Gambar ilustrasi adalah karya Amin Bashiri. |
Layu
kemarin menitipkan tunasnya di ujung baru. Selembar telah terkulai di bawah
teduh menunggu angin membawanya terhempas rindang. Tak punya akar, tak
menemukan cabang, tak menghijaukan ranting-ranting musim. Sia-sia untuknya
dapat kembali menimang cahaya sesudah malam tiada lagi menghias lingkaran mata
cakrawala dengan ujungnya yang tebal. Daun-daun ngambang ketika gelap
menggugurkan kehangatan, tergerai di pucuk-pucuk kenangan, mengering di
sepanjang kemarau lalu.
Aku
terperanjat setiap tangkai terlepas menggelegar hunjam denyut menyentak. Oh! Ibu yang menampung deras air susu, lembabkan di mana hati tergolek nanti
agar terasa kematian yang basah di jurang lapang bibir yang pasrah. Sekali
waktu biarlah terucap sebaris kalimat di titik embun yang menyuguhkan mentari
riwayat daun-daun. Terperangah menghabiskan seluruh rasa yang hijau ini sampai
masa berganti tiba.
Pohon-pohon
begitu juga daun. Semua rongga diresapnya hingga membatang kekar kulit-kulit
legam. Batu bernaung, debu berpayung, jamur-jamur dan kernyit dahi yang
terpanggang menyandarkan getah keringat di bawah julang menggapai. Oh!
Akar-akarmu menjalari angkasa tertinggi
di ruas-ruas misteri. Jiwa-jiwa begelantungan, bermain-main dilentur perasaan
yang melengkung, berkejaran memikat pesona yang terpintal. Kokoh, rimbun,
perkasa menyangga biru langit dengan sahaja.
Kukenali
luruh seperti petikan-petikan gitar. Menyimak alunan ketakberdayaan seperti
menyimpan nada-nada pada sebuah irama. Syahduku, cintamu, debarku, tangismu,
rinduku, desahmu berhembus pada nyanyian-nyanyian keheningan. Adalah waktu yang
menjemput hari dimana kesedihan-kesedihan kesendirian dipupuskan oleh
tarian-tarian musim yang tergelar. Engkau hidup di ladang masa yang teramat
subur, mengalir sekian tempa alam yang makmur. Dendangkanlah di telingaku yang
tuli ini dengan samar bait-bait kekasih yang ditulis pada selembar daun malam.
23.06.2010.03.00
Bahkan tak kuundang sebelumnya, masa lalu itu
nyaris menggores perih berdarah lagi. Ada dirimu yang telah mencari-cari,
bertualang di terik kelana yang membakar cinta.
Puisi-puisinya mengalir seperti dipersembahkan hanya untukmu, entah siapa yang memulai merangkai bisikan-bisikan hati di kesunyian. Ataukah aku dan dirimu sempat juga terengah-engah bersamanya di dingin yang menggigilkan?
Puisi-puisinya mengalir seperti dipersembahkan hanya untukmu, entah siapa yang memulai merangkai bisikan-bisikan hati di kesunyian. Ataukah aku dan dirimu sempat juga terengah-engah bersamanya di dingin yang menggigilkan?
Dari mana suara itu?
Aku tak kuasa untuk berteriak dengan rasa ragu yang
menderaku. Cinta, ya cinta yang pernah kita cari mungkin tak selalu sama. Ia
yang tumbuh bersama tegar, ia pula yang tertunduk saat ditawan. Ia yang
menjulurkan tangan, ia pula yang mencengkeram dan mencakar. Kuhadapi
kesendirianku penuh kesetiaan menyaksikanmu yang tersenyum, merengek, menghiba,
membara, menarik-narik dan bersembunyi di remang fajar ...
Pernahkah dirimu hadir di bilik-bilik yang
menggusarkan jiwa kekasih hingga terbelenggu, seperti kehadiran silam yang
kumaknai selalu dengan cemburu? Begitu mudahnya mengucap kata 'sayang' untuk
mengikat pagi di pohon-pohon kasih-sayang. Namun aku tak akan menyesali hanya
karena ia datang silih-berganti dan siang telah tega merampasnya sekejam terik
menyalakan gundah di kegelapan yang padam asmara. Bergantian tangan-tangan
menyulutnya dengan api yang dipercikkan batu-batu. Hati yang tiba-tiba mengeras
enggan mengingatmu sebagai bidadari dan tetap saja mengimpikan kehalusan
pekerti itu pada gambar-gambar suka-cita ...
Ya, gambarmu, lukisanku, fotomu, wajahku telah
disimpan sebagai rindu yang tetap membisu.
Berkisahlah tentang mata, itu yang kupinta di
tengah perjalanan ini. Sebab kulit merona di pipiku dan bentangan arah di depan
jalan habis dijejak lirikanmu. Bagaimana aku dapat melihat padang hijau di
kedua mata itu bila gersang yang tersimpan menghalau musim. Sementara hujanmu
adalah rintik usang tertuang habis mengalir ke daratan yang lampau. Goreslah
aku, rampaslah kata-kataku, bingkailah perasaanku ...
Tersisa sebaris pesan yang tak sempat kubaca,
tertulis pada judul kosong yang tak kuasa kuurai seperti isyarat-isyarat
tentang separuh hati membekas kaki para pencuri.
Turmedzi Jaka,
putra Alm. K.H. Djamaludin Kafie, kelahiran
09 Mei 1973 adalah santri alumni PP.
Al-Amien Prenduan Sumenep. Pada tahun 1992 aktif di Teater
Hilal dan kelompok musik Gema Sakral. Satu tahun berikutnya terlibat di
berbagai antologi puisi sastrawan Madura, mendirikan kelompok musik Dzikir dan mengeluarkan
beberapa album indie. Pada tahun 1995 menjadi tim ini dalam pengembangan
pendidikan di Ad-Dzikir.Saat ini bersama seniman Sumenep mendirikan
Masyarakat Santri Pesisiran sembari menekuni batik alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar