini hari, air
hujan jatuh kembali
Menggenangi sunyi
dalam diri
Tubuhnya yang
runcing
Menusuk-nusuk daun
yang kering
Membasah di ranting
pikiranku
yang kosong
Dan mataku
terbangun
ketika sebuah
dingin
Terdampar di
halaman kontrakan
Sayap-sayap ingatan
terbang
Tentang sebuah
kenangan yang
pernah hilang
Di telapak tangan
Dari malam ke malam
Kurasakan senyap
dan petang
Gigil pun
menari-nari dalam
bayang-bayang
Serupa anak hujan
yang
bergoyang dini hari
Dalam sebuah
panggung mimpi
Aksi Di Hari Sumpah Pemuda
Ratusan pemuda itu
melangkah
mengitari balai
kota
Setelah pagi
meranggas di dadanya
Matahari berpijar,
mengikuti langkahlangkah
para pemuda
Kali ini hatinya
membara,
nyaris terbakar
Teriakan-teriakannya
menggugurkan
kelopak bunga yang
mekar
Aku yang duduk di
beranda,
jadi bertanya, ada
apa,?
Kenapa suara itu
bagai warna
darah pertama
Yang baru keluar
dari rahim Hawa
Para pemuda itu
pikirannya
kian terbakar
Jiwa-jiwanya
membesar,
mungkin gusar
Semoga tidak
kesasar; batinku kembali
ke masa lalu.
Langit kini memeram
mendung seketika
Matahari kehilangan
cahaya
Dan mata api hanya
tinggal warna
Suara pun kehabisan
makna.
Kemudian para
pemuda itu merangkak
Ingin kembali ke
dalam jiwanya
sejenak
Dengan sehimpun
sajak-sajak
Gerimis Pertama
Gerimis pertama
jatuh di kerling mataku
Di saat langit tak
lagi biru
Kali ini tak ada
guntur tak ada petir
Semua hanya tinggal
isak secangkir,
Ketika debu tak
lagi bersahabat
dengan bumi
Semenjak ruh
ditinggal hati yang sunyi
:jiwaku berselimut
sedih
Pesan Sajak Setelah
Bensin
Naik
Kami hanya sajak
Yang tak punyak
suara
Tetapi bisa teriak
Di lorong-lorong
kami sering nongkrong
Tidak kenal malam
petang
atau pun siang
bolong
Kami pun senang
naik becak,
jalan-jalan bersama
bapak
Kami tak suka mobil
atau motor
yang memakai mesin
Sebab kami takut
terbakar,
bila tak ada bensin
yang dijuwal
Kami hanya sajak
Yang tak bisa
bergaya ke mana-mana
Tetapi kami punyak
daya yang mampu
menghancurkan
telinga
Setiap waktu, kami
berdengung selalu
Tidak dengan mesin;
melainkan dengan
perasaan
Yang dilajukan
pikiran
Kami hanya sajak
Jangan salahkan
bila tidak berjalan
Di lorong atau di
atas angin yang dingin
Namun, merangkak di
semak-semak
Kembali ke jaman
anak-anak
Malang,
2014
Sajak Untuk Penyair Yang Sakit
Kepada Umbu
Sajak ini terkulai
lemah di atas bukit
Ketika mendengar
kau sedang sakit
Kata-katanya cemas
Tak henti tidur
pulas
Lalu berdoa untuk
kesembuhanmu
Dengan bahasa yang
bisu
Umbu, Umbu; kata
sajak itu
;telanlah aku, biar
kau lekas sembuh
Amin, semoga!,
dalam batinku yang rindu
Sopir Angkot
Dengan lajunya yang
cepat
Ia kelihatan gemar
menarik angkot
Penumpangnya begitu
banyak
Hingga punggung
mejanya sesak
Kini jalan sudah
merasa menjadi miliknya
Tikungan demi
tikungan ia lalui dengan
roda nasibnya
Begitu ia ngantuk
menabrak tubuh pohon
Ia sadar; betapa
berat menanggung
banyak beban
Musim Wisuda
Kini aku masih
mahasiswa
Besok sudah akan
wisuda
Teman-temanku
senyum semuanya
Sebab nasib telah
terlukis dalam
doa dan airmata
Musim wisuda sudah
sampai
Sedang skripsiku
masih belum selesai
Akhirnya aku
dipaksa menikah
Sebab orang tuaku
ingin cucu
ketimbang ijazah
Lagu Air Mata Rindu
-untuk
Teater Kopi
Setelah gerimis
pertama
Jatuh dari langit
matamu
memendar cahaya
Kau merunduk
seketika
Dan aku semakin
dalam menggali doa-doa
Aku ingin nyalakan
lilin di matamu
Beserta lagu-lagu
air mata rindu
Yang kelak akan
menjelma matahari
Menjelma
bintang-gemintang mendendang
dalam setiap sudut
dimensi
Kuterpejam saat
menghayati
Sebab rindu
terputar kala bersamamu
“Selamat ulang
tahun teater kopi”
Kau tak kan hilang
dari kenangku
Di tengah malam
yang pekat
Aku menyaksikanmu
dari jarak jauh
miliaran waktu
Kau hadir di tengah
kesenyapan mengantar
alamat
Aku jadi rindu pada
malam-malammu
yang kian terbang
serupa kupu-kupu
Mengitari ceruk
perasaan bulu kudukku
Tuhan, adakah sejuk
kebersamaan
yang lepas dari
ingatanku
Jikalau api senyum
tak mampu
padamkan kenangan
masa lalu
Kulihat jejak
kalender gugur seperti
detik-detik yang
jatuh
Ke balik punggung
gunung-gunung
yang teduh
Sebab setiap
langkahmu terlempar
merenggut jerih
Menjalari tapak
enggan menyerah
pada jarum letih
Kau entah seberani
apa,
berdiam di gubuk
sunyi dan sepi
Manakala akar-akar
embun yang
menggigil mencekik
segala gerakmu
Nyanyian-nyanyian
kecemasan yang
sulit diobati,
dikonstruksi
Diskusi-diskusi
yang jadi kebiasaanmu
kini telah jauh
dari ketelanjangan
buku-buku
Kutatap daun-daun
bergetar, burungburung
kehilangan sangkar
Dan terbang dari
ranting tahun-tahunmu,
menetas dalam rahim
batu
Kau adalah rumah
bagi kehilanganku
Pada suatu malam
yang lain
Di tengah-tengah
bisik angin
Di sudut-sudut
sunyi dan kesepian
Aku kembali rindu,
ingin bersamamu
sepanjang waktu
Setelah gerimis
pertama
Ketika mata musim
bertukar warna
dalam tubuh waktu
yang purba
Kebersamaan adalah
purnama yang
melukis ingatan
Kau adalah sketsa,
ruang sekaligus
waktu mencari
kebenaran
Kini kurasakan laju
senja terlalu cepat
Laut kehilangan
darat
Dan malam merangkak
Melenyapkan yang
tanpak
“Selamat ulang
tahun teater kopi”
Aku ingin potong
kue di tubuhmu,
melalui pisau
ketajaman rindu
Untuk
kelahiran-kelahiran baru
Yang kelak akan
tumbuh ranggas
dalam setiap
ingatanku
Malang, 2014
Subaidi
Pratama, lahir
di Sumenep, 11 Juni 1992. Puisinya dimuat di banyak media. Dan terkumpul dalam antologi
“Festival Bulan Purnama” Trowulan Mojokerto 2010, “Bersepeda KeBulan”
Yayasan Haripuisi Indonesia 2014, “NUN”
Yayasan Haripuisi Indonesia 2015 dan“Ketam Ladam Rumah Ingatan” Lembaga
Seni & Sastra Reboeng 2016. Alumni PP. Annuqayah tahun 2010. Pendiri
komunitas sastra Malam Reboan di kota
Malang. Dan kini, menggerakkan Rumah Bahasa di MTs & SMA Tarbiyatus Shibyan
Jadung, Dungkek, Sumenep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar