Night abstract landscape rainy lights painting art by Debra Hurd |
Musim
Hujan
Ini musim hujan
Rumput-rumput pada tumbuh
Kuintip awal mula penciptaan
Betapa segalanya masih teduh
Langit tidak jadi runtuh
Karena hujan masih bisa bernyanyi
Lalu dukalara dunia kubasuh
Di telaga pagi dan hening hari
Maka menarilah wahai istri
Di ujung senja yang menuju kelam
Meski palu-palu itu tetap tuli
Biar nyalang batinmu tak makin
temaram
Pada
Hujan
Pada hujan yang menyelinap ke
rumahku
Ada sepucuk surat dititipkan
guruku:
Masih dalam ingatanmukah kisah
budi?
Juga baris-baris tentang kerbau
pak madi?
Lalu benang-benang hujan
bermetamorfosis
Menjelma bunga-bunga paling
narsis
Sedang musim yang dulu jadi
sembilu
Dari dalamnya menyeruak wangi
narwastu
Jarum-jarum hujan tidak pernah
lelah
Mengantar bunga salju ke pintu
rumah
Ada kenangan manis di kebun waktu
Saat bermain tekateki dengan
Tuhanku
Banjir
Kenapa hujan memperanakkan
banjir?
Karena dam hati ambrol dan
nyinyir
Hingga pohon-pohon terkulai di
kerak waktu
Dan bayang-bayang firdaus menjadi
beku
Banjir yang semakin gila
Menarik bocah ke dalam igaunya
Tangis yang ditahan itu lalu
pecah
Tak kuat menanggung zaman serakah
Betapa nikmat tertawa oh bunda
Saat matahari membeku di luar
kemah
Biar topan semakin beringas oh
bunda
Ruh kita tak terkepung di
rumah-rumah
Sehabis
Hujan
Sehabis hujan reda
Anak-anak berkejaran di halaman
Mencium bau tanah yang renta
Dan hidup yang penuh tikungan
Di ujung rambut mereka
Bunga-bunga bermekaran
Pelangi yang berdansa dengan
seroja
Pindah ke atas meja jadi hidangan
Ibu saksikanlah
Anakmu yang telah lahir kembali
Sungguh hati sangat berbuncah
Digerus waktu tak pernah mati
Guyuran
Hujan
Di tengah guyuran hujan
Berloncatan jua api-api cinta
Dan bidadari yang menawan
Bergegas memikul bianglala
Aduhai sungguh tercabik jiwa
Aduhai sungguh membara rindu
Dan ketika kenangan musnah di
angkasa
Segala sesuatu muncul sebagai
rupamu
Maka kususuri awal mula
Saat semua rupa masih sembunyi di
muara
Ternyata yang aneka adalah satu
Yang berpendar-pendar dari
wujudmu
Hujan
Dinihari
Pada hujan yang menari dinihari
Malaikat-malaikat memanggilku
Dari luar waktu
Aku menjenguk ke luar jendela
Sembilan puluh sembilan bunga
tumbuh
Di sebelah barat waktu subuh
Lalu angin bertakbir seratus kali
Tujuh lapis langit jadi merendah
Dan lautan debu bersorak sambil
tengadah
Oh hujan dinihari yang membara
Mari kuantar engkau ke hulu
Untuk melayarkan perahu-perahu
rindu
Hujan
Habis Subuh
Sehabis subuh hujan belum reda
Jarum-jarumnya menggali perigi
dalam jiwa
Yang memancar bukan mataair saja
Tapi juga matahari dan bunga
seroja
Matahari memenuhi janjinya
Membakar kabut paling dungu di
timur sana
Tanda bahwa tunas-tunas akan
tumbuh
Dan musim palawija menghampar
jadi suluh
Ohoi cintaku padamu makin menyala
adik
Menjelma hamparan musim paling
purba
Kupu-kupu di rambutmu menari-nari
adik
Siapa bilang cinta mengenal tua?
Sewon,
2014
(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999) dan Pohon Sidrah (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001).
Sedang kumpulan esainya adalah Tafakur di Ujung Cinta (Pustaka Pelajar, 2003)
dan Sepotong Rindu untuk Kanjeng Nabi (Pustaka Pelajar, 2005). Email: kuswaidisyafiie@ymail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar