Lukisan Claude Monet, diambil dari google |
Entahlah
Entahlah,
suara langit di ketinggian
Ternyata
berbeda dengan di sini, di lembah
Tempat
hujan menanam lumpur ke dalam dada
Tempat
pagi mematung dan senja gelisah—surup hari
Yang
keramat.
Entahlah,
pohonan yang hijau dan burung-burung
Hinggap
sekadar untuk bersiul dan suka ria
Simfoni
pagi yang sanggup lapangkan dada
Kini
tinggalkan bekas cemas, seperti cermin
Berkaca
aku dengan keterpencilan
Dari keterasingan yang tiba-tiba
Entahlah,
doa seakan tak sampai
Memulangkan
hikayat lama, di mana timangan ibu
Semesra
angin utara di dalam diri.
Saat
langit dan tanah masih berkawan
Mesra
membingbingku berjalan, menunjuk arah
Dan
menghafal segala nama-nama
Entahlah,
semestinya.
2014
Ke Dalam Diri
Ke
dalam diri aku bertanya:
Tanah
ini milik siapa? Aku dan mereka ini apa?
Mendengar
sebentar lagi aku dan mereka akan diperdagangkan,
Dan
tanah ini akan menjadi tempat transaksi, saksi para tetubuh yang kekar
Yang
seringkali kudengar namanya di koran, televisi dan mulut ke mulut
Aku
dan mereka hanya tubuh yang terbuat dari
terik matahari,
Keras
bebatuan dan tanah huma adalah bagian dari kefasihan alam di mataku,
Namun
luas batin kami adalah lautan dan langit yang membiru.
Ke
dalam diri aku bertanya:
Aku
dan mereka ini sebenarnya harus bagaimana?
Ada
yang berjalan sendiri-sendiri, ada yang meraung membikin
Bising
ke dalam angin yang mencoba hadir sebagai alamat kebenaran
Mencoba
menggauli arah ke dalam doa, ke dalam sujud yang disempurnakan
Oleh
teka-teki tuhan.
Mengharap
jalan adalah aku dan mereka
Sementara
kalian: sesuatu yang mesti kupahami
Sebagai
kesesatan.
2014
Begitulah
Ada
yang mesti ditinggalkan, puisi atau diri
Setelah
anak sungai menggauli muara tanpa salam
Sampai
di batinku nyanyian air mengalir seperti hujan di bubungan
Barangkali,
akulah bagian dari setengah malam yang gelisah?
Mencemaskan
diri dan puisi yang semakin hari nama-nama mengasingkan
Dan
membawa mereka ke hikayat anak kecil yang mati lapar
Anak
sungai dan air mengalir tumbuh seperti ritus moyangku
Berharap
kemungkinan dalam tubuh menghilang, menjauh
Agar
perih tidak lagi sama dengan malamku?
Sebab
tak ada luka yang sendiri menafsir dirinya.
Begitulah,
puisi dan diri.
Mesti
ada yang ditinggalkan, entah
Bahasa
atau isyarat perlambang yang sulit diterjemah?
2014
Puisiku dan Dirinya Sendiri
Kubayangkan
di tepi sebuah danau dengan puisiku
Melihat
hutan-hutan, dan rimba pohonan hijau.
Berlari-lari
kecil sambil sesekali bertukar bahasa dan isyarat
Ada
angin syahdu membelai, menyapa dengan doa-doa
Di
suatu waktu, saat hujan turun aku juga membayangkan
Puisiku
datang memelukku, mencium keningku dan
Membelai
rambut ke perakanku, lalu menyuruhku tengadah
Ke
langit di halaman, seperti seorang kekasih tabah
Menanti
kepulangan
Tetapi,
kini aku tak bisa lagi membayangkan puisiku
Puisi
yang kucinta dan kusayang, di suatu hari kelahirannya
Datang
mengetuk pintu, memelukku
Kemudian
pergi dan berlari selepas berucap: salam sastra,
Berlari
hingga pedih perih mengaduk-aduk pikiran dan perasaan
Jauh
dalam batinku, sungai-sungai tempat ia mandi dan
Membasuh
pakaiannya
Tiba-tiba
saja tak ada airnya.
Aku
tidak tahu ada apa dengan puisiku,
Tak
ada alasan bahkan isyarat kepergiannya
Di
suatu waktu, entah mimpi atau apa
Aku
menyaksikan puisiku berjalan lemas di depan toko busana
Pakiannya
compang-camping seperti habis ngemis atau memang
Tak
mempunyai pakaian lain kecuali yang
dipakainya itu
Puisiku
melambai kepadaku,
Seperti
lambai ketiadaan, seperti sebuah kepergian yang jauh
Lalu,
kubiarkan kematianku memasuki diri, amien.
Kutub,
2013
Zara dan Puisiku
Zara,
setiap malam aku seringkali melipat-lipat wajahmu
Dan
membayangkan puisiku tumbuh di keningmu
Memekarkan
bunga-bunga yang kumbangnya adalah aku
Agar
diri sampai kepadamu.
Mendekatlah,
Zara
Di
kotaku puisiku menantimu, membiarkan namamu
Berulangkali
mengasingkannya ke negri malam yang sunyi
Menjelmakanmu
dengan bahasa bunga tengah mekar
Kadang,
puisiku tertawa sendirian
Saat
engkau hendak asyik berlarian dengan anak-anak sungai
Yang
membawa sebagai diksinya berlalu
Kadang
pula, ia tampak murung
Saat
engkau tak dapat ia temukan dalam metafornya
Di
sini, di malam yang seringkali mengasingkannya
Aku
membayangkan engkau tumbuh di keningnya
Memekarkan
bunga-bunga yang kumbangnya adalah engkau
Agar
engkau sampai kepadanya.
Kutub,
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar