Painting Ruth Davidson Abrams (1912-1986), painting from the Microcosms series, 1950s-1970s Oil on paper Collection of Yeshiva University Museum, Gift of the Estate of Ruth Abrams |
Padamu Kuberjarak
Karenamu abadi,
tunduk segala yang ada
Padamu hanya secuil
cinta yang akan sirna
Karenamu waktu bisa
saja tuntas di kepala
Atau di mana saja.
Aku tinggalkan segala yang ada
Semua mahluk
bernapas padamu
Lalu mengapa aku
selalu rindu pada selainMu
Padamu aku
berjarak, kekasih
Sebab tak ada
nikmat. Semua itu hanya tipu muslihat
Aku mempunyai
kekasih dalam ruhku
Yang selalu kau
sebut sebut dalam sekaratmu.
2016
Pada Sebuah Malam
Telingaku serasa
berdarah
Ketika ribuan anak
kecil meminta disusui
Haus dahaga,
sehabis bermain dengan igaunya
Aku berjalan di
sepanjang trotoar
Orang orang
terbahak memecah langit semesta
Seperti tak akan
ada lagi
;pagi dengan embunnya
di kelopak bunga
Di sebuah tempat
yang suram
Aku melihat, betapa
lemahnya mereka
Badan kusam, rambut
tak lagi terawat
Ataukah ia memang
kekasihmu, entah
Pada sebuah malam
Bulan murung
menatapku
Dunia yang fana
akan segera tiada
Pada sebuah malam
Semesta mengepalku
erat erat
Alihkan haluan
perahumu anak kecil
Masuklah pada
kedalaman atau dasar hatimu
2016
Not Januari
Aku adalah dahan
Tercipta dari not
yang menyayat hati
Melantunkan sebuah
tangis
Mencipta duka
Irama tak lagi
berkuasa
Waktu-waktunya
telah mencapai senja
Kian landai
Aku adalah
reranting
Tercipta dari ritme
yang terpelanting
Berbunyi sebuah
riak subuh
Mencipta kegaduhan
di jalanan yang macet
Lantunan tak lagi
permai
Mengawali bulan
baru. Kita selalu bergegas
Menuju masa yang
katanya cerah
Namun kalutnan
curam.
Jogja,
2016
Jarak
Aku hadapkan mukaku
pada matahari
Memandangnya dalam
dalam
Siapa tahu ada
wajahmu. Tapi tak bisa.
Mungkin kita
terlalu dekat
Sampai aku tak bisa
pula menatap wajahmu
Tentang bentangan
jarak yang tak pasti
Seperti napas dan
jiwa yang menyatu
Aku tak kuasa
Tentang bentangan
jarak yang tak pasti
Seperti bayang
bayangku sendiri. Tak bisaku peluk.
Aku tak kuasa.
Jogja,
2016
BelumTuntas
Tak ada malam yang
selesai
Sebagaimana dalam
mengingatmu
Selalu ada sesuatu
untuk mengajakku berjalan
Menyusuri alam
dengan senyummu
Jam dinding
hanyalah penanda saja
Sebagaimana
mengingatmu, aku harus bagaimana
Sebagaimana puisi
puisi yang belum tuntas adanya
Merangkulmu entah
darimana
Maka aku selalu
diajakmu berjalan jalan
Sampai pada masa
lalu yang cekam merindukan
Kadangkala aku
masih menjadi kanak kanak
Yang bermain
kelereng di halaman
Tak salah jika para
leluhur berkata
Perjalanan masih
panjang
Hiasilah selagi kau
masih ada
Yang sirna hanyalah
halaman
2016
Ach.
Faridatul Akbar, Kelahiran
Sumenep Madura. Pengelola TBM Hasyim Asy’ari Jogja. Ia juga aktif dalam
lingkaran Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Mahasiswa Universitas Janabadra
Yogyakarta, ini menulis puisi, esai, dan Cerpen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar