Realistic yet abstract paintings by Eduardo Mata Icaza
|
Pada Jam 00
Sebelum pergi
Ia bergumam lirih padaku,
“Segera temukan dirimu.
Dan jangan tanya siapa waktu sebenarnya?”
Ke masa lalu ia berpulang
Tapi kita menyebutnya kenangan.
Malam ini udara lembap
Hujan turun mewarnai pesta.
Angin membaca nama-nama
Yang timbul dan tenggelam di sepanjang jalan
Gencatan kembang
api di angkasa
Membocorkan rahasia langit
Mengharap bintang keberuntungan jatuh ke garis
nasib.
“Selamat tahun baru!” serunya.
“Untuk apa?” sesekali kau bertanya.
Dalam
hitungan
detik, ia segera hilang
Tapi, ia meninggalkan pesan pendek padaku:
“Tulislah aku.”
Pedak
Baru, Januari, 2016
Sebelum Kutulis Puisi
Sebelum kutulis puisi
Aku mendatangi keramaian pasar
Setelah itu aku pergi ke tempat
yang paling sunyi
Hujan turun pada daun-daun
pikiranku
Malam memberkatiku dengan
kemegahannya
Aku melihatmu di sana, ringan
bagai hantu
Terbang dari ranting ke ranting
pikiranku.
Kau berada diantara
Dulu
dan kini
Bagai dongeng
Sebelum kutulis puisi
Kutaklukkan seluruh bentuk
wujudmu
Dunia
Melebur halus dalam kata-kataku.
Aku memasukimu
Hanya
rupa-rupa kosong
Sebelum kutulis puisi
Kupastikan aku menuliskanmu
Gowok, 19 November 2014
Tentang
Perempuan Tua
Di atas rel kereta
Ia langkahkan kakinya yang
bengkok
Menembus pagi.
Di pundaknya karung penuh
tumpukan cemas
Dan ia menggendongnya dan dengan
terhuyung-huyung
Tak ada wajah penyesalan yang
dinyanyikan
Tapi ia kehilangan alamat
rumahnya
Dan anak-anaknya.
Kemudian ia berhenti di warung
makanan
Menghibur diri
Betapa ia bersandar diri pada
pada harapan.
Pinggir Rel, 2013
Kepada yang Kalah
Becermin hanyalah ketakutan
Menenggelamkanmu
Pada masa tuamu
Kau ingin kembali ke masa kanak
Belajar berdiri kekar
Berjalan tidak terpeleset,
Agar hidup tak hanya sebatas
bayang-bayang
Di rumahmu tak ada anak-anak
menghiburmu
Hanya pohon-pohon sepi memagari
penderitaanmu
Lalu kau memilih tidur pulas
dalam gelap kamarmu
Meski para tamu lelah mengetuk
pintu
Angkringan Pendowo, 2013
Biarlah dalam Diri Aku Berdiam
Tak mampu aku mencintaimu lebih dalam
O, dunia yang tidak jernih lagi
Biarlah dalam diri aku berdiam
Karena di luar ketegangan berkobar
Dan ketakutan menyelinap bagai cahaya
Aku dan kau semakin dekat pada kehampaan
Kita seolah ada, tapi tidak dapat meraba
Aku tak bisa menyentuhmu
Cinta datang
Lepas dari kemurniannya
Aku tersesat dalam kesunyian hutan
Lagu-lagu derita mengikutiku
Dan pada keputusasaanku
Aku ingin menemukanmu
Yogyakarta, 2013
Puja-Puja Puncak Derita
Ketika alismu membangkitkan hasrat
Ketika parasmu menyusup sayup mengusap hati
Cinta mengalun panjang merumrum keterpencilan
diri
Merengkuh tubuh di dasar harap.
Kau kupuja-puja di puncak derita
Mencambuk rindu yang bertahun-tahun
Menyimpan bara kesia-siaan
Lahir pilu dari jejak waktu sendiri
Tak dapat kausentuh dengan jemari hatimu
Tak dapat kaugenggam bara ini dengan
parasaanmu
Betapa namamu kunyanyikan ke dalam gelanggang
senyap
Lalu pikiran terbang ke udara gelap
Melewati malam kelam
Melewati sepi menikam-nikam.
Kini, harap mengendap dalam desah
Mengurai mimpi ke suatu entah.
Desember 2012-Februari 2013
Sabaruddin Firdaus, pengkhusyuk sastra,
penata dan pengelola kopi, tinggal di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar