Perancang sampul: Sides Sudyarto DS. |
Di Tebing Waktu: Meditasi
Sebelum
jagat raya diciptakan,
apa
yang dilakukan Tuhan?
Sunyi.
Di teras: waktu merayap
Malam
mengalir. Aku duduk
tapi
melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang.
Di
jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku
Mungkin
juga di hatimu
Aku
teringat Stephen. Ia melompat dari
bulatan
asap rokok:
Membetulkan
punggungnya pada kursi roda
Merogoh
lubang hitam
Mengemas
lagi bangkai bintang-bintang
yang
berkerumun
di
bawah bulu alisnya.
“Sebelum
jagat raya diciptakan,
apa
yang dilakukan Tuhan, Stephen?
Membangun
Surga?
Merancang
Neraka?
Jauh
sebelum ayah dan ibumu berpengantin,
di
mana kau ada?”
Ia
menyeringai. Dari bibirnya terbit
sekerumun
matahari. Mengajarku
tentang
cara menjinakkan bumi.
“Pertanyaan
Anda waras,
untuk
seorang yang berani gila,” katanya.
2
Ia
lalu mengajakku pergi. Jauh melayang:
melompat
dari bintang ke bintang. Berguling-guling
dari
galaksi ke galaksi. Mengintip lubang cacing.
Membayangkan
serbuk tubuh presiden yang terguling.
Di
bawah telapak kakiku berhambur
bermiliar
galaksi. Bagai butiran biji kedelai. Seperti
pecahan
biji gunduk yang membercaki ruang
Laksana
kepingan biji mutiara bersemai
di
sudut-sudut waktu.
“Lihat,”
katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di
setumpuk cahaya. “Apa arti kau ada?”
Lalu
ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang
jauh itu, ada pertengkaran:
di
dekat Tanah Nod,
jauh
sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum
Colombus merajang Benua India. Sebelum
Pizarro
menemukan Inca. Sebelum Bolivar
menyembul
di Tanah Caracas.
3
Menginjak
sebutir detik yang nanar,
aku
mendadak kembali terlempar
ke
satu celah di titik yang jauh itu:
ke
bumi.
Ada
bom meledak di masjid-masjid. Menggelegar
di
gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah –
menyeretku
lagi pada sebuah cerita:
Tentang
pertengkaran,
jauh
di sebuah celah bumi yang tua.
“Ketika
bumi masih sebercak Kata,
apa
yang dilakukan Tuhan, Stephen?
Merakit
algojo?
Merancang
pendeta?
Anda
tahu: siapa
presiden
pemenang lomba,
besok,
di negeri saya?"
Ia,
dituntun oleh wataknya,
kembali
menyeringai.
Lalu
kembali mengajakku berputar:
Berdiri
di tebing waktu,
menyapu
kemahaluasan ruang:
Meluncur
di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah
kota-kota masa silam yang berasap.
“Stephen,
saya lelah jadi manusia”
Jakarta,
1999
Setelah Hari Keenam
Jika
bumi, langit, dan seisinya dicipta selama
enam
hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh
sebelum
hari pertama, dan jauh setelah
hari
keenam? “Aku tak hendak mengatakan:
Tuhan
adalah pengangguran,” katamu.
Aku
coba tersenyum. Pedih. Lalu tengadah—
Bulan
malas merekah. Langit irit bintang.
Pada
malam dingin di sebuah negeri berkabut
awal
November tahun ini, entah:
telah
berapa jauh waktu berlalu
Berapa
jauh jaraknya dari hari keenam—
usai
penciptaan.
Pada
hari puncak itu, “Setelah segala air di bawah langit
berkumpul
pada satu tempat”, dan menjelma lautan,
dan
Tuhan mengalungkan nama pada tanah kering itu
“darat”,
Ia melihat: “Semuanya itu baik”. Baik.
Tapi,
tak tahukah Ia: apa yang akan terjadi
sesudah
itu, jauh setelah hari keenam?
Apa
lagi yang akan terjadi, misalnya:
setelah
Semanggi, Sambas, Aceh, atau Jimbaran?
Malam
larut. Bumi redup. Langit memercikkan gerimis
Sebentar
lagi mungkin hujan akan mengguyur
kota-kota.
Detik ini, apa yang dilakukan Tuhan?
Aku
tak tahu. Seperti aku tak tahu nasibku,
dan
nasib anak-anakku – esok, di negeri ini
setelah
semua tangisku berakhir, dan kapalku berangkat
dalam
debu.
Jakarta,
2005
Seseorang Berdiri di Tepi Sajakmu
Seseorang
berdiri di tepi sajakmu. Wajahnya sepi,
seperti
sebuah kuil terpacak
di
lereng bukit. Sepasang matanya kering,
seperti
selongsong kulit laba-laba.
“Aku
rindu kedamaian,” bisiknya.
Adakah
ia seorang pertapa?
Ia
tertegun: memandang kata-kata berbaris.
Atau
menikung, seperti rel kereta api membelah
tanah
desa. Atau berkeriap,
seperti
lampu-lampu di tengah kota –
di
sebuah negeri yang redup
Negeri
yang jalan-jalannya berputar. Atau melintir,
seperti
rambut sebuah suku tua yang telah punah.
Adakah
di sana terbentang kedamaian,
seperti
ia impikan?
Agak
ragu ia melangkah. Masuk:
menyibak
kata-kata.
Lalu,
dengan terompah butut,
ia
pergi keliling kota:
menyaksikan
karnaval hari kemerdekaan. Atau
menonton
sirkus. Atau ikut menyisip ke tengah
arak-arakan
massa –
sejarah
yang menuntut turun harga BBM,
atau
kenaikan upah buruh.
Haus,
ia minum air mancur di sebuah taman.
Lalu
tertidur, sebelum dibangunkan oleh gerimis.
Dua
ekor anjing menggigit ujung jubahnya –
sebuah
peristiwa yang mendorongnya melompat
ke
luar lagi dari sajakmu.
Di
luar pagar, pada tapal batas antara
dunia
dan kata-kata,
gonggong
anjing masih bersahutan –
menyembulkan
moncongnya dari sederet penanda.
Ia
tersengal, menyapu peluh di keningnya, dan berbisik:
“Tak
ada kedamaian,” Juga tidak dalam sajakmu.
Jakarta,
2003
Ahmad Nurullah, lahir di Sumenep, Madura, 10
November 1964. Menulis puisi, cerpen, esai dan kritik sastra. Karyanya termuat
di berbagai media massa, seperti Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo,
Republika, Jawa Pos, Surabaya Pos, Berita Buana, Pikiran Rakyat, Majalah Horison,
Ulumul Quran, Jurnal Kalam, dan sebagainya. Juga dalam antologi puisi bersama,
al: Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1992), Angkatan 2000 (ed. Korrie Layun Rampan,
2001), Horison Sastra Indonesia (2002). Setelah Hari Keenam (2011) adalah buku
kumpulan puisinya yang pertama setelah menjalani proses kepenyairan selama 24
tahun, sejak 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar