ternyata
sudah sangat malam
aku
bersama waktu
bertukar
sepi bertukar mimpi
detik-detik
menghantarkan alur menungku
ke
segala penjuru, melaju
sedayu
daun kering dalam sepoi angin
kuragah
asa mungkin rembulan rapatkan cahaya
kejora
berkilap di dada
kupecut
jantung berdegub kencang
ya malika kulli hal
aku
ksatria yang terluka dalam perang
aku
tak ingin mati sebelum menang
membunuh
musuh di dalam diri...
nurani
dan birahi
bercakap
tentang gairah yang bergelombang
hati
dan pikiran berkeluh:
ke
mana hendak melangkah, o, ke mana
hendak
melangkah?
ke
arah angin berseling siul seruling
ataukah
ke udara perkasa menerompa lautan
kemudian
menantang badai?
bunyi
katak bercumbu di tengah sawah
kerikan
jangkrik mengalun di semak sebelah
kurasakan
pekat sangat burat
gelap
teramat gelap
jiwa
suram ibarat purnama terburam awan
ternyata
sudah sangat malam…
2007
Menatap Las Vegas
menatap
Las Vegas
bangunan-bangunan
menjulang
mencakar
langit atmosferku
emosi
karam di antara gemerlap lampu
berdecaklah
jagad kuldesak
sambil
kueja mantra-mantra Sakera
sekedar
membuang ketir dan gemuruh
yang
ranggas di dalam otak
seperti
inikah Madura kelak
posmodernism
megapolitan
disajikan bagi anakputuku
hidangan
dunia yang gila
di
mana tak kudengar
nyanyian
sumbang kakek lugu
seperti
tembang kae menjelang tidurku
masihkah
garam tetap asin
bila
bir bertumpahan di lautan
kesunyian
terhantam
akal
menjadi kekuatan
birahi
di atas nurani!
menatap
Las Vegas
bagai
kupandang bebukitan
Payudan
hingga Sinongan tersulap tol
jembatan
gantung
goa-goa
menjelma terowong jalan
mengusir
para pertapa
gelora
perjalanan matahari di asa
kacong-cebbingku
di
dada sawah, bola-bola golf berhamburan
asap
mesin polusi perkasa
mencabuli
semerbak tembakau
tempat
eppa’ dan embu’ meremas keringat
membingkai
senyum di garis-garis ritmis
Madura!
celurit
yang dulu kau asah
bergeletakan
sudah…
2006
Radarparana
tersimpan di manakah degubmu
aku mencarinya sedalam lautan
dengan segenap keraguan yang berpacu
setiap batu kuketuk, sepanjang karang kutelusuk
hanya derak yang bisu, selebihnya
gelembungan luka sisa siksa.
sedetak melecut, engkau menyemakku
tapi degubmu menyekam seperti rahasia dalam rahasia
aku melangkah ke hutan mungkin di sana ia tersimpan
dari Boerneo sampai Amazon, udara hanya mengurai
daun kering, bintang cuma bermain debu
hingga aku membakar pepohon dan pepucuk mata angin.
dalam kegalauan aku bertanya
di manakah kiranya tanda jantungmu
yang tak pernah kusua di saban dada
yang tak pernah ada selain milikmu yang misteri
pernah kumengira setiap semerbak bunga
adalah gaharu degubmu. pernah kumenyangka
segala bisik cempaka adalah ruang parut rasamu.
setelah terus kutilik baru aku mengerti
tangkai akan lesup tetapi degubmu sepanjang hidup
aku pergi ke langit barangkali degubmu di situ
yang menurunkan hujan saat sembilu
kiranya kedip kilat atau purnama-surya
yang kemilau-bercahaya adalah warna tenguknya
tapi o lagi-lagi, hanya setumpuk awan tanpa tenaga
cuma sengat halilintar yang menambah carut tanya
terkadang aku merasa degubmu seumpama sepi
yang diterawang lewat kontemplasi
dunia yang tersentuh namun tak tersentuh
legat pikiran laksana mimpi bertemu Tuhan
2012
Mayat Sepi
1
aku bukan dia yang mati di dalam pembakaran
tapi aku mayat di dalam sepi
menanggung berat kesunyian
dan pahala pada sebuah diam
jika waktu terlalu silau memandang rembulan
maka bacalah deritaku di antara lubang dada
huruf-huruf tereja bersama
nyanyian jantung
rentap
2
aku bukan dia yang mati membawa api
tapi aku mayat di dalam janji
yang disulut matahari
menggantung mimpi
di dalam langit pikiran
jika ruang terlalu sempit buat menumpahkan isi hati
maka keluarlah dari angan
kepada harapan demi harapan
sampai kata-kata akan tersemat kala senja
terlalu berat untuk tenggelam
2006

Tidak ada komentar:
Posting Komentar