Perancang sampul: Shohifur Ridho Ilahi |
Seorang Telah Pulang Tanpa Suara
1.
seorang telah pulang tanpa suara,
seperti jam tiga yang menyisir tepi
pintu dan jendela.
saat mata senja terbuka membuat
bayangan,
kilau yang jatuh jadi penanda
hujan pertama.
lagu-lagu raib ke tengah kolam,
dan kenangan, adalah rumusan huruf
yang basah.
seorang telah pulang tanpa suara.
2.
gemeriap cahaya, gaib dari barat dan
utara.
adzan baru saja raib, tapi senja
belum sempurna
juga habisnya.
kudengar seorang pulang tanpa suara.
Bojonegoro,
2007
Beranda Perjanjian
Saya selalu menunggumu. Di sini, di sebuah tempat yang hening, di bawah
pohon akasia di tengah taman kota yang kekal dan dimanjakan beratus kenangan.
Kota yang terus mengaji dirimu. Kota yang mengawasimu sejak pagi dinyalakan
hingga malam yang bangkit, kembali tidur di tengkuknya, ketika bulan padam ke
dekat fajar yang tumbuh gemetar.
Demi risau yang ditentramkan, sungguh, saya selalu menunggumu, Sayangku.
Di antara gusar yang kau lempar sia-sia pada jalanan, pada derum truk dan
angkutan yang berlalu meninggalkan debu.
Saya suka membayangkan menjadi Tuhan pada setiap perbatasan hari-harimu
yang perih dan ragu, menjadi lingkar cahaya yang berbaris panjang menghiburmu.
Di tepi ribuan sore yang lepuh, di bawah kaki anak-anak waktu yang berlari
gaduh menabik ngilu pada akhir setiap senja yang rumit dan suka datang membuat
bayangan, saya menunggumu untuk sisa-sisa tahun yang terus melengkapkan luka
sia-sia.
2008
Akar
hatimu sulur-sulur tahun yang menagih
hujan waktu.
malam menciummu dengan janji, tanah
liat paling dekat.
angin membungkuk, sedang sunyi tak
ada.
lalu laut menyimpan napasmu.
jantung yang terus mengasah
tombak-tombak doa
surup ke langit yang berjaga.
tak dirajuknya
linang malam yang dibawa masa lampau
itu.
linang malam dan masa lampau yang
merayap
lesap ke pantai, ke gigir pasir yang
luas
lekuknya penampung asin rindu.
masa lampau, napas kunang yang
berjaga.
: agar tak padam api di lubuknya,
agar tak robek kulit di tubuhnya.
kau pun tamasya ke hutan-hutan malam
penuh suara.
2009
Tujuh Tipografi
Tahun
1/
kau cuma perlu menatap dan memberi waktu yang
sedikit untuk matahari yang terbenam, karena kepada suara aku jatuh dan
tertidur. karena tangis yang lucu adalah sebuah kota buta.
2/
kita cuma pelancong, dinda. di ranjang tempat
stasiun-stasiun tumbuh, tanganmu dan tanganku tak bertemu. kota, nama lain dari
rute panjang setiap perburuan.
3/
aku menggenggam tanganmu
melalui semua tahun. aku menggenggam semua tahun melalui tanganmu. di batas,
pedih merambat pada setiap kata.
4/
jeremia, suara dari kamarmu. suara yang melepas sia
segala, menyeberangi ketuk jam, memasuki jembatan pulang. tekuk, tekuklah tubuh
ini. padamu.
5/
ia tak mau menangis ketika malam mengirim suara
stasiun. rautnya yang nakal membayangkan tidurmu. jam berayun dari ngilu ke
ngilu, membangun kota di lengannya. lengan yang pernah memberi lampu pada masa
kanaknya.
6/
ingatan, adalah batu di
kota tanpa cahaya. kalung-kalung waktu pada namamu, pada namaku, menjadi
lonceng bagi malam yang mau berhenti sebagai malam.
“kau ingin pergi dari kenangan?” tanyamu.
“adakah
yang lebih diam dari rindu pukul sembilan?” balasku.
7/
ketika linang lampu jatuh ke tengah remang, debar
arloji melambat, menunggu waktu mencederaimu. kau tahu mengapa bulan suka
menggumam malam-malam tentang kenangan, janji pisau yang ingin sekali
melukaimu?
2012-2013
Randu, Sebuah Pohon di
Dalam Dirinya
randu. sebuah pohon di dalam dirinya. tempat segala pernah bermula. pada
apa pun yang dicatatnya, cuma pohon randu yang masih belum menanggalkan
kulitnya. sebuah jejak telapak tangan yang digambarnya dulu, memberi pengertian
bahwa ia tak sekali pun mengingkari kepulangan. tak ada yang dapat melawan
sajak-sajak yang tumbuh menyerupai pohon randu, kecuali musim yang berubah dan
angin-angin jahat yang mengenalkannya kepada riuh. malam-malam laknat dan genta
pada kalungnya.
bila kebisingan ini kelak reda. pohon randu menjemput tangannya.
2016
Timur Budi Raja, lahir di Bangkalan,. Menulis puisi, prosa lirik,
beberapa naskah pertunjukan, esai sastra dan bergiat mengaransir puisi-puisinya
ke dalam bentuk musikalisasi puisi yang dibawakan dari konser kecil ke konser
kecil. Aksara Yang Meneteskan Api, merupakan sehimpun puisi tunggal
pertamanya (Lingkar Sastra Junok, 2006). Opus 154 adalah sehimpun
puisi tunggalnya yang kedua (AkarHujan
Press, 2012). Puisi-puisinya menjadi bagian
dalam beberapa himpunan puisi bersama; Akulah Mantera (1996), Mosshat (1998), Anak Beranak (1998), Istana Loncatan (1998), Luka Waktu (1998),
Narasi 34 Jam (Komunitas Sastra Indonesia, 2001), Osteophorosis (2001), Hidro Sefalus (2001), Sastra Pelajar (Horison, 2002), Ning (Sanggar Purbacaraka Udayana, 2002), Permohonan Hijau
(Festival Seni Surabaya, 2003),
Penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2004), Pelayaran Bunga (Festival Cak Durasim, 2007), Laki-Laki Tak Bernama
(Dewan Kesenian Lamongan, 2008),
Rumah Kabut (2009), Pesta
Penyair Jawa Timur (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), dan Forum Sastra Hari Ini (Salihara, 2010), Lelaki Kecil Di Lorong
Maling (Melati Press, 2013), dan Mahar
Kebebasan (Mata Malam, 2013), Wasiat Cinta (Nala Cipta Litera,
2013). E-mail: dear.timur@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar