Perancang sampul: Alek Subairi. |
untuk cinta dan
dendam
: buat joko
sucipto
masih
adakah sesuatu yang ingin dicari? aku mengajukan pertanyaan sekali lagi
kepadamu tentang hari ini, kita akan memahat batu, kita akan berpesta dosa.
otakku tak mengira dengan kedua pipi bergetar-getar untuk meluncurkan tuhan
bergegas melawan hantaman bandit-bandit yang berniat sungguh-sungguh, tak perlu
berlari-lari mengenai cairan matamu ke dalam pulau-pulau para perjumpaan untuk
membandingkan sepakat dalam lirik berdenyut lunglai. semi sudah tidak kekal
lagi menemui cinta dan ajal, ia mengelak jalan menyusuri helai rambutmu,
seperti dalam renungan sangat buruk mengisar luka pada sebuah tragedy dari
kisaran doa pada peristiwa kematian di hari kelak yang telah menanti untuk
membunuhmu. sepanjang hilir terus berlalu tentang takjub bermekaran gerak mimpi
dan usia hujan dengan seluruh langkahmu menembus kulit bundar matamu
dalam-dalam.
2015
sekuntum bunga
rosie
tentang
rahasia yang lebih mengalir, kita terpahat sisa sebatang pohon pucu kenangan,
dan tangkai-tangkai rindu yang pilu meringkus cinta yang berdarah dari seluruh
daun menghelai ilalang di atas bujur tanah.
namun
terdengar dari sebuah kalangan, barangkali wajah dan persembahan itu menyimpan
seratus abad peristiwa yang kita pahami dari arah dan perjalanan kita nanti
ketika hujan jatuh sewaktu-waktu saling sentuh.
kali
ini, arus sungai mengalir cepat, menandai siapa saja yang sampai terlebih
dahulu selain ayat-ayat, terutama sebagai doa yang akan kita tuntaskan dengan
sempurna, lalu melambaikan huruf-huruf dosa dengan apa saja selepas sekuntum bunga
rosie berkembang.
2015
di ujung pantai
topote
dari
sudut cinta yang kukenali, tak ada hal yang ingin menjelajahi lagi kepadamu,
memandang lingkaran waktu setengah bulan tidak semua datang menyusun sepenuhnya
apa yang akan terjadi. terkadang menyeluruh tentang hal ihwa yang akhirnya akan
mengakui ketka batas ruang dan waktu menyala di bibir pantai topote. tiap kali
ingatan yang muncul menguat di suatu mata yang terus bercerita untuk memandang
sebuah laut pada kemudian bagaimana menyambut sederhana sebagai jalan dalam
keberadaan hujan dan melupakan yang sudah sepenuhnya di dalam huruf-huruf
paling ujung. lalu ucapan kita adalah titik akhir dari seluruh khayal dan harap
yang sudah tersepakati oleh perjanjian manusia dengan Tuhan.
2015
Rosi Praditya, lahir di
sebuah desa di pesisir laut Sreseh, Sampang 20 Oktober 1992. Bergiat sebagai
penulis dan aktor monolog di sanggar Komunitas Masyarakat Lumpur.
Puisi-puisinya dimuat dalam sejumlah antologi puisi bersama, di antaranya: Airmata Diam (2011), Rintihan Hati (2012),
Memeluk Bulan (2013), Kasih Tak Sampai (2013), Air Mata Terakhir (2013),
Khusnul, Aku Mencintaimu pada Jalan Hidup (2014), Seribu Kembang Hujan (2014), Bersama
Suara Waktu (2014), Kumbang Asmara (2014), Saima (2014), dan Saima, Jarak Luka itu Adalah Kebahagiaan
(2015). Menyelesaikan studi S-1nya di STKIP PGRI Bangkalan, pada jurusan
Ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia. Mungkin
Seperti Senja adalah kumpulan puisinya yang kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar