Narasi Anak Negeri
Akulah
yang mencintaimu, saat itu
Ketika
engkau membuka kacamata
Pada
terik matahari, lalu berteriak
Revolusi
harga mati, pekikmu
Negeri
ini telah menjadi belantara
Orang-orang
berlalu lalang serupa purba
Aku
terdiam memandangi kereta api
Yang
merambat di keningmu
Mengibarkan
suara gemuruh
Engkau
tersenyum manakala orang tua geografis
Abai
pada bendera berwarna dua, pagi itu
Bagaimana
mungkin nasionalisme bersedekap
Mengitari
sabana di altar bianglala
Sebab
tak ada lagi yang peduli lagi
Mereka
seperti akan mati besok pagi
Menjadi
pemulung apa saja, di dadamu
Kekasihku,
mengapa wajah negeri berubah ngeri
Menebarkan
cakar, mengibarkan taring penuh darah
Padahal
kita bukan sebangsa drakula
Aku
di sini, selalu memandangmu; anak-anak kita
Harus
aku gunakan bahasa apa lagi agar mereka mengerti
Bahwa
kita tersesat, terseret, jauh, jatuh
Itulah
sebabnya engkau pasti mengerti
Aku
tidak benci
Tetapi
bagaimana cinta harus aku lafazkan
Bila
di kamar ini aku sendirian,
Adanya
seperti tak adaku, di republikmu
Sudah
aku katakan, seperti engkau sampaikan
Kitalah
khalifah yang engkau sesakkan nafasmu
Sampai
sengau suaramu, hingga redup labirin itu
Namun
aku tidak akan berhenti mencintaimu
Sebab
tanpa cinta, nasionalisme rasa
Tanah
ini subur dengan tanaman yang kerontang
Aku
dan dirimu kini anak bangsa yang yatim
Karena
yang berdarah padanya terluka padaku
Kekasihku,
mengertilah sebagai anak sejarah
Tak
ada luka yang lebih parah dari peradaman ini
Sebab
pada Sisisilia yang kumuh dan bengis
Kita
ada di sana dengan aura yang lebih garang
Meski
banyak doa yang terpanjat
Munajat
ini tak sampai langit
Tanah
ini sempit dan pengap serupa surat tanpa alamat
Tetapi
aku masih ingin mencintaimu
Meski
engkau abai dan seperti tak mengeti
Tetapi
akulah anakmu, seberapa pun kejam dirimu padaku
Karena
engkau ayahku, bapak bangsa yang amnesia
Aku
selalu mengertimu meski engkau tak!
Pahamilah
sedikti saja jika engkau memang tak bodoh
Semoga
engkau bahagia bersamanya, di sisi-Nya
Siapa
tahu itulah yang terbaik bagi republikku yang baru.
Sumenep, Maret 2014
Arini Isyfa Salsabila, lahir dan besar di Karduluk Sumenep Madura. Sekarang nyantri di pondok pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar