Ciumlah
Bibirku
Kujalani siang
dengan secangkir empedu
sampai malam tak
habis diminum waktu
dengan seduh paling
kecup
kutemui kamu di
bawah bulan redup
Jika tiba-tiba
langit memerah
memuntahkan bara
batu-batu angkasa
ciumlah padam merah
bibirku
sebelum cinta dan
kekuasaan
membunuhmu
Atau berlindunglah
ke jantung kehidupan
hulu penciptaan
murni yang dikultuskan
di sana tak ada angkara
dan percintaan
Hanya ketenangan
paling hening
hanya kemenangan
paling bening
masukilah rumah kebijaksanaan diri.
Mulut
Merapi
Ia tiba di mulut
merapi
ditatapnya nganga
bermagma
sambil berucap pada
kabut
: hadir dan raibmu
isyarat mata angin
Ia gagahi si hijau
julang penjaga
sumber urip tanah
mataram
dan bersedia janji
jadi saksi
tragedi malam
berseri bunga api
Ia pun pergi ke
lubuk bumi
bersama puing-puing kebun salak
demi sejagat arti di cakrawala
Purna sudah ia
mengabdi
menebar missi suci
para pertapa
di jantung-jantung mawar dan melati
Panggung Kefanaan
Jika samudra hitam
menguap ke langit
hujan membadai dan
angin mengamuk
pintu-pintu
tertutup lalu jalanan buntu
pun dosa-dosa masa
lalu muncul memburu
Biar lenyap
kegusaran pada badan
kemungkinan musnah
ke lubuk bumi
air mata berhenti
sebagai takdir
:siapa berjaya di
panggung kefanaan?
Malaikat maut
derdiri
sifat-sifatnya
menjelma api
membakar
kitab-kitab pada nabi
Teriakan maha ghaib
berdentum-dentum
dari lubang rahasia
melineuman tahun
menerkam setiap kita dan segala ciptaan
Membaca Dunia L. Agusta
Membacanya
berulang-ulang
mendengarnya
berulang-ulang
bersulang cium
aroma dunia
selezat terasi
cinta
Mari membaca dunia
mendengarkan ayat sucinya
sambil menegak
anggur surga
yang membanjiri
semesta manusia
Rasakan getarnya
nikmati segarnya
Sampai di pusat
gema
sampai kedamaian
tercipta
bumi dan langit
berjumpa
di telapak sang maha
Malam Paku Alaman
Bersandar di tiang
lampu mercury
di bawah separuh
bulan sepi
aku menatap langit
sendiri
Pada dingin lembut
aku bicara pada
maut
sambil menggerai
rambut
Pada akar gantung
beringin
hidupku berputar
dalam ingin
kenyataan memuai di atas angin
Meminjam Pejam
Luh, gusarku lahir
cerita terasing
jika ia sampai
kepadamu
rebah di haribaanmu
ampunilah aku, demi
kemurnian puisi
Dadaku tembus
berlubang
tertusuk binal
cinta
pinjamilah aku pejam tidurmu
demi sekejap
istirah darah
Di awal pejam
lukaku
suaramu segar
menderu
sampai subuh
terbit, minggu itu
Mendung merayap di
langit
dadaku menunggu
fajar di ufuk
terkenanglah lukaku padamu
Perayaan Kata-kata (1)
Bahkan hanya
kata-kata bunga kemasan
tersisa di benak
sebagai keyakinan
berjalan menuju
kastil abadi
terseok di trotoar
matahari
Usiamu terpahat
sempurna
di gerbang pelepas
ayah bunda
waktu pun berlari
ke kota puisi
yang tiada sampai
kau temui
Lihatlah, dunia
tengah dilipat-lipat
ruang menyempit
setiap malam rahasia
ke dalam otak
abstrakmu yang
kerap berontak
Kini usiamu
menuntut perjalanan terulang
sebab sesal dan
siksa telah megkristal
dengan kerangkamu yang diam di tempat
Perayaan Kata-kata (2)
Malam lembut
diam-diam
membawamu
pelan-pelan
pada perihnya sajak
cinta
yang merambati
sekubur dusta
Nalurimu meleleh di
pusara
pada keterasingan
wajah kota
menyusur kasar
tanah desa
jelang persta
perayaan kata-kata
Daya cipta beku
dalam cerita
yang meriwayatkan
langkah kelana
yang jauh dari
kembara sang kawindra
: maka di langitlah
bintang pikiran
bercahaya
saat matamu
terendam ke kolam bulan
Perayaan
Kata-kata (3)
Upacara kelahiran
digelar
tubuh terbakar api
lilin
nafas tak cukup
panjang meniup
api menjilat-jilat segala
Menelan kue tar
kata-kata
pandangan hangus di
mata
suara-suara pemecah
doa
telah mengunci
cakrawala
Wahai betapa susah
upaya menyelamatkan
nasib
sampai tiada lagi
pelarian
Bagi jiwa dan raga
yang saling
berpaling
yang nyata-nyata ada
Selendang
Sulaiman, Lahir
di Sumenep, Madura 18 Oktober 1989. Puisi-puisinya tersiar diberbagai media
massa lokal dan nasional. Juga dalam antologi Mazhab Kutub (Pustaka
Pujangga 2010), 50 Penyair Membaca Jogja; Suluk Mataram (MP 2011), Satu
Kata Istimewa (Ombak 2012). Di Pangkuan Jogja (2013) Lintang
Panjer Wengi di Langit Jogja (Pesan Trend Ilmu Giri, 2014), Ayat-ayat
Selat Sekat (Antologi Puisi Riau Pos, 2014), Bersepeda Ke Bulan
(HariPuisi IndoPos, 2014), Bendera Putih untuk Tuhan (Antologi Puisi
Riau Pos, 2014), dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar