Perancang sampul: Joko Sucipto. |
Kaleng
Susu Layang-Layang
Lewat lenguh
kerbau menanyakan hujan
gemanya meresapi retakan tanah
tapi di pematang sawah
anak-anak bercerita layang-layang
Datang senja dari beranda
terdegar ibu-bapak mereka bercerita:
…layang-layang yang kauterbangkan masa depan.
Kaleng susu penggulung benang masa lalu.
Antara kaleng susu—layang-layang terikat
benang.
Bila putus kaleng susu tergeletak di tanah.
Layang-layang melayang tanpa arah.
Lewat
lenguh
kerbau
merayakan hujan
gemanya
menyusupi retak atap rumah
tapi di halaman anak-anak mandi hujan
dan mancing ikan.
Kaleng susu lalu jadi tempat cacing
benang mengikat pancing.
Bila datang senja dari beranda
akan terdengar ibu-bapak mereka
bercerita.
Lelaki
Tua dan Koran
Sebelum lampu-lampu pijar menyala
gelap sempat mengendap di sini
seribu kunang-kunang
membawa serbukan cahaya surga
mengitari rumah-rumah kami yang bersila
seperti patung-patung dewa
dikelilingi seribu dupa.
Sebelum tape recorder
tv dan pengeras suara menyala
nada-nada begitu lugu dan manja
seribu insekta melantunkan sabda
bumi yang seharian kepanasan
terlelap dalam dekapan.
Tapi kami semakin tua
mereka sangka kami mulai rabun dan tuli
mereka pasangkan bola-bola lampu
menggantikan bola mata kami
mereka pancangkan pengeras-pengeras suara
menggantikan telinga-telinga kami.
Malam seperti kain hitam belang-belang
disemprot cahaya dop dan suara elektronika
nada-nada menjadi nakal dan binal.
Sebelum jalan-jalan setapak diperlebar
kami pernah kukuh berdiri di depan
memimpin mereka berjalan.
Tapi kami semakin tua
mereka sangka kami mulai pikun dan lamban:
“Mari saya tuntun dan saya tunjuki jalan!”
seakan mereka lebih tahu banyak jalan.
Kami seperti lembar koran
sehabis menyampaikan kabar dan pesan
kalimat-kalimat kami dikilokan
menjadi kertas bungkusan.
Buku
Baju dan Susu
Kadang tingkah kita
seperti anjing dan kucing
dalam serial televisi.
Satu merebut tulang
yang satu merenggut daging
komedi berbalut ironi.
Aku anjing berkepala batu
merasa cerdik dengan elektronik
dan buku.
Kamu kucing bermata biru
merasa cantik dengan kosmetik
dan baju.
Aku menggonggong
kamu mengeong
kepalaku menggumpal
matamu
menebal
aku mengertakkan gigi
kamu menyeringai.
Pada puncak tikai
raung singa menggema
mutan kecil dari asmara kita
geram mencengkram botol susu
mengoyak buku dan baju.
Gonggongku lenyap
ngiongmu senyap
kita terperangkap
dalam ironi sembap.
Roz
Zaky, Lahir di Bangkalan, 22
Desember 1983 (tanggal dan tahun tersebut berda-sarkan tanggal dan tahun yang tertera
pada rapor dan ijazah. Berdasarkan cerita orang tua dan penuturan tetangga,
diyakini lahir pada 19 Ramadhan 1982, bertepatan dengan 10 Juli 1982). Bergelut
di kesenian tercatat sejak menjadi Anggota
Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan
(2004 s.d. 2007). Pembina Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan (2012 s.d sekarang). Menulis puisi, esai, prosa, dan
drama. Beberapa karyanya terkumpul dalam antologi bersama dan dimuat di media
massa. Naskah drama monolog Negeri Tanpa
Hari terkumpul dalam antologi naskah drama monolog budaya anti korupsi Spink Triple X, diterbitkan penerbit
Sinergi Yogyakarta (2004). Puisi berbahasa Madura Ngerrap Aba’ terkumpul dalam antologi puisi berbahasa Madura Nemor Kara, Balai Bahasa Provinsi Jawa
Timur (2006). Puisi Aku Ingin Menjadi Tua
terpilih seba-gai pemenang karya terpuji sayembara “puisi cinta” Tabloid Nyata
(2008). Puisi Fakta menjadi karya
terpilih dalam lomba cipta puisi Proyek Seni Indonesia Berkabung: Di Bawah
Payung Hitam (2015). Selain aktif dalam kegiatan kesusastraan juga
aktif dalam dunia pendidikan dan pernah menjadi guru di beberapa lembaga
pendidikan. Guru Kaligrafi M.I. Al-Raudlah Burneh, Bangkalan (2002 s.d. 2010).
Guru Bahasa Indonesia MTs. Al-Ibrohimy Galis, Bangkalan (2005 s.d. 2011). Guru
Bahasa Indonesia SMA dan SMK Al-Hikam Burneh, Bangkalan (2007 s.d 2011). Dosen
Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Bangkalan (2011 s.d. sekarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar