Perancang sampul: Shohifur Ridho Ilahi. |
Penyeberangan
Diumumkan kepada penumpang kapal Madura
dengan hati setenang riak di muara
tak seorang pun diperbolehkan
membuang garam di lautan
Segenap beban di dada
mohon diselipkan di sela layar bergambar langgar
Oleh karena pelayaran ini penting adanya
diharap kesediaan setiap penumpang
mencatat setiap kitaran gelombang
arus, mercusuar, dan pangkalan fana
Di anjungan tempat kegelisahan bersandar
sebaiknya penumpang tak abaikan awan
arah angin dan peta perjalanan
menuju kampung bersulur fajar
Olle ollang,
olle ollang,
Perahuku perahu
kuda bersayap
Lintasi pulau
Sumekar senyap
Dalam bujukan
sang penambang
Dianjurkan bagi penumpang kapal
tujuan pelabuhan kekal
bertahan sejenak dari sakal
biarlah ombak jadi bantal
Bagi penumpang penakut
rentangkan angin jadikan selimut
sebelum api dari tanah Lancor
tinggal riap di ujung obor
Olle ollang,
olle ollang
Perahuku perahu
sapi karapan
Tinggalkan bukit
kapur Sampang
Pantang menyesap
liur muntahan
Kapal akan segera tiba
Sebelum bersandar di dermaga
diharap penumpang mengemasi kesenduan
dari lapisan tanah kelahiran
Jangan sampai ada seujung hidung
pun barang tertinggal di dalam jiwa
bila perlu, dendam dan barang bawaan lainnya
ditenggelamkan hingga di kedalaman palung
Olle ollang,
olle ollang
Bangkalan sendu
dalam dekapan
Masa lalu jauh
dijelang
Syaikhona Kholil
sang panutan
Yang berbahagia penumpang kapal Madura
demikian kiranya pengumuman saya layarkan
dari anyir pelabuhan ke laut impian
hal-hal yang tak berkenan harap dilabuhkan
di bentangan subuh di tepi laut duka dan lara
Selamat datang
orang seberang
Di kebun sunyi
kembang mayang
Bila hendak
menari, menarilah
Panggung musim
'kan terdedah
Jakarta, 2015
Madura
Akulah Madura, darahku laut merah
Asmaku menggema jagad merekah
Alam semestaku melambai berserah
Adakah masih sangsikan ini darah
Api sunyi Maduraku semakin merah
Asap tegal karapan jelmaan rempah
Abadikan kejantanan bertabur madah
Apa pun diri kan kembali ke tanah
Akar menjalar dalam sangsai silsilah
Aku Madura, aku lah anak sejarah
Akar riwayatku bukan pohon lemah
Akulah Madura, darahku laut merah
Baladaku narasi raya semesta
Baris kalimat menjelma mata
Bagi hati dan riak air mata
Batinku jelmaan diri senjata
Bisikkanlah aduhai, Madura cahaya
Bisikkanlah bismillah ke dada
Biar pun celurit seruncing alis mata
Badan sejak kandungan pantang iba
Tangerang, 2015
Tanah Air Karapan
Hadirin yang dimuliakan impian
Telah tiba sepasang sapi jantan
dari seberang lautan
berlenggok menjelma ombak
berebut tempat di tepi lautan
Oleh karena buncahan buih
dan juga deras arus
dua pasang sapi jantan pun tak lupa
menjadikan usus sebagai tambang
yang diikat pada tiang merah Madura
Bercak darah hina lara
Kilau dada redup sengsara
Madura berdecak pantang luka
Bersama rakaat titian baka
Pada hari penuh sorak dan pecutan
izinkan musim merasuk hari Karapan
Menaiki pelana menuju batas keheningan
Segala keriuhan atas kemenangan
atau kesedihan yang diberangkatkan
dari lumbung kekalahan
Segera terabaikan di pematang harapan
Sebagaimana hadirin ketahui bersama
Ujung daun tembakau tempat mimpi menggeliat
patah terberai dari lumbung pekat
dan pagi tinggal serpihan di atas tanah liat
Hadirin yang dimuliakan kesia-siaan
Sebelum nyanyian Tanah Karapan disenandungkan
Izinkan musim merajut helai keberuntungan
menimang batin gersang dalam ketiadaan
tinggalkan selempang kebanggaan
Sebelum biru langit
dan biru daun mengabur
dari pandangan
Tanah cucu tinggal se ujung cangkul
Tanah tanéyan enyah di bakul
Ke mana punggung buat berangkul
Takdir celurit patah dan tumpul
Hadirin yang dibahagiakan rasa lapar
itu tetembang tak tertulis di lembar tingka
tak juga terekam di nadi dan hati gusar
baiknya abaikan harapan dari angka
Madura-Tangerang,
2015-2016
Mahwi
Air Tawar,
lahir di pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983. Sejumlah cerpen dan puisinya
dipublikasikan di Kompas, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Bali Post,
Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Sajak, dan lain-lain. Cerpen dan
puisinya juga termuat di sejumlah antologi bersama, di antaranya 3 Penyair
Timur (2006, puisi), Herbarium (2006, puisi), Medan Puisi, Sampena the 1
International Poetry (2006, puisi), IBUMI: Kisah-kisah dari Tanah di
Bawah Pelangi (2008, puisi), Sepasang Bekicot Muda (2006, cerpen), dan
Robingah, Cintailah Aku (2007, cerpen). Salah satu cerpennya yang berjudul
Pulung terpilih sebagai cerpen terbaik dalam lomba yang digelar oleh STAIN
Purwokerto dan terkumpul dalam buku Rendezvouz di Tepi Serayu (2008-2009),
Jalan Menikung ke Bukit Timah (TSI II, cerpen), Ujung Laut Pulau Marwah (TSI
III, cerpen), Tuah Tara No Ate (TSI III, cerpen), Perayaan Kematian (2011,
cerpen). Kumpulan cerpen pertamanya, Mata Blater (2010), mendapat penghargaan
dari Balai Bahasa Yogyakarta, 2011. Ia aktif mengelola komunitas sastra Poetika
dan Kalèlès, Kelompok Kajian Seni Budaya Madura, di Yogyakarta. Buku cerpennya
yang terbaru adalah Karapan Laut (2014), dan buku puisinya yang sudah terbit; “Taneyan”, “Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa” dan
“Tanah Air Puisi Air Tanah Puisi”. Sehari-hari
ia bekerja sebagai editor Komodo Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar