Banyak Hujan by Linda Di Sante. Sumber Google. |
MENANGGALKAN
HUJAN
aku mencermati
hujan sore ini, tak ada senja
hanyalah kedalam
mata memoles daun-daun
melambaikan
kerajinanmu menyimpan rahasia
mengintai mimpi
dari luka mengenaskan
atau barangkali,
hujan sore ini seperti kalender
berdenting di
tempat waktu yang salah
dan hujan sore ini
masih mengemas halaman
rumput-rumput kita
lihat keadaanya tergenang
oleh air hujan yang
tak mau reda. dan anak kecil
di jalan lagi
mengusap wajahnya dari turunnya
hujan yang sedang berlangsung
ketika sore semakin
gugur. biarlah terjadi
kau tak perlu cemas,
sebab nasib menjelang waktu
adalah doa yang kerap
kita kumpulkan dari pahatan
kayu-kayu di tungku
api, hingga terbengkalai
dari kejauhan hari
tanpa curahan suka duka yang
semestinya
mengembang di segala jalan pada
suatu lorong yang
senantiasa kelam.
(2016)
KITA SEPERTI MENANTI
setelah kau akrab dengan kenangan
setelah itu kau tak mau merindu—
aku menyangka kau sedang merayakan
hari kemenangan dari arti sebuah dingin
pada sunyi mengasah
takdir yang keras—
kusampaikan di sini. bukan hanya
sekedar takdir yang keras, tapi tanah
merekah pada pucuk mata yang tajam—
setajam masa
kecil—
membelah cuaca sekaligus menggambar
aku sedang bertamu ke rumahmu
menanyakan sisa jam yang berdenting
memakai topeng ke
arah pagi—
supaya kau tak merasa semacam puisi
yang mengalir
ke arah hening yang jadi
kabar, maka demikianlah—
kita seperti menanti. bagaimana cara kita
melihat jarak dari rahasia yang jauh
semacam sunyi
menyerahkan aku
dan engkau
datang malam-malam—
dan kita hanya bisa menanti.
(2016)
KEMBANG PENGANTIN
—Eko Septo Utomo
yang tak dapat
di putar kembali
aku bersembunyi di dalamnya. penglihatanku
kau sedang membangun sajak yang hampir
hangus sepanjang jalan
aku memandang kembali, dan kau menjerat
suara dengan paruh menganga
di matanya masih menyimpan syahdu
burung-burung terbang bergerak dengan
lincah, hingga tersangkut pada alisnya
semacam peradaban mengucurkan
sejumlah hendak, sedalam barangkali kau
mengikat masa lalumu di perpustakaan
terdengar wajah
yang dingin dan kekal,
membaca isyarat dari ujung ke samping
di dataran rak buku yang kau cium dari
sisa cintamu, dan sajakmu yang
menjadikanmu kembang pengantin.
(2016)
ADALAH KERAIBAN KITA
kita hanya terdampar saat kau
menanggalkan usia. oktober nanti
adalah keraiban kita menundukkan
kepala tak sanggup menyambung
airmata ingin jatuh di bawah langit
sungguh kau seperti tukang sihir
melintasi tanggal serupa miliknya
suara mengembang masih kudengar
risalah angin seketika engkau tiba
antara ada, dan tiada
akhirnya airmata itu jatuh juga
mengiris musim yang kita cintai
ke dalam selat waktu kau gugur di
rerumputan. ternyata jenazah sudah
tiba, dan kita pun bertemu
di sini, pertama kau membagi rindu
dan terakhir kau ajarkan tentang salam
bagaimana cara berpamitan dengan
benar. barangkali itulah satu-satunya
perbedaan antara kelahiran dan kematian
merapat dalam jantung hingga kini
tak putus-putus
memeluk sikap
ke seberang sana.
(2016)
Rosi Praditya, lahir
di Sampang 20 Oktober 1992. Kumpulan puisinya yang dimuat sejumlah antologi dan
antologi bersama: Suara Waktu (2014). Permohonan Minoritas (2015). Seribu
Kembang Hujan (2014). Bunga Rose (2015).
Mungkin Seperti Senja (2016). Menanggalkan
Hujan (2016). Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia di STKIP PGRI Bangkalan, dan masih menempuh kuliah Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS). Sekarang aktif
dalam kelompok studi teater, sastra dan budaya di sanggar Komunitas Masyarakat
Lumpur (ML) Bangkalan-Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar