Perancang sampul: Kamil Dayasawa. |
Cium di Alun Alun
Suatu
masa, angin kesiur di buritan, geladak sesak
Di
amis laut, aku menitip kemelut, saat aroma kapal
Jokotole
dan nafas nelayan tak mampu mengusik
Perjalanan
peradaban, masa lalu ke masa depan
Perahu
ikan berbarisbaris menanti jantung gerimis
Jalanan
panjang membelah pulau, menuju ujung
Sumenep,
tempat leluhur menyimpan jejak hingga
tedas
waktu pada takdir bergulir
Karapan,
lebaran ketupat membius luka batin
Isak
membasah, beban rindu tak pernah usai
Ingatan
sisa cium di alun alun, kerap melambai
Kini
puisi menyelusuri jalan kembali ke kotaku
Aroma
kapal dan amis nelayan pudar
Kenangan
lantak oleh Suramadu, aspal yang kekar
Ingatan
pingsan di kepala
Sepasang
pecut melecut kabut di mataku
2014
Saronen
Serupa
mata kanak-kanak, dalam bayang-bayang
Tontonan
gong tetabuhan dari pinggir pematang
Angin
menderu dihantui kecemasan tak berbilang
;siapa yang tak ingin pulang?
Tiba-tiba
saja senja beranjak buram
Mata-mata
meneteskan cerita purba
Tentang
barisan penari dan lengking saronen
Sapi
sono’ berlaga, orang-orang gembira
dalam
keterasingan aku berlumut rindu
di
selat Madura, di atas beton Suramadu
kapal-kapal
mulai bertambat, suara pelabuhan
tinggal
lamat-lamat, melayari sepi yang karam
meski
lengking saronen menusuk batas muasalku
Jati
Asih, 2015
Pulang ke Tanah Garam
Dalam
keramaian kucium tanah kapur
Berhembus
seiring nafas leluhur
Aku
pun berjalan meniti kesunyianku
Di
rantau, di rantau kerinduanku sebisu batu
wangi
dupa dan mantra tak mampu membuatku
berlari
dari angan angan pulang ke tanah garam
burung
burung bernyanyi, cemara udang menari
nelayan
menjaring ikan, laut setenang kenangan
Sungai
sungai mengalir dan mata air mata-Mu
Cahaya
pada angan, api yang tak kunjung padam
Berpagar
jarak aku sembunyi dari kecemasan
demi
kecemasan, perjalanan ke masa depan
orang-orang
sembahyang, suara alam bertasbih
Anak-anak
bermain berpijar sapi-sapian, menghalau kemarau
Hening
malam berpijar bulan, hanya laut berdeburan
;Seribu
ciumku untuk mimpi-mimpi patah
bersama
Slopeng dan pasir putih usai lebaran
Seketika
bulan pergi menggenapi sepi,
Sedang
saronen tetap melengking di kepala
Aku
dan silsilah tetap berpulang pada amanat
Jati
Asih, 2015
Weni Suryandari, penyair
berdarah asli Sumenep. Lahir di Surabaya 4 Februari 1966. Bekerja sebagai guru
Bahasa Inggris di SD Generasi Azkia, Bojongkulur, Bogor. Menulis puisi dan
cerpen. “Kabin Pateh” adalah buku
kumpulan cerpen pertamanya yang diterbitkan oleh QAF Books, 2013. Pernah
memenangkan kategori terpuji dalam sebuah sayembara novelet di Tabloid Nyata
tahun 2008, lewat judul “Kesetiaan Seorang Sri”. Cerpennya juga termuat dalam
Antologi Cerpen Tinta Wanita 24 Sauh
(Esensi Erlangga) dan terbit di berbagai media cetak, seperti Suara Karya,
Majalah Kartini, Tabloid Masjid Nusantara, Tabloid Nova, Jurnal Nasional, dll.
Puisi-puisinya dimuat di Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Indopos, Batam Pos,
Suara Karya, Suara Merdeka, Suara Merapi, Padang Ekspress, Story Magazine dan
berbagai antologi bersama terbitan KosaKataKita; Perempuan Dalam Sajak, Fiksi
Mini, Kartini 2012, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Puisi Titik Temu
(Komunitas Kampoeng Jerami), Antologi puisi 6 th Sastra Reboan, Kumpulan Puisi
6 tahun Majelis Sastra Bandung, dan lain lain. Selain itu penulis juga telah
menerbitkan beberapa buku antologi puisi, antara lain: Merah Yang Meremah
(2010), Perempuan dalam Sajak (2010), Kartini 2012 (2012), Antologi Angkatan
Kosong-kosong (Dewan Kesenian Tegal, 2011), Kitab Radja dan Ratoe Alit (KKK,
2011), dan Beranda Senja (2010). Cerpen dan Puisinya juga termuat dalam
Antologi 3 Tahun Komunitas Sastra Reboan (2010) dan Cinta Gugat (Antologi Puisi
Sastra Reboan, 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar