Lukisan diambil dari Google. |
MEMBACA
TANDA-TANDA
Kepada Guru: Mamat Ruhimat
Membaca
tanda-tanda dirimu
Barangkali
tak perlu kuselami debur ombak di lautan
Melihat
usia yang meranggas dari keriput arimu
Juga
sisa-sisa angka kalender
Yang
jatuh di halaman rumahmu
Aku
masih teringat saat membaca koran waktu itu
Tentang
seorang lelaki sederhana
Yang
terus menggadaikan mimpinya
Di
kota-kota, di desa-desa, menunjuk ke langit, lalu ke bumi
Tanpa
jaminan, pada mimpi yang ditebusnya dengan doa airmata
Barangkali
kau sudah tau
Usia
memang bukan patokan untuk menggadaikan kesetiaan
Seperti
katamu; segala yang datang pasti akan pergi
dan setiap kepergian akan singgah di
tempat lain lagi
Dan
kini,
Ketika
matahari tenggelam ke ujung paling langit
Segala
riwayat dan kesaksian para malaikat
Kau
senantiasa diberangkatkan oleh cahaya yang sama
Ulama,
umaro' lebur dalam satu
Pamekasan
2017
NAMAMU ABADI
Kepada
Guru: Mamat Ruhimat
Aku
tak bisa membayangkan
Batuk,
demam atau gigil lainnya ditubuhmu
Tubuh
dengan segala puisi langit: langit segala puisi
Seperti
katamu, "Hujan jatuh serupa maut"
Selalu
ia terikat pada hasut
Jika
di tanganmu kolam serupa laut
Maka
samudera cintamu adalah bumi tempat aku bersujud
Di
antara hamparan pembangunan
Gedung-gedung
dan jalan layang kota
Kiprah
namamu bagai mengikat
Karena
riwayatmu terselip
Di
antara kemegahan itu
Guru,
namamu abadi
Menancap
di antara sorai-sorai
Pembangunan
negeri ini
Pamekasan
2017
API
PERAWAN MADURA TAK PERNAH PADAM
Untuk
sahabat: Mahwi Air Tawar
Kuciumi
lekuk tubuhmu
Yang
lahir dari dekapan benua hingga punggung khatulistiwa
Menyusuri
lautan madu bagi hidup segala
Dari
sisa-sisa payudara dan rahim-rahim cintamu
Sumenep,
kabarkanlah pada angin sakal
Sebelum
Wiraraja habis kekuatan
Sebab,
apa arti sebuah makna
Tanḍhu’
majâng
serta Olle-Ollang
Setelah
pasir Legghung mulai dirambat tambak udang
Kelak,
dimana upacara petik laut di laksanakan
Pamekasan,
di taji lancormu kuselipkan nyanyian gerbang salam
Sedalam
hisapan linting tembakau
Sebelum
para petani pergi dengan dada kerontang
Sebab
hanya kita yang paham
Garis
tubuh dan batas cakrawala sebelum datang si tuan jalang
Sampang,
ini bukan sajak penghabisan
Lantaran
didih garammu adalah pamor-pamor kerinduan
Sebagaimana
pertemuan lelaki nelayan dengan ibu-ibu penjual ikan
Dan
Pasar Tanjhung hanyalah riwayat kenangan bagi mereka yang berpulang
Bangkalan,
kutenun batik lesapmu
Hingga
balut putih tulang, melarungkan sulur-sulur impian
Mari
bergegas, singsingkan lengan baju
Menyambut
derap sepatu pelancong dan para tetamu
Jadi,
siapa hendak menjadi arang
Bagi
setiap desah api perawan
Sementara
kerapan-kerapan doa
Empat
tugu semesta raya
Begitu
mengalif ke ubun-ubun langit
Bung, karena laut tak
pernah kering, lautkah aku?
Pamekasan
2017
TEGAK
LURUS DENGAN AREK LANCOR
Untuk
Ar
Maka,
kubiarkan tubuh ini mengendarai malam
Seperti
penjual kopi, perlahan mulai mencemaskan pelanggan
Barangkali
inilah caraku meluruskan kerinduan
Di
tugu arek lancor, ke arah jam sembilan
Kau
di sana, aku di sini
Pohon
tidak tumbuh tergesa-gesa, ucapmu
Aku
tak tau mana lebih sunyi
Dering
telepon atau sajak-sajakku
Sebab,
di sepertiga malam kau sanggup menubuh dengan waktu
Ada
yang tak biasa malam ini
Tentang
jejak petualangan yang makin samar
Hingga
beberapa sketsa mimpi yang belum dirampungkan
Ternyata,
tak ada yang lebih tabah dari kesendirian
Hanya
di dalam kalbu
Perjumpaan
kau dan aku terasa menggebu
Kemudian
kita tak pernah menyangka
Jarak
adalah batas kepastian
Sebelum
kita melancor di tugu yang sama
Ar,
Pukul 02.00 dini hari
Wajahmu
makin tengelam ke dasar kopi
Pamekasan
2017
SAPI-SAPI PENDOSA
Untuk Sahabat: Mahwi Air Tawar
Mulanya adalah kerapan
Lalu jelma perjudian
Langit berlobang dibuatnya
Semoga itu cuma mimpi
Ada anak kecil, tak jelas asal sekolahnya
Menari-nari di atas kaleles
Sementara kemarau dan hujan bersekutu di
punggung-punggung kota
Bung, barangkali di pelupuk mata sapi-sapi itu
Kau tak temukan lagi perkawinan angin 4
penjuru
Lantaran, di balik pangonong yang
mengalungkan kesetiaan musim
Perayaan gubeng dan pasar malam melautkan
segala
Tanah basah, rupiah melimpah
Dan di gerbang-gerbang kota, pamflet-pamflet
dengan bahasa bercangkang
Lebih sakti dari celurit moyang
Bung, kemana sahabat-sahabat kita yang lain?
Para pendekar, yang katanya mewakili suara
Tuhan
Atau kita bersepakat saja
Membiarkan sapi-sapi itu mengurai nasib
sendiri
Dengan harga setara darah perawan
Lalu berakhir di meja makan
Pamekasan 2017
Sugik
Muhammad Sahar
, lahir di Pamekasan, 30 Mei 1985 Desa Polagan Kecamatan Galis Kabupaten
Pamekasan 69382. Alumnus Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Madura. menulis puisi menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa madura beberapa cerpen, artikel kebudayaan madura. Karya-karyanya
dipublikasikan di: Radar Madura, Jawa Post, Sastra Sumbar, Mimbar Pendidikan Agama Islam dan lainnya. Antologi bersama penyair lain: Kumpulan Puisi Penyair Empat Negara
“Pasie Karam” Meulaboh Aceh Barat 2016,
Kumpulan Puisi “Kopi Penyair Dunia” Tekangon Aceh Tengah 2016, Anugerah
Penerbit Mayor “Lusi Keluar Kota” 2010 dan Pada tahun 2009 memenangkan Lomba Cipta Puisi
Spontan Tingkat Mahasiswa se Madura yang diadakan oleh Teater Akura
(Universitas Madura). Saat ini mengabdi di MA/MTs Al-Hamidy
Banyuanyar Putri. Email sugikmuhammadsahar@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar