Wanitaku
Kedekatan
kita sia-sia. Remuk jiwa menjelma
kuda
mengembara, memburu. Lalu kau hilang di balik
ketakmengertian,
aku mengembara ke relung nyeri. Aku
berjalan
pelan. Pelan sekali, takut duri menusuk kaki.
Sepanjang
hari, seakan selama abad aku remuk dan api
Membakar
tubuhku.
Wanitaku
Sepiring kata yang dulu pernah kita
susun belum
selesai,
tiba-tiba menghilang. Aku pergi. Aku menjelma kabut,
menjelma
embun, menjelma matahari, dan terus mengembara
menemui
sunyi demi sunyi, kabut demi kabut, waktu demi
waktu.
Lalu kita bertemu di lain waktu. Di sana kita bangun
rumah
indah penuh warna.
Wanitaku
Sampai kapan kau menjadi kegelapan.
Punya Tuhan
tapi
tidak percaya cinta. Tuhan kau jadikan alasan.
Itulah
kau membunuh Tuhan. Meremukkan rembulan.
Membunuh
bintang. Membunuh dirimu sendiri.
Lidah
sudah menjadi daging waktu. Kata-kata
menjadi
bawang hatimu. Lalu, mengapa semua sia-sia.
Haruskah
aku membunuh pengembaraan ini.
Bila
semuannya tak bisa kembali?
Aku pupuk remuk jiwa ini. Untuk
hidup lebih berharga.
Walau
kau membunuh jiwaku. Justru jiwaku semakin terbakar
untuk
masa depan semesta. Masa depan yang lebih damai.
Tentunya
bersama ibu, dan orang-orang suci yang hidup di hatiku.
Aku menjelma damai. Kanan-kiriku
banyak pohon
menyejukkan
Wanitaku
Kau akan gersang. Selama kau tak
jujur akan cintamu.
Kau
gelapkan cintamu. Kau pelesetkan bening matamu.
Padahal
sungai bening mulai mengalir ke tubuhmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar