Sumber Lukisan: Twitchtic - DeviantArt600 × 586
|
SUARA
DI KEJAUHAN
: Shohifur
Ridho Ilahi
Ia hanya mampu menangkap lamat
sebagai gema yang asing.
Azan menerabas jarak.
Atau bunyi dangdut yang
berlubang-lubang.
Di Yogyakarta
ia meneropong tanah kelahiran
dengan lensa mata elang.
Timur adalah peta usang
yang selalu misteri untuk dijelajahi.
Sesekali ia melawat ke sana.
Mencukur kepala ibu lalu menggantinya
dengan rambut palsu sepalsu-palsunya.
Ia bersikeras, ibu memang harus
memoles wajahnya dengan mekap paling
terang;
wujudnya yang nggak kekinian.
TAK
ADA YANG PERLU DIKHAWATIRKAN
Di sini nggak ada aroma tanah
di mukadimah hujan.
Juga nasi jagung dan sup kelor.
Garam menjadi tawar.
Nggak ada bantal
yang terbuat dari gelombang.
Sepanjang malam adalah pasar.
Seluruh jalan milik pelacur kedinginan.
Aku lelaki kesepian yang gentar
dan pengen subuh cepat-cepat datang.
Tetapi di sini aku baik-baik saja.
Semua baik-baik saja.
DI
KAFE ANITA
Ia ingin habiskan siang itu
untuk mengusir sepi.
Bertandang ke sebuah kafe
hanya untuk membaca
buku tipis yang membosankan.
Memesan menu di papan menu.
Risoles bebas daging.
Cokelat panas glutten free.
Air mineral berpajak tinggi.
Lalu ia membaca sambil sesekali
memeriksa layar ponsel.
Sepanjang waktu
lagu-lagu di ruang itu membuatnya
terlempar ke dalam aneka masa lalu
sembari menatap kosong
dua gadis selfie di seberang meja.
Di luar hujan tak akan datang
meski langit semakin menghitam.
Hujan akan bertahan
hingga ia menuntaskan kesepian
hingga ia beranjak pulang.
KESEPIAN
Kesepian telah mengajarinya
cara membuang-buang waktu
dengan menghitung saldo rekening
yang tak pernah beranjak naik.
Makan mi ayam sebelum hujan.
Mi ayam tanpa ayam.
Menghisap asap
yang meruap dari sela-sela roda pikap.
Ia takkan lepas dari kesepian
sebelum rela tenggelam
di kedalaman sepi.
RENCANA
BERSAMA KEKASIH
Di tanah yang jauh, kekasihku tinggal.
Barangkali suatu saat kita akan bersua
dengan sejumlah rencana.
Memasak pasta tanpa sosis.
Sandwich tanpa kornet.
Mewarnai taman depan rumahmu
dengan krayon yang dibeli setengah
harga.
Menghias pohon jambu
seolah-olah pohon natal.
Bermain kembang api.
Menghadiri kebaktian
tanpa menyimak khotbah pendeta.
Membeli gula kapas
yang dipintal dari awan mendung.
Lalu kita menunggu
seolah-olah hari itu memang pasti akan
datang.
Kita terus menyusun rencana-rencana
sederhana
tanpa ribut mengocehkan masa depan
yang orang lain inginkan:
Tentang perkawinan yang takkan pernah
menyatukan kita,
sebab kita berserah kepada Tuhan yang
agak berbeda.
Tentang bayi-bayi yang menyesaki bumi.
Atau hari tua yang tak pernah aku dan
kamu harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar