Lukisa Affandi-Para Pejuang-100X135cm1 |
MENJELANG
HARI KEMERDEKAAN
Selamat pagi
daun-daun.
Dari ratapanmu yang
lunglai dan gemetar, kau
reguk gelas-gelas
peristiwa di antara malam yang retakk
sambil kau maknai
wajah silam bergantung di ujung tombak.
Sudah berapa lama
kita melintasi tikungan demi tikungan,
menghisap aroma
kelam-cekam dalam butiran embun air mata.
Bahkan kita tak
pernah saling berdekapan,
memperlihatkan
keterasingan warna langit yang sama.
Terasa tak mungkin
menangisi rumah tua ini,
sebab kita telah
lama melukis wajah sendiri.
Pada lubuk senyap
dari waktu yang selalu terluka
dan kita masih
belum tahu seberapa jauh jalan bahagia.
Selamat siang
ranting-ranting,
ternyata aku makin
mengerti
tentang hormat dan
hening
pada momentum
upacara yang dimulai.
Percakapan kita
selalu berlayar di atas rindu yang sama,
meski aku tak
pernah sampai ke telaga bahagia sebenarnya.
Mereguk
bergelas-gelas anggur dengan tubuh semilir
Lalu kembali
merayakan cinta yang gugur di tanah air.
2015
SEBUAH
BENDERA DI SIMPANG JALAN
Memandang bendera
itu,
pedih-perih
terbakar dadaku.
Betapa derita masa
lalu,
kini telah tegak di
tiang bambu.
Tapi adakah
gambar-gambar srigala,
yang terlukis dalam
memori jejakmu,
dan rangkaian
bunga-bunga semesta,
buat kesaksian
perjalanan waktu.
Pada lambaian
bendera yang berkibar,
lihatlah para
Pahlawan bersayap mata anginl,
yang pernah
menorehkan ribuan layar,
kini terbentang
dalam samudera batin.
2015
DI
DALAM SAJAK INI
Di dalam sajak ini,
kita bakal membikin
rumah janji.
“Hidup tenang
dengan kata-kata
Dan tiada lagi
darah mengucur dari luka”
Aku kadang
berkhayal agar bisa sampai ke hakikat cahaya,
sebab aku percaya
puisi adalah sinar yang dapat mencapainya,
sejauh kau pergi ke
ujung malam buta, aku pun terjaga.
Melihat keindahan
dari setiap lubuk kesunyian yang terbuka.
Kita simak lengking
kata-kata dari dalamnya,
dari istana ke
kubur tua menziarahi rumah aksara.
Dan apa yang
terpantul sebagai gumam,
lafalkan untuk
mengutuk langit geram.
Di dalam sajak ini,
aku membayangkan
dirimu sesekali,
karena dalam setiap
letupan kata-kata
rinduku lindap dari
relung dada.
2015
KONTESTAN
SAPE LOTRENGAN
Sepasang sapi itu
berjalan pelan,
seakan mengajarkan
kerukunan.
Kutatap
disekeliling angkasa
langit terlukis
pintu gapura.
Hingga terpukau
segala binatang,
memandang sapi yang
berkalung bintang.
Ia lain dari yang
lain wajahnya cantik bermata dingin,
tak heran kalau
banyak orang yang memeram ingin.
“Semalam ada telur
panah jatuh ke seberang”
Kata paman sambil
memandang keluasan ladang,
lalu seketika
terhidang bunyi seronen dan gendang.
Tak menyangka membuat
matanya kian cemerlang.
Dan paman membikin
perjanjian tujuh turunan,
kalau sapinya mati
dilarang disembelih atau dimakan.
2015
DI
AKIK MATAMU
Kepada Alm. Sahabat Al Matin Elmet
Di akik matamu,
aku berbenah
melepas kisah batu,
di antara gerak
kenangan,
yang mengucap
selamat jalan.
Di dalam kamar
jelaga keningmu mengganggu tidurku.
Bersama gelap
merayap hingga mimpi lepas padamu,
malam tambah
merasuk jadi rimba bermata tajam,
lalu pelan-pelan
bulan di hatimu juga terbenam.
Jadung, 2015
JUNJUNG
DERAJAT
Cincin ini junjung
derajat,
diberi ayah sebelum
wafat.
Ayah disangkoli kakek
waktu sakit,
dan kakek dihadiahi
ketika semedi di rahim bukit.
Sekarang cincin ini
tak boleh dijuwal meski mahal,
wasiat ayah dan
kakek setelah meninggal,
sebab lewat junjung
deradat ini
kami dapat saling
menjumpai.
2014
Subaidi
Pratama, lahir di Sumenep Madura, Jawa Timur 1992. Antologi
puisinya ‘Pelayaran Seorang Pecinta’ (2009), ‘Kado Rindu Untuk Rei’ (2011), ‘Festival
Bulan Purnama’ (Trowulan Mojokerto 2010). Merintis komunitas (Penyisir Sastra Iksabad (Persi). Mahasiswa Jurusan Komunikasi Unitri, Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar