Cover: Ahmad Kekal Hamdani, “Jendela Malam” (2013) Acrilyc on Canvas 70 x 80 cm.
|
maulidiyah
saya membayangkan sebuah pertempuran.
bukankah kamu baru saja dari laut. melihat sebuah ihwal
pertempuran dari pendar ombak dan hujan yang tiba-tiba jatuh dengan sekotak kue
tart dan lilin ulang tahun. kamu bernyanyi meniru siul angin yang sumbang di
pucuk pohon kelapa. siapa yang masih sempat mengingat hari lahir, siapa yang
sudah membayangkan segala hal sontak berhenti dan tak mengalir?
saya membayangkan sebuah pertempuran.
seharusnya saya sudah menulis beberapa nama pada lembar catatan
kuliah tentang bibir perempuan, pedang dan perisai yang tergantung di dinding
rumah. mungkin sebuah mural dan lukisan yang terbalik atau jam dinding yang
malas memutar usia dan lubang-lubang kecil bekas paku dari pigura yang sudah
lama pecah kacanya.
saya membayangkan sebuah pertempuran.
seandainya saya baru saja dari toko yang menjual beragam kenangan,
mungkin sudah saya beli sepotong bulan ungu, sekotak tisu dan sedikit keju.
barangkali pertempuran bisa dilakukan di atas meja makan sambil menonton
berita-berita kriminal dari televisi dan diskusi tentang apakah kita perlu
mengganti televisi warna menjadi hitam putih?
saya membayangkan sebuah pertempuran terjadi dalam sebuah puisi
yang kita tulis bersama di atas ranjang yang tak henti mengabarkan derit
birahi.
2009
nuh
adakah yang lebih bergelombang ketimbang namaku? ada banjir dalam
rindu. ada kutukan dalam waktu. aku tak mendengar lagi detak jam yang
mengajakku pada pertemuan rahasia.—apa yang lebih rahasia ketimbang doa-doamu?
lautku tak lagi hidup.—dan cinta pun redup! mataku tak lagi sebiru lautmu
sayang. seredup langit yang mengapungkan awan kelam dalam setiap parjalanan.
tiba-tiba ada yang hilang.—tapi jangan sampai ada yang mati. jangan sampai
matahari terjaga saat perahuku ditambatkan. biarkan embun menetes di pucuk
layarnya sebelum akhirnya pagi membunuh kita.—tapi adakah dermaga bila bumi
sepenuhnya laut? apa arti matahari yang terjaga bila kita bingung dengan
musim-musim? seperti langit, jauh adalah rahasia kutukan itu, rindu itu.—apa
arti jarak bila nurani lautmu tak sebiru langitku. tiba-tiba aku asing,
tiba-tiba sejarah itu mengalir.—jangan panggil aku puisi bila riak air sungai
tak lagi menyimpan rahasia-rahasiamu. perahuku menarik jangkarnya lalu berlayar
ke teluk jantungku. melewati tulang rusuk paling putih. adakah yang lebih
bergelombang ketimbang namaku? ada banjir dalam rindu, ada kutukan dalam waktu.
2011
maségit
mungkin sewaktu-waktu pohon kelapa itu akan bertanya, di manakah
saya mesti bermalam, tuan? salah satu pelepahnya yang belum lama kering
dijatuhkannya juga. mungkin tanah menyambutnya dan mempersilahkannya bermalam
barang satu purnama. mungkin suatu malam bulan datang dengan sepatu ungu dan
sapu tangan langit biru.
kalau tuan sedang menunggu, tunggu saya jadi waktu.
kelak, mungkin pohon kelapa itu benar-benar akan bertanya, malam
apakah yang datang tanpa mimpi-mimpi, tuan? angin mungkin bosan bertiup, sungai
mungkin lelah mengalir, jembatan memang selalu tidur, tapi malam selalu begitu,
selalu memandang pintu, selalu ingin rebah tanpa ibu.
sabarlah tuan menunggu, saya belum jadi batu.
akhirnya pohon kelapa itu tak sanggup bertanya, tuan sudah mati di
kursi yang menghadap ke jendela, menunggu pohon kelapa itu tumbuh bagai
purnama, bukan sebagai batu yang menjulang buru-buru.
apa yang masih tuan tunggu, saya sudah jadi hantu.
2013
Shohifur Ridho
Ilahi,
lahir di pesisir Pasongsongan, Sumenep tahun 1990. Bekerja sebagai penulis dan
aktor di Teater ESKA. Puisi-puisinya termaktub dalam buku Akulah Musi
(Pertemuan Penyair Nusantara V, Palembang, 2011), Tuah Tara No Ate (Temu
Sastrawan Indonesia IV, Ternate, 2011), Serumpun (Antologi Puisi Penyair
Yogyakarta-Kuala Lumpur, 2012), Satu Kata Istimewa (Antologi Puisi Penyair
Yogyakarta, 2012), Sauk Seloko (Pertemuan Penyair Nusantara VI, Jambi, 2012),
Di Pangkuan Yogya (Ernawati Literary Fondation, 2012-2013), Sebab Cinta
(Ernawati Lite-rary Fondation, 2013) dan lain-lain, serta tersesat di beberapa
media cetak dan online. Manuskrip puisinya yang berjudul Rokat Perahu Mawar
mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) sebagai pemenang II
dalam Penjaringan Karya Seni Jawa Timur 2013. Alumnus Teologi & Filsafat
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bergiat di Teater ESKA Yogyakarta, Masyarakat
Bawah Pohon dan menjadi kontributor kreatif pada Teater Kertas Banyuanyar,
Pame-kasan Madura. Email:
laut.melaut@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar