Perancang sampul: Alek Subairi |
Puisi-Puisi
Hidayat Raharja
SAMPANG
:geladak
Sungai berkelok
Denyarnya masih terasa
Berpuluh tahun lalu, bahkan lewat
Perahu menepi, tali tertambat.
Biru air berkaca-kaca
Rekam pejalan dan kendara
Lalulalang ke sekola, belanja dan tempat kerja.
Geladak belum tinggi, lantai rumah sejajar jalan raya.
Bibir sungai, masih hijau daun waru
:Pagi melintas.
Sepi berduri,
Suara kereta pelan merambat
Angkut penumpang ke kota terdekat.
Suaranya perlahan saja
seperti karat dilepas senja
Merontokan kenangan yang coklat dan renta
Riuh penarik becak
Mengangkut es balok
Dari gudang TKG dekat geladak
Ketipak kuda
Memutar roda pedati
jemput pulang bakul ikan dan sayuran
Magrib, toko-toko terkunci.
Tak ada jual beli pemiliknya masih ngaji
Sampai isyak menanti.
Bila kamis malam tak ada toko buka
Suara tartil, pujian, dan shalawat
Memenuhi langit berkat.
:barat
Masih sekitar jalan panglima sudirman
Dekat toko andalas yang kini lenyap,
Adzan di Kaptegghi merekati dinding ingatan.
Tak merdu suaranya
Namun selalu ingatkan waktu shalat tiba
Jalanan membujur ke ujung
Belok ke kanan lalu ke kiri
Toko mas terang, hing wan, dan toko kitab di sudut
persimpangan.
Laris masih tetap menghadap selatan, kokoh berdiri dekat
bangunan penjara
Sebelahnya lagi pos polisi, lalu truk melintas
Lemparkan kotak korek api kepada petugas.
Pasar srimangun, rel-rel mati ditumbuhi kios buah-buahan.
Toko damai yang muram kehilangan pelanggan.
Beralih ke supermaket, dan swalayan menjamur di mata
memandang.
Sisa lahan tertutup beton dan aspalan
Rampas serapan hujan
Jika kemarau usai, warga siap menyongsong
Birahi sungai meluapi kota.
Belok ke selatan monumen kota,
Tak lagi patung laki berkuda dengan tombak digenggaman.
Tetapi julur menara, kubah mekar di ujungnya.
Di seberang, gedung smp 2 beralih jadi kantor bina marga.
Di dekatnya toko rejeki milik mieng lie, perempuan wajib
lapor bulanan
ke aparat polisi, karena belum dapat status wni.
Tjip Soe kian merana,
Diapit swalayan bunga.
Di ketinggian geladak pasarpao sungai sibak punggung kota
Pagi, kabut, anak mengaji.
Saling sambut dengan cericit mamalia
Menggenggam sepi.
Air mulai keruh, simpan duka seluruh
Luka malam sembilan puluh tujuh.
Kota merah oleh amarah, peluru muntah oleh darah
:Tangisi nyawa terjarah.
Pecah kaca
Penuhi jalan raya.
Tarian asap dari gedung perkantoran
Dan gereja pantekosta di seberang utara.
Pasukan tentara
Berjagajaga
Senapan siaga
Periksa penumpang kendara dan pejalan
Masuk kota.
Kawatir bawa gaman dan senjata
Wajah dingin
Urat-uratnya berpilin
Berapa terkapar?
Siapa hilang?
Sungai,
Masih mengalir dari utara ke selatan kota
Wajahnya coklat lempung
Bayang-bayang mengapung
Samar-samar kambangan luka
Menampar wajah kita
(2008)
PEREMPATAN
:toko banjir
Jalan ke utara
Arah batuampar
Pebukitan kuna
Letak kubur para aulia
Disitu ziarah bermula
Ke asta Yusup
Ke pulau Talango ziarahnya
Ke timur jalan kecil ke bukit babaran
Tempat tembuni trunajaya dibenam
Ke puncak lagi, kubur sitihinggil
Menatap kota yang gigil
Kenangan tersisa di taman yang selalu dibangun
Patung laki bekuda sudah tak dijumpa
Urat-urat kota saling bersilangan
Gedung-gedung dirubuhkan
Tempat belanja ditumbuhkan
Mulut selalu dikenalkan kuat makan
Penjual makan dan minum
Meramai saat sore terbenam
Bersma riuh masjid baca pujian
Dan panggilan azan
Ke barat,
Sungai membelah dada kota
Tebing kian curam
Securam duga bersarang dalam sangka
Di bibir sungai,
Hijau daun waru tak tersisa
Kota kecil yang sepi
Hari-hari terus berganti
Di terminal jalannya berlubang-lubang
Bis antar kota menunggu penumpang 10 menit saja
Tak ada yang berkesan di kepala
Hanya warna-warna batik yang menggurat tegas
Disini bermula dan bergegas
Orang-orang berangkat
Ke berbagai kota:
Besi tua, penarik beca, atau
Ke negara tetangga, meski tanpa paspor
Sebagai imigran gelap juga
Tak terlupa jika kamis malam tiba
Menara-menara menyanyikan tartil, pujian dan shalawatan
Mengekalkan kota yang tentram
Hanya sesekali saat gelombang pasang
Atau saat purnama datang di awal bulan atau saat purnama
datang
; banjir bertandang
Serupa kerusuhan yang tiba-tiba meruntuhkan kota
Lalai para pemegang kuasa.
TANJUNG
Di batu malam
bintang-bintang mengambang di atas lautan
jalanan ramai oleh percakapan bakul
menggelar ikan menyambut fajar datang
Di selatan perahu-perahu menyibak gelap
menjala garam kehidupan di atas gelombang tabah
anak-anak lelap dalam mimpi bulan
Di geraham laut
nelayan tanjung menjaring bintang
cahaya menggelepar
Ikan-ikan dalam tangkapan
dengan insang kemerahan
sesegar binar mata perempuan pantai
Menanti lelakinya pulang
(2006)
sungai itu lebar membelah kota
kota yang mati dibunuh penduduk dalam persitegangan gaduh
di gedung rakyat.
perempuan dan anakanak mengemas barangbarang pecahbelah
lakilaki mengusung rumah dan tandus tanah pertanian.
setandus hati para pembunuh yang berdalih suruhan kitab suci
sungai itu berkelok ke ramai pasar
hanyutkan belati dan tokotoko alat dapur
Perabot yang lukai perut sungai
dan mitos buaya putih yang berenang di tengah siang
mitos yang dijubahi darah celurit dan tulangtulang kelam
tenggelam ke sungai sampang
warna pasir dan busukan bangkai limbah organik
siang bolong bau kebaktian dari gereja pantekosta
siang bolong bau kebaktian dari gereja pantekosta
seberang jembatan
Puisi-Puisi Harkoni
RITUAL
TAHUN BARU
dalam beratus rakaat kata
yang binar di kornea
entah berapa depa lagikah
laut mencapai kubah paling basah
dari lelah ziarah ke ceruk-ceruk jazirah
angin berkabar tentang luruh jam-jam karam
selunas-lunas peta mengukur retakan airmata
terompet dilangitkan adzan dilayarkan
namun tak khatam-khatam kemurungan
terpacak di sepanjang badan
dalam beratus rakaat kata
yang binar di kornea
entah berapa depa lagikah
laut mencapai kubah paling basah
dari lelah ziarah ke ceruk-ceruk jazirah
angin berkabar tentang luruh jam-jam karam
selunas-lunas peta mengukur retakan airmata
terompet dilangitkan adzan dilayarkan
namun tak khatam-khatam kemurungan
terpacak di sepanjang badan
(Sampang,
2008)
KEBERANGKATAN
1
sebagaimana
pejalan
jam-jam meluruh menandai keberangkatan
Bismillah, aku ziarahi rambu-rambu
demi mencucup senyum terumbu
2
jam-jam meluruh menandai keberangkatan
Bismillah, aku ziarahi rambu-rambu
demi mencucup senyum terumbu
2
ada
yang api, aku menyiramnya
ada yang air, aku menyulingnya
Bismillah, aku mendulang rerimbun embun
3
ada yang air, aku menyulingnya
Bismillah, aku mendulang rerimbun embun
3
aku
menghisab raut jejak sendiri
dan kuamini: aku tak layak kembali
(Sampang, 2008)
dan kuamini: aku tak layak kembali
(Sampang, 2008)
KHALWAT
MADURA
tiba
masanya nanti, rerimbun salak mesti migrasi
sebab jejulang gedung, rumah, dan kantor-kantor
mengepakmu ke lapak-lapak kenangan
dan dalam pusar keterasingan
anak cucu bermain teka-teki
dan di antara kusut dongengan
Madura melata di serbuk-serbuk pasir
(Sampang, 2008)
sebab jejulang gedung, rumah, dan kantor-kantor
mengepakmu ke lapak-lapak kenangan
dan dalam pusar keterasingan
anak cucu bermain teka-teki
dan di antara kusut dongengan
Madura melata di serbuk-serbuk pasir
(Sampang, 2008)
Puisi-Puisi Yan Zavin Aundjan
BHUJUK
PANDEK
di bulan rajab
angin laut meniti batu-batu kecil di
samping jalan rumahmu yang licin. kau berteriak memanggil-manggi suamimu yang
dikurung dalam rumah besi. kau bersembunyi di rumah itu, padahal tak ada
penghuninya mencatat pagar-pagar bambu yang roboh. suaramu tak terdengar oleh
tentara belanda yang berkeliaran di depan pintu.
akan setia menunggu
tak ada ketakutan pada dirimu sebatang
kara. di rumah itu kau aman sampai angin laut itu memasuki ruang-ruang
kekosongan batinmu. namun selama berbulan-bulan kau tak makan, tak minum, tak
ada apa-apa di rumah itu—yang ada hanya kau sendiri bersama bayi di perutmu
membutuhkan air susumu.
tangan tak mampu lancang membuka pintu,
hingga maut menyeret debu-debu lantai menutupi segala, sedang bayimu keluar
sendiri dalam usianya yang kecil. dia berlarian ke arah selatan, ke arah angin
laut saat dia keluar dari rahimmu- “aku mau mencari ayahku ibu.” karena kau
sudah tak ada nyawa, anak itu meninggalkanmu demi menyelamatkan ayahnya di
balik pagar besi belanda.
“sakera dari sampan.” begitu anak itu
ketika disapa orang. mencelurit siapa saja yang mencoba menghalangi
perjalanannya. tak pulang tak apa sampai tetesan darah berakhir untuk dan demi
seorang ayah.
(Pamekasan, 2008)
Catatan:
Sebagian
cerita mengatakan, Sakera putra dari Bhujuk Pandek daerah Kampung Betes, Banjar
Talelah, Camplong Sampang. Dia lahir langsung bisa jalan, lari dan tanpa
menangis. Bhujuk Betes di makamkan di kampung itu juga.
STASIUN
YANG HILANG SORE HARI
masih
ada jejak sepatu merintih di pinggiran seberang jalan
yang
dulu menginjak kaki-kaki nelayan pulang
menangisi
anak dan istrinya menunggu di lidah jalan
tanah
merah bahari kecoklatan
bersama
deru-deru kereta sore meninggalkan kelam
tangan
melambai
airmata
tertinggal
dulu
orang bercerita
di
stasiun itu ada nasib
ada
perjanjian kerinduan
tapi
tak jumpai pertemuan
kini
jejakmu
kenangan
kursi-kursi
dan meja-meja saling bercerita
tentang
surat yang terlempar
kereta
sore tak kembali
stasiun
hilang
orang-orang
tak mau pulang
(Sampang-Yogyakarta,
2010)
Catatan:
Bahari adalah
nama lain dari kota Sampang
DI PANTAI CAMPLONG
kusisir
pasir-pasir pantai
untuk
kutelusuri batas kelembutan dan kerasnya karang
antara
kedamaian dan gelisah yang selalu memanjang
suara
debur apakah itu?
suara
orang-orang berlayar atau nelayan mencari kehidupan?
tepi
jadi tiada tarian pasir
ombak
tak lagi mampu meleburkan batu-batu karang itu
nyanyian
laut seperti debur menyingsing ke kulit perahu
sebagaimana
aku datang dan kau gelisah batinku
aku
dan batin menjadi suara yang satu
menyatu
menjadi debur nyanyian pantai
lalu
nelayan-nelayan membikin batas yang memisahkan
antara
kerasnya karang menghantam dan lembutnya pasir
hingga
air seperti berubah warna
rumput
laut menghiasi suasana
memberikan
dahaga ribuan jiwa
(Camplong,
2007)
Puisi-Puisi
Umar Fauzi Ballah
KEMUNING
Ia
sungai yang menerima hujan sebagai kekasihnya
dan
laut pasang sebagai simpanannya.
Sulur
yang melewati tanjung
menuju
kediaman dua jembatan:
bertemu
di bentang selatan dan berbalik muka
ke
utara. Menuju gunung mekar di sebelah barat
dan
tanah yang dikutuki banjir ke arah timur.
Musim
itulah terdengar sabda
berulang
kata:
“Anakku,
jangan terlentangan seperti itu,
nanti
kau jadi seperti buaya putih!
Mengaji
sajalah dengan tenang dan hati sabar...”
Tetapi
lelaki pengembala itu urung juga
membaca
kitab sekuning perdu
dan
ditampiknya segala nasihat.
Menjelang
senja kulitnya memutih.
Berkilatan.
Seperti kembang api
yang
cepat redup diterpa degup gemintang.
Dan
yang berkilatan itu menjelma sisik
sekeras
cadas. Yang mengantarkannya melata
ke
bawah jembatan Bahagia dengan guntur
menyala.
Supaya ia paham air yang hendak ia pinta.
Air
yang hendak ia pinta…
(Sampang,
2009)
TALAK
DENGAN HUJAN
–yang
tidak mengharapkan aku datang sendirian
pun
yang memintaku tidak hadir rombongan–
Sore
di pinggir April masih kerap basah
Membuatku
memunyai sejuta alasan dan minta maaf
Barangkali
di luar itu, aku adalah pemalas
Ruas
jalan menuju rumahmu selalu tergenang
Angan
dan dingin, aku ajak serta
Tapi
kau tidak melihatnya
Bahkan
seperti tidak ada aku di sana
Penglihatanmu
adalah mata kaum pendo’a
:Menunduk
atau memilih mendongak
Sedangkan
aku, pelamun yang tidak memahami cara kaubertutur
Tentang
cita-cita palsu yang dibasahi hujan
Kertas
telah kuyup, surat cinta jadi percuma
Dan
memang tidak ada bahasa yang sempurna
Kecuali
kau akali dengan banyak bertanya
Atau
pura-pura tidak paham
–alasan
jadi selebat hujan
maaf
jadi sehebat kilat–
Aku
mengira kau menerima semua tanpa persoalan
Seperti
kerap kukunjungi rumah ibadahmu dalam kesunyian
Tetapi
ini adalah cinta yang datang tiba-tiba
Sepeti
hujan dan banjir yang tidak bisa kauterima
Kau
seperti mena’arufkan aku dengan kubangan
Melantahkan
segenap kesunyianku
Dan
aku tersudut pada sisa-sisa pertemuan itu
Pertemuan
yang tak pernah kaupahami kehadiranku seutuhnya
Kelam
dan malam, hujan reda
Hanya
ada alasan untuk meninggalkan kau sendirian di sana
(Sampang,
2010)
SAJAK
TERAKHIR SEORANG SANTRI
:Nanang Hidayat
:seseorang
datang kepadaku dan mengatakan
tidak
lagi percaya pada puisi,
sejak
mangkat kiainya ke ujung senja
ia
bercerita, di tinggal begitu saja.
cerita-cerita
yang telah ia rajut
pun
tenggelam ke dasar maut.
seketika.
ia
linglung.
pada
saat itulah ia merasa mimpi
hanya
terjadi di ujung pagi.
setelah
itu harus bertemu cangkul dan menyemai padi.
"ia
berpesan kepadaku
‘jika
dengan puisi kauberbahagia, tulislah dan kerjakan!’"
maka,
di sela-sela itu, ia pun belajar menulis:
"sepanjang
itu, hanya untuknya, aku menulis"
tentang
surau, atau pengalaman mengaji,
atau
cerita hantu yang mendekam di bawah pohon kenari.
tapi
tuhan telah menarik mori
ke
atas jasad gurunya yang putih,
seperti
kertas yang ia kantongi,
sebelum
ditulis pesan apa di atasnya.
"aksara-aksara
itu lenyap seketika,
begitu
juga yang akan aku tulis,
keguguran
di rahim pena."
secepat
itu segala kisah terhapus.
pupus
pula mimpi-mimpi
yang
bersamaan dengan matahari
menuntun
langkahnya ke sebuah kursi.
(Sampang,
2009)
SAJAK
REMAJA MASJID
Allah maha mengetahui
Bahwa aku mencintaimu
Sepenuh hati
Batin pemuda dan pemudi
Di masjid masing-masing
Mengaji
Allah maha mengetahui
Bahwa aku mencintaimu
Sepenuh hati
Batin pemuda dan pemudi
Di masjid masing-masing
Mengaji
(Sampang,
2009)
Puisi-Puisi
Umar Faruk Mandangin
ANAKKU
SEKOLAH DI LAUT
tyas, aku mengerti kau lelah nak.
seharian belajar bersama matahari
lihat tubuhmu, legam kan
seperti nasib bapakmu ini
tapi tak apalah, pelaut harus menjadi karang
bagi ombak yang
selalu datang menyerang
tidurlah nyenyak disisi bonekamu
esok, mulailah lagi bermain pasir
membangun
istana dan taman yang indah
buat
istirah mimpi mimpimumu
bila
perlu berdoalah, memohon pada gusti allah
agar
tentara nabi sulaiman sudi membantumu
mewujudkan
cintamu
diantara
taman dan musholla istana pasirmu
ada makam yang bersih dan indah, itu harus nak
agar
kita tak menyesal dan takut
bila sewaktu waktu keranda menjemput
dengan iringiringan tahlil
membawamu pulang, kembali pada yang punya
bukankah hidup ini seperti menulis novel, tyas
kau
yang tentukan endingnya
atau,
seperti istana pasirmu
: setiap saat ombak megintai
meratakannya kembali menjadi tiada
tapi
nak,
kau
takkan menjadi pelaut seperti diriku kan
menjala
bulan dan bintang
dilipatlipat
ombak
dan
terbakar matahari
(angin hanya
berdiri, kemudian pergi
membawa mimpi
berlari)
tapi biarlah, kau akan menjadi khatijah
atau fatimah azzahrah yang ramah dirumah
tidurlah nak, sehabis subuh nanti
kita akan kemakam
aku sudah rindu berjama’ah bersama ibumu
(Madura, 0707200)
AKUARIUM
RINDU
aku bersampan ketengah
melukis bulan sabit pada air laut yang berkaca kaca
wajahmu pucat, burung burung camar berlompatan
dari matamu, mulutmu, kupingmu, hatimu
kepalamu, kelaminmu dan bahkan tubuhmu
membentur gunung ranggas_hatiku
aku mencair, mengalir kelaut:
menjadi asin
menjadi kerang
menjadi karang
-berteduh ikan kecilku, mengerang
menangisi perang_parang dirumahnya
kotanya mati diujung tower
lampu lampu cendrung menipu-
(begitulah ceritamu pada suatu malam,
membunuhku)
sejak saat itulah, aku betah dilaut
menikmati malam dan bintang yang serupa wajahmu
dengan kerut kerut tegas dikeningmu
mengisayaratkan sepi dan dendam
mula mula, aku dan kau malu malu
dan seterusnya dan seterusnya dan…
lukamu yang kueram sekian waktu
pelan pelan menetas
astaugfirullah, aku tak percaya.
saat kudapati tubuhku
bertangkai bermunga, mekar
bunga bunga ini
kaukah yang menyiramku
“aku
mencintaimu sebagai kaum dari ibuku
bukan karena
kepala dan tubuhmu”
(Madura
24 maret 2010)
TIKAR PANDAN
kugelar
tikar pandan dihalaman
teh
hangat dan bulan sabit
menanti
kau berkunjung kepulauku
:
sebakul mimpi,
seperti
janjiku padamu
adalah
penghangat dari dera angin slabung
disini,
dipulau ini
kau
bisa menyaksikan sendiri
betapa
hatimu telah kembang dihatiku
andai
kau tak jadi datang
biarlah
kunikmati saja sendiri
sebab
tak ada hukum haram bagi rindu
(2009)
ANTENA DI TUBUHKU
kau
suka bermain hujan dihatiku
menyangkul
ladang ladang rindu
sambil
menanam senyum matahari
_senyummu
aku
menggeliat lelah dibawah rimbun kokap
kupasang
antena ditubuhku
kutangkap
sinyal
kau
sedang lahap
memakan
bagian demi bagian
jantungku
hatiku
otakku
aih,
tubuhku tinggal bayangan
(20
Maret 2010)
Puisi-Puisi
Alek Subairi
TORON
a//
melihat
ke utara, efni.
orang-orang
mengikuti lorong
ke
sebuah halaman yang
berbenah
dari belah.
udara
menabur keping warna
:
janur pengantin.
di
sudutnya yang kelabu
belasan
aksara tak terbaca, sebab
badai
membagi cintanya yang kandas
dilangut
matanya sendiri. langut mata yang
tak
berkelok-kelana
aduhai,
rintiknya sudah datang
suaranya
beriringan menabuh mainan.
b//
mainannya
dicuri pejantan
dan
kau yang gulita menghardik dengan
bahasa
kumbang seakan mengiris
petang
jadi siluet selendang.
hai,
ada yang menepi seperti
hikayat
orang-orang yang
ditidurkan
dalam kitab.
dan
setelah bangun, sebiji kerling
jadi
basah. lalu ia turun ke halaman
membagi
salam. salamnya orang gunung.
aduhai,
rintiknya mau pulang
antarkan
hingga ke belokan.
c//
di
gigir manismu yang kau abaikan
kelak
ada yang menyaru sebait kebajikan
dengan
cara teramat malam, teramat langgam
hingga
kau dan aku saling memandang.
KRS, 2009
MUKENA
Kucatat bau
kembang sungai yang kupikat dari
tirakat yang
kuampuni apabila malamku tak hening
: ia pun
menetas, membaca silsilah sumur di ladang
Ia memberi
maklum kepadaku yang sibuk
membuat tata
tertib airmata dan serat kenangan
di kamar ia
bersabar, di kamar doa kecil membaiat jejakku
Ia akan tiba
serupa februari
februariku
berkisah tentang warna putih, sebuah langkah kaki,
dan pertemuan
yang berangsur-angsur mendekat
Lalu kukenalkan
serat pinang yang kujaga begitu rukun
di selekuk
tikungan, di antara bimbang dan restu yang
saling membidik
Hai abang,
bukankah kau ingin
mencuri malamku
sebagaimana hikayat selendang?
ya, sebab di
luar ular-ular menyaru putik-putik kembang
seruku, seraya
melunasi segala yang datang dan hilang,
seraya
mengampuni malam-malamku yang tak hening
Lalu kami saling
membaca selembar kain seperangkat
dan anak-anak
yang kelak berlari mengisi celah
bimbang dan
restu
2008
TANGLOK*
Mencium
pertemuan asin dan tawar
mencium namamu
pada tiang kapal.
Selatan adalah
karunia yang tak layu dipandang
sebab setelah
membalik muka, ada celah
semayup-seucap:
kembaliah dengan terang
Jarak mungkin
tak kukenal, bila angin
menjauhkan
kembang rambat ke teluk-teluk
sepoi baju
berkibaran, kata orang yang menunggu.
Sambil menunggu,
aku berangkat mencari tau
siapa memeluk
dan menyiram kenangku.
Di sini, pagi
menyingkap betis, mengantar
keranjang ikan,
buah-buahan, dan seorang santri,
juga harum kopi
di pangkalan.
Aku ingin
menoleh ke kiri juga ke kanan
sebab siapa tau
aku tidak sedang pergi
tetapi kembali
kepada janji yang tak jadi kuucap.
2010
*)
Sebuah pelabuhan kecil di Sampang, Madura, yang menghubungkan Sampang
dengan
pulau Mandangin, dan pulau lainnya.
BIODATA
ALEK SUBAIRI, lahir
di Sampang, 05 Maret 1979. Lulusan Seni Rupa Unesa. Beberapa puisinya tergabung
dalam antologi puisi bersama, salah satunya Album Tanah Logam 2005. Antologi
puisi tunggalnya Kembang Pitutur (amper media 2001). Sekarang bekerja di sebuah
penerbit buku di Surabaya. Email :aleksubairi@yahoo.co.id
HIDAYAT RAHARJA, lahir di desa Omben- Sampang, 14 Juli 1966. Menempuh pendidikan dasar di SD
Omben–Sampang tamat tahun 1976. Menyelesaikan SMP di Sampang (SMPN 1 Sampang
tahun 1979/1980). Pendidikan SMA di SMAN 1 Pamekasan (1982/1983). Diploma III Biologi IKIP Surabaya (1986), dan pendidikan Strata 1 di
Universitas Negeri Yogyakarta (2000). Beberapa tulisannya
baik berupa esai dan puisi pernah dipublikasikan di berbagai media cetak lokal
maupun nasional, antara lain: Jawa Pos, Karya
Darma, Memorandum, Surabaya Post, Surabaya News, Mimbar
Pembangunan Agama, Radar
Madura (Surabaya), Majalah
Gong, Bernas, Kuntum
(Yogyakarta), Suara Pembaruan, Suara
Karya, Horison, Swadesi
(Jakarta), Singgalang (Padang), analisa (Medan), Nusatenggara
(Bali), Pikiran Rakyat (Bandung). Buku kumpulan puisinya, antara lain:
“Potret Pariwisata Puisi
Indonesia” Yayasan Komunika, Jakarta, 1992, ”Tanah Kelahiran”, Forum Bias, 1994, ”Kami di Depan Republik, KSRB – Surabaya, 1994., ”Negeri Impian” Forum BIAS, 1995., ”Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka”, Taman
Budaya Surakarta, 1995., ”Kebangkitan
Nusantara II”, Studio Seni Sastra Kota Batu, 1995., ”Cermin Cermin” Sepuluh Puisi Pilihan, Sanggar Tirta, 1995., ”Gerombolan Puisi Manusia Ghot ”TAGIH” ”, Ghot,
1995.,
”Kleptomania” Komunitas Manusia
GHOT, 1996.,
”Improvisasii Retak” KSRB – Surabaya,
1996,
”Api Pekarangan, Forum BIAS, 1996., ”Negeri Air”, Surabaya Art Festival, 1996., ”Nyelbi’ e Nemor Kara” (Puisi Berbahasa Madura),
Kelompok Manusia Ghot,1997, “Antologi Puisi Indonesia 1997”, KSI – Angkasa,
Bandung, 1997,
”Istana Loncatan” Lingkar sastra
Junok, 1998.,
”Sastra Kepulauan” Dewan Kesenian
Sumatera Selatan, 1998., ”Luka Waktu” - antologi puisi penyair Jawa Timur ’98, Taman Budaya Jawa Timur, 1998., ”Memo Putih”, Taman Budaya Jawa Timur, 2000., ”Kampung Indonesia Pasca Kerusuhan”, Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2000.
”Antologi Penyair Jatim ”, Festival Seni Surabaya, 2004. Beberapa Nahkah
pemenang lomba:
”Kekerasan dalam Sosial Masyarakat Madura”
Pemenang III Lomba Penulisan Naskah Kebudayaan Daerah, diselenggarakan oleh
Dirjen Kebudayaan RI – Depdiknas, tahun 1999. ”Bantalku Ombak Selimutku Angin; Representasi Buadaya Madura”, Pemenang Lomba Mengualas Karya Sastra – Peningkatan Pelajaran sastra –
Ditjen Dikdasmen Depdiknas Jakarta, 2001. ”Air, Manusia dan Peradaban”, Pemenang IV PKLH
Dirjen Dikdasmen – Depdiknas, 2003, Cerpen “Luka
di Dada Kiri Gabir” Pemenang Lomba Menulis Cerita Pendek - Peningkatan
Pelajaran sastra – Ditjen Dikdasmen Depdiknas Jakarta, 2003, “Reruntuhan Cahaya: Eksistensialisme Mencari Tuhan” Pemenang Lomba Mengulas Karya Sastra, Peningkatan Pelajaran sastra –
Ditjen Dikdasmen Depdiknas Jakarta, 2004., ”Nyanyian Buat Negeriku” (Buku Puisi) –Pemenang III
Sayembara Penulisan Buku Pengayaan untuk SD – Pusat Perbukuan Kemendiknas – Jakarta – 2009., “Jalan Ke Rumah MU” (Buku Puisi) –Pemenang III Sayembara Penulisan Buku Pengayaan untuk SD –
Pusat Perbukuan Kemendiknas – Jakarta –
2010.
Saat ini menjadi tenaga pengajar di SMA Negeri 1 Sumenep.
Juga mendirikan lembaga “SAVANT”, bimbingan menulis kreatif bagi anak dan
remaja bertempat di teras rumahnya .
HARKONI, lahir 3
Desember 1969 di Sampang, Madura. Karya puisi, cerpen, dan esai puisinya
terpublikasikan di sejumlah media massa. Kini menjadi guru di SDN Masaran I
Banyuates, Sampang
Y. ZAVIEN AUNDJAND,
lahir di sebuah desa terpencil, Desa Banjar Talelah, Camplong, Sampang pada
tanggal 10 April 1985. Lelaki berbadan kurus ini alumnus PP. An-Najah I
Karduluk Sumenep (2000-2007). Jenjang Pendidikan dasarnya di tempuh di SDN Banjar Talelah III, Camplong,
Sampang (1999), MI Zahratut Tullab Bandungan Banjar
Talelah Camplong Sampang (1998), UIM (Universitas Islam Madura) Pamekasan
(2006-2007), kini tercatat sebagai Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beberapa karyanya
yang berupa puisi, esai, cerpen & artikel pernah di muat di beberapa media
lokal maupun nasional seperti Jawa Pos,Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat,
Human News, Bejad’s Rasan-Rasan, Tilawah, Matapena, Snapan, Majalah seni
dan budaya Gerbong, Buletin Stars (Pembangunan Seni Yogyakarta), Majalah
Geger, dll. serta beberap antologi bersama Gundukan Tanah Merah (2007),
Ruang Mayat (2008), Antologi Penyair tanpa Bilangan Kota Diorama
(2009) dan beberapa antologi komunal. Karya-karyanya yang tunggal yang
pernah terbit berupa antologi puisi: Cinta bukanlah Kebenaran (Matsnaa publising: 2008) dan Sabda Jibril (Gusti
Press: 2008). Antologi Cerpen: BANGKAI dan Cerita-Cerita Kepulangan (FKU
UIN Suka Publising: 2009) dan Pekabar dari Negeri Diyalarium
(PondokMas: 2009), novel: PROPOSAL CINTA; Perjalanan 2 cm. Menuju
(Ke)abadi(an) (Diva Press), dan
karyanya yang belum terpublikasi (novel): 16
Tahun Kematian tuhan, Jembatan
Merobek Langit, dan Cadar Perawan
Sungai.
UMAR
FAUZI BALLAH, lahir di Sampang 2 Juli 1986.
Menulis puisi sejak kelas 1 MAN Sampang. Ketertarikan itu dilanjutkan dengan
memilih kuliah Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya lulus 2009. Di
Surabaya ia mengalami pergesekan dengan banyak penulis. Ia kemudian tergabung
di Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Teater Institut sembari nyantri di ponpes (mahasiswa)
Sabilillah Lidah Wetan Surabaya. Di kampus ia menjadi redaktur majalah SESASI FBS Unesa. Tulisannya berupa
puisi, cerpen, dan esai pernah menghiasi berbagai media seperti majalah WIDYAWARA
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, majalah SESASI, Tabloid GEMA UNESA,
majalah KIDUNG, harian Duta Masyarakat, Suara Karya, Sumut Pos, dan
Surabaya Post. Puisinya berjudul “Ayat-Ayat Isroil” adalah juara II
puisi untuk Peksiminas selekda Jatim dan juara pertama puisi berjudul “Rumah
Sumpah Sie Kong Liong” pada lomba cipta puisi Sumpah Pemuda 2008 yang diadakan
oleh Himpunan Indonesia-Tionghoa. Puisinya
tercantum dalam beberapa Antologi bersama, seperti ManifestoIllusionisme
(Dewan Kesenian Jawa Timur 2009), PestaPenyair (DKJT, 2010), Duka Muara (KRS, 2008), Ponari For President
(Bable Publishing Malang, 2009)Ia juga sering
mengikuti berbagai event diskusi sastra seperti Pesta Penyair Nusantara Kediri 2008, Halte
Sastra Surabaya 2009,
Temu Sastra Jawa Timur 2009 berlanjut di Temu Sastra Nusantara di Solo 2009.
Sekarang menetap di Sampang Madura.
UMAR
FARUK MANDANGIN, Lahir di Mandangin, Sampang,Madura, 04
April 1981. Pernah menjadi ketua Teater Sarung IPNU, Pamekasan, anggota Teater Fataria,
ketua komunitas “Mandheg Angin” Sampang. Sekarang menjadi pengajar SMU
dikampung halamannya. Sekali waktu ia melaut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar