Lukisan pada sampul karya Hidayat Raharja dan dirancang oleh Marsus. |
Sepasang
pengantin, sepasang kenanga dan melati
Langit
biru tua warna mewangi.
Sepasang
pengantin, sepasang burung.
Kicau
kepodang bersahut ramaikan kesunyian.
Sepasang
pengantin, kue lemper dan kukusan
Selimut
pupus daun pisang, dan segulung kertas kardus.
Sepasang
pengantin, hehijauan muda dan jenang ketan.
Gula
aren dan air nira, sepah manis eman ditelan
Sepasan
pengantin, sepasang sungai memanjang
membentang
meliuk menikung, ke laut terlentang.
Sepasang
pengantin, sepasang lautan; ikan, lokan, gelombang.
pasir
pantai, terumbu karang, bebakauan dan akar bahar.
Sepasang
pengantin, sebatang garam.
Percik
berkilau, asin ditelan perih diderau.
Sepasang
pengantin, ikan terbang di atas perairan
di
bawahnya bayang-bayang menghitam beretakan.
Sepasang
pengantin, bayang-bayang hitam di kamar,
saling
berangkul nyalakan lampu bohlam, semalaman.
Sepasang
pengantin, sepasang lampu pijar.
Meliuk-liuk
ditimpa kesiur angin badan sekujur ikut bergetar.
Sepasang
pengantin, sepasang angin yang bersandar
dan
gurat kemerahan sepenuh malam.
Sepasang
pengantin sepasang merah, bibir perempuan,
dan
kudung lelaki pembakar sunyi dalam diri.
Sepasang
pengantin, sepasang bulan,
bulan
terbit dan bulan tenggelam.
Sepasang
pengantin, hidup dan mati saling mendekap
saling
merapat saling mengikat menunggu saat.
2011
Kampung
:kiki sulistyo
(1)
Musim panen kelima, ladang dan hama.
Palawija dan pohon kelapa bertahan di antara retakan tanah kampung dan perasaan
mengaliri sungai akhir yang getir.
(2)
Tak ada bebuah, butiran keringat
menguning menumbuhkan biji syukur berkecambah di dada tegal yang resah. Air
mata, Ki. Gilian doa yang selalu tumbuh dari kedalaman hati leluhur di antara
sedih dan terimakasih.
(3)
Kering rerumputan, merebahkan segala
nasib ke akar sabar memecahi batu-batu kelam yang berdebar. Langkahmu berderap
membawa hujan kata-kata berjatuhan dari langit sana. Langit yang sama rupanya
tempat leluhur bernaung
dan menanamkan tubuh setelah runtuh.
(4)
Darahnya menderas membasahi kering
tanah. Tanah merah yang ditumbuhi bebatang puisi menyusul biru hati dan
tunggang akarnya mencengkeram ke dalam hidup yang berkobar.
2012
Kangean
(1)
Tanah-tanah
ditinggalkan pohon jati bersama musim rantau,
saat angin dan
kemarau tolak naas. Guruh ombak,
igau lelaki
mengangkat jangkar mengibar layar
memanggul
berkeranjang bintang nasib.
Perempuan-perempuan
menyulam haru
dari benang
harapan yang kian memanjang
di antara
matahari dan pijar bulan.
Remang malam
memanggil lorong di kejauhan,
riuh serangga
dan ombak samudera berdebar-debar
di dada yang
nyala.
Dari matamu,
mata ikan memantulkan riwayat laut
pelaut tangguh
yang menerabas taufan dan badai.
Mata yang
menidurkan musim kering dan batu luka
di sepanjang
jalan menuju tubuhmu.
(2)
Tunggu aku di
cellong, batas terik dan sabar berdebar.
Bebatang bakau
bertahun dari amuk kemarau dan maut.
Tambak-tambak
terbakar di hari sabtu di antara gelepar bandeng bakau
Di bawah kudung
matahari aku tumbuhkan hutan hati,
ladang-ladang
luas, dan bebatuan cadas.
Jalan lintas
menuju ke lubuk langit.
Airmata yang
bening memantulkan riwayat para lelaki yang
menolak takdir,
dan perempuan-perempuan yang setia
mengayam rindu
di beranda. Dan di balik karang kelabu, aku
kais kerang
berkah yang berlekatan dari setiap kisah.
2014
Catatan:
Kangean adalah
gugusan kepulauan yang ada di ujung Timur kabupaten Sumenep.
Hidayat Raharja, lahir di desa Omben-Sampang, 14
Juli 1966. Menulis puisi dan esai di berbagai media cetak, lokal dan nasional.
Beberapa buku puisinya memenangkan sayembara buku pengayaan yang diselenggarakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, antara lain: Nyanyian Buat Negeriku
(2009), Jalan ke Rumah-Mu (2010). Puisi-puisinya juga terangkum dalam berbagai
antologi bersama. Saat ini ia berkhidmat sebagai tenaga pengajar biologi di SMA
Negeri 1 Sumenep. Kini tinggal di JL. Dewi Sartika IX/12, Perumahan Bumi
Sumekar Asri-Kolor, Sumenep. Email: hidayatraharja66@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar