Sumber: Multiple Perspective Paintings Cinta |
Semesta
Romansa di Senjakala
Aku di sini,
memanggilmu, Nda
Tak ada lagi
kata yang bisa tertasbih
Ketika camar itu
mengepak sayap, pada rindu
Maka akulah
pemujamu
Untuk sekedar
tahu, aku tak pernah berhenti mencintaimu
Meski beribu
kali engkau katakan benci kepadaku
Aku sangat
mengerti manakala melihat kelopak mata itu
Ratusan kereta
merambat di keningmu
Lalu di bola
matamu, supersonik begitu lesat
Mengertilah
kekasihku, sekali ini saja
Aku tidak
menghamba, kecuali membuatkanmu ilusi
Masa depan itu
adalah masa lalu kita yang tertunda
Aku masih
sendiri, membatu, membisu
Sampai tiba
waktunya engkau mengatakan cinta
Aku sangat
memahamimu bahwa rasa tak harus tertata
Namun aku bukan
penganut aliran kebatinan
Demokrasi hati
itu nyata dan perlu proklamasi
Aku menunggumu,
kecuali engkau ragu
Sumenep, 2014
Sepatumu
tak Derap Waktu
Maaf aku tidak
akan melihatmu
Engkau tidak
hanya tegas dalam kaburmu
Aku takut
melihat sebagai serdadu, waktu itu
Lalu penyair itu
tegas bersuara, darah itu merah gundala
Tetapi aku
menghormatimu sebagai orang tua
Engkau mungkin
lebih tepat bukan di situ
Namun di sana,
di belantara
Tempat yang
menjadikanmu lelaki yang sesungguhnya
Bagaimana
mungkin engkau menjadi idola
Bila aku selalu
rindu senyum, bukan keganasan
Engkau tak bisa
aku raih, maskulinitas itu sangat dekap
Aku mendamba
keteduhan jiwa, kedamaian
Seperti tulip
pada savana; ungu
Serupa
aidelweis, aku tidak ingin mati muda
Maka berjanjilah
pada sepatu larasmu
Yang tidak lagi
derap, lekat dalam ingatanku
Aku sangat
pobhia bila waktu itu menjadi jamanmu nanti
Di sini aku
ingin menjadi melati, semerbak
Bukan amis
ketika alas kaki itu menebar aroma dupa
Oleh karena itu,
maafku padamu
Menyukaimu tanpa
memilih untuk menjadi aku yang rindu
Sumenep,
2014
Alya
Firdhia Mazida,
lahir di Sumenep Madura. Kini belajar menulis puisi dan merajut cerpen. Tinggal
di Karduluk Pragaan Sumenep
Tidak ada komentar:
Posting Komentar