Peracik Cover: Alek Subairi |
BATU
hujan membuatku menunggu
risalah kejenuhan yang tidak disuka
para pejalan. dan dingin mengotomatiskan
kebekuan pada keinginan berpakaian
juga ketelanjangan.
adakah orang dulu mengira ini airmata
malaikat karena rasanya yang masam
memikat ibu-ibu yang rindu dilipat?
hujan selalu membuat takut
dan anak-anak berhamburan.
mendekati pesta ikan yang bergeming,
pada nasibnya yang gemigil,
ungu
dan membatu.
RABIAH
sesiapa memuja kesepian dengan berlebihan
dunia-akhirat miliknya sendirian
diam-diam
aku selalu mohon kepada Tuhan
agar hujan selalu diturunkan
sebab tetabuhan yang dimainkan
perempuan (yang cuma seorang) itu
hakikatnya untuk mendiamkan kebisingan di luar
seraya memilih-memilin nada
dag dig dug dalam lubuk kita
:perempuan dan laki-laki aku
konon, Adam dan Hawa lebih memilih bumi timbang surga
sebab di sini, jalinan asmara mereka dapat berpilin seperti
gambar
aku tahu
hanya mata yang tak pernah tenang
hanya bianglala sinar benderang
hanya rebana pelarian
dengan segala bunyian
dengan pujian panjang yang hilirnya menurunkan hujan
dan, sebagaimana Rabiah yang rajin menangis
menetapkan khusuk sedemikian liris
seperti barisan pasukan yang dibuat-buat bengis
antara lubuk rinduku dan nyayi merdu itu
tetaplah
diamku paling rindang dan bertalu.
ECHO
kami adalah embun yang memantul dari genting ke dinding
yang membuat lumut-lumut begitu betah bersanding
dan beranak pinak di sana.
dari dinding kami mental ke kuburan,
segala makam yang menyimpan arwah
para pahlawan pun para bajingan.
kami bantu mereka menjawab
pertanyaan-pertanyaan malaikat tentang surga dan neraka.
dari surga kami sampai kepada Paduka.
Dialah yang menciptakan suara-suara,
dari jenis terbening sampai yang paling bising,
kami suling hingga sampai di tempat semestinya.
kamilah wahyu yang menyejukkan tidur para nabi dan
pengikutnya
yang menuntun barisan dengan rapi.
UMAR
FAUZI BALLAH, lahir di Sampang 2 Juli 1986.
Menulis puisi sejak kelas 1 MAN Sampang. Ketertarikan itu dilanjutkan dengan
memilih kuliah Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya lulus 2009. Di
Surabaya ia mengalami pergesekan dengan banyak penulis. Ia kemudian tergabung
di Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Teater Institut sembari nyantri di ponpes (mahasiswa)
Sabilillah Lidah Wetan Surabaya. Di kampus ia menjadi redaktur majalah SESASI FBS Unesa. Tulisannya berupa
puisi, cerpen, dan esai pernah menghiasi berbagai media seperti majalah WIDYAWARA
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, majalah SESASI, Tabloid GEMA UNESA,
majalah KIDUNG, harian Duta Masyarakat, Suara Karya, Sumut Pos, dan
Surabaya Post. Puisinya berjudul “Ayat-Ayat Isroil” adalah juara II
puisi untuk Peksiminas selekda Jatim dan juara pertama puisi berjudul “Rumah
Sumpah Sie Kong Liong” pada lomba cipta puisi Sumpah Pemuda 2008 yang diadakan
oleh Himpunan Indonesia-Tionghoa. Puisinya
tercantum dalam beberapa Antologi bersama, seperti ManifestoIllusionisme
(Dewan Kesenian Jawa Timur 2009), PestaPenyair (DKJT, 2010), Duka Muara (KRS, 2008), Ponari For President
(Bable Publishing Malang, 2009)Ia juga sering
mengikuti berbagai event diskusi sastra seperti Pesta Penyair Nusantara Kediri 2008, Halte
Sastra Surabaya 2009,
Temu Sastra Jawa Timur 2009 berlanjut di Temu Sastra Nusantara di Solo 2009.
Sekarang menetap di Sampang Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar