Kemarau
apa yang bisa kita
kau lakukan pada tumpukan kayu
bila tungku
mengingatkan pada gerutu?
di tengah
barisan pohon kering menjulang
kau memandang ke
langit, matahari baru terbit
kawanan burung
berdiri angkuh di ranting tua
kau bayangkan
air jatuh selain air matamu
kembang-kembang
kuntum, buah-buah ranum
angin desir
mengirim bau anyir
kau hirup dengan
rasa cinta pada alam
yang telah
menciptakan takdir dari luka kematian
kau hentakkan
kaki di atas tanah liat, wajah ibu teringat
betapa banyak
jalan berkelok menuju rumah
tak setajam
tikungan tak bernama
tangkai-tangkai
tua berlepasan dari batang
kau pandang
dengan mata nyalang
sebelum matahari
terbenam, malam menjelang
kau gambar wajah
bulan serupa wajan
lalu kau
letakkan batu-batu hitam dalam ingatan
Yogyakarta, 2014
Elegy
di balik jendela
tanpa kaca aku menjelma patung tua
rambut putih
wajah keriput, hati perih dan takut
angin menerpa
dari timur, daunan pohon gugur
upacara kematian
tanaman dilangsungkan
anak-anak desa
berkejaran di bawah ancaman harapan
alun lagu dari
selatan mengabarkan senja yang hilang
pemetik kembang
menganggur di tegalan
mata terpejam
memimpikan surga dalam dunia ikan
elang hitam
melintas jauh ke utara
di bawah
orang-orang membakar dupa,
membaca mantra
cangkul patah
ulu dikubur
kembang macam rupa
ditabur
“jangan ada yang
menangis
kita sedang melukai tubuh sendiri”
hari berangkat
malam, bintang-bulan tak datang
dingin merasuk
tulang, menyerap sumsum
dari tempat jauh
seekor kunang-kunang datang
hingga di tangan
“apa kau butuh
makan?”
ia tak menjawab
lampunya yang
hijau terus mengerjap
Yogyakarta, 2014
Agustus
laut menderu
ombak setinggi
gunung, berkejaran memburu perahu
bulan pucat
memantulkan warna kafan
di bibir pantai,
pelaut mengaji mata angin harapan
sunyi dan dingin
mengirim getir ke jantung pasir
layar terkembang
patah tiang
kabut meyusup
dalam kalbu yang takut
dari mana kau
datang?
desaumu
memadamkan api mata ikan
mematahkan pohon
hayat para nelayan
bintang nanggala
di langit tua
mengedip lamban
pada suar
tak ada kabar
disampaikan kelam
malam pun
semakin panjang
waktu di nanti
tak kunjung datang
harum
dupa-kembang tujuh rupa
dilayarkan ke
samudera
tangan-tangan
tirus menangkis arus
doa-doa kudus dipanjatkan
sihir tenung
menyusup ke nadi karang
jaring terserak disampan bergoyang
saling mendekap
bagai tubuh dan sayap
bercerita
tentang pelayaran jauh
bersandar pada
takdir, napas yang terakhir
Batang-Batang,
2014
Kamil Dayasawa, lahir di Sumenep, 05 Juni 1991.
Alumni PP. Al-Amien Prenduan, Sumenep dan Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Puisinya
termaktub dalam antologi: Estafet (2010), Akar Jejak (2010), Memburu Matahari
(2011), Sauk Seloko (2012), Ayat-Ayat Selat Sakat (2013), Bersepeda ke Bulan
(2014), Bendera Putih untuk Tuhan (2014) dan Pada Batas Tualang (2015). Buku
puisi pertamanya Garam Air Mata (BAC Pustaka, 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar