Perancang sampul: Joko Sucipto |
Klonnong I
Semoga keajaiban datang dari kandang di
setiap malamku. Kelak, aku ingin keajaiban itu seperti wajah anak-anakku ketika
sedang tidur. Agar semua yang rasanya sepah mengait ke leher zaman. Aku tidak
akan menggeliat. Melainkan akan kuterima dalam lengkungnya pisang biji, ompos daun, dan hijaunya kemalangan.
Geletakkan paru-paru dalam sekam, begitu juga asap pembakarannya. Akan
kulantangkan seribu kematian sehingga ganjil. Seganjil bunyi-bunyian pada gigil
doa-doa sakratulmaut. Begitu jalan tertimpang, lantas kau bertanya. Bunyi dari
mana itu? Siapa bunyi?
Lehernya menetas menjadi liang. Tak
suntuk pun keriap talkin di pusara-pusara. Juga bengalnya bulu-bulu merah bata
yang membubut kulit lembuku. Kalau tegal masih tersisa untuk kulukis salah satu
warna senja di bawah atap-atap kampungku. Jungkalkanlah ke dalam lahat.
Biarkanlah redam bunyinya. Tak ada yang mendengarkan zaman lewat telinga.
Telinga hanya dencing kemasygulan anting. Menuduh keburukan itu baik terasa.
Aku tak bisa pura-pura lagi menyimpan bau kesunyian dengan berdiam diri.
Sekarang kau patuk-patuk sisanya. Ompos daun pisang tumbuh ke bawah
melawan kematian. Anak-anak yang nakal ditambah tahu mengaji. Begitulah keadaan
di sekitar kandangku. Adakah atap ini memberiku harapan, memberi kidung meski
sebentar saja, memberi najis besar pun aku tunggu. Ini tinggal asap dedak
mengelabui penyunggi jalan bahasa. Dan bunyi adalah bahasa yang tidak bisa
dibaca, tidak bisa diinginkan untuk dibaca, tidak bisa didengungkan selayaknya
tamsil. Tidak bisa dikubur pula diriku dalam sakratulmautmu.
Aku lokan bermata satu. Buhul dalam
rindu terpendam. Ajal menjemput serta pekikku serupa bahasa angin melindap. Di
sana kutanam hatiku sendiri sebagai jalan keluar menuju lubang kemaslahatan,
tempat bayang-bayang mengharumkan wajah orang-orang. Pasrah. Oh betapa kugelung rambut demi mengasah lirih kidung
sendiri. Dengan cara ini. Maka, aku digantung agar hidup sungai-sungai
mengalir, agar hidup sawah-sawah, agar hidup sawangan meninggi, agar hidup
kerendahan hati.
Klonnong
II
Warisan. Aku tak punya warisan. Katakan
kepada warisan bahwa aku tak punya warisan. Tapi aku mungkin diwariskan. Siapa
yang mau menerima warisan bunyi kepada anak cucu? Siapa pula yang mau
memberinya? Tak satu pun. Kampung mertua congkak, sebab bukan mestinya itu
kehidupan yang dicari. Sebab kampung halaman sunyi dari bunyi, selain berlari
dan terus berlari mengejar yang tak berbunyi. Namun di badannya getir
alang-alang diselisik. Sisa derik jangkrik, kutu pencemburu di sayap burung, keluarga
hama, dan peluh kuning tani yang membeku. Semua diarak ke kandang. Malang.
Bersamaku.
Tapi wahai warisan. Aku punya anak cucu
yang lahir dari hembusan angin. Mereka diputuskan dengan klaras dan kotoran sapi. Seperti rukun bambu di bawah penantian panjang.
Panjang yang selonjor. Mula-mulanya menabik perjanjian, mengaji di bawah pohon
nangka dengan anak-anak lada dan pala, lalu menjadi jisim gedek di
serambi-serambi kandang. Tempat tirakat bertumpuk cipratan kotoran sapi.
Di perigi terakhir gendang telinga
digetaskan, sungguh tak ada yang bisa kubahasakan lagi tentang warisan ini.
Kepada siapa warisan? Untuk apa pendengaran? Sebab kumal jantungku, nyeri,
keras bak hilangnya bau dari kikisan daun pandan. Menepi diteguk angin.
Raiblah, raib. Raiblah sudah aku memekik. Mencekik leher sendiri. Sementara
kencang otot-otot waktu menggelinjang. Menagih hutang leluhur, meluangkan
penggadaian sawah, memulangkan bunyi ke tempat asal. Sunyi.
Dan di sana sabit serupa sanak
saudaraku. Perak, bergagang tangan-tangan ringkih. Perkakas yang tak bisa
mencampakkan rindu. Tak akan nyeri, udara cemas menggamangkan amsal asalku. Aku
hanya terus ingin berbunyi di parit-parit, di dalam bulian jerami yang
terbakar, di jalan-jalan pulang, di dalam hati manusia.
Klonnong
III
Jika hari-hariku bagaikan binatang tanpa
tulang punggung. Maka, ingin kupupuk rasa haus, menahan ajal, meramal yang tak
berhenti, mengganti kadar bunyi dengan setubir nyanyian perangsang tanah gersang. Orang-orang merambat bagaikan
pekak batu. Air ditimba, dalamnya tambah dalam. Tanah digali, lubangnya tak
bergendang. Pekak. Terus memekak. Hanya satu, rindu tambah lantang. Memukul ke
janur-janur kering, memukul diam, menampar ke pagar-pagar bambu, menampar ke
pipi lembu, menyayat-nyayat ke bisik nurani yang mati.
Keriput nangkanya, kering tangannya
menanti tangan. Bulan kujenguk untuk mendatangkan keras tangan penjagal, sedang
pelepasanku datang bukan dari yang gagu. Keletuk dibaca. Keletuk dieja, keletuk
dimanja, disayang, dijungkalkan ke dalam bengalnya benturan matahari ke
jidat-jidat para tani, sehingga tertulislah hari-hariku ke dalam wajah yang
congkak. Matahari menyembur dari mata orang-orang. Menghunjamkan miliaran usia.
Betapa kuhitung dengan tangan yang separuhnya buntung. Berapa lagi usia paculan
di sana? Berapa lagi rumput disabit musim kemarau? Berapa lagi usia mengatakan
bahwa aku bukan usia?
Aku menekurinya, itu usia. Usia matahari
tua. Usia tubuhku yang katanya rentan. Entah dalam janji yang mana aku mau
menjadi rentan. Di desa dan di tempat-tempat penjagalan, aku ingin berlepasan
ke barat dan ke timurnya suatu musim menetes. Menyaksikan sapi-sapi naluri
berlari kencang ke dalam indahnya kembang pohon mangga berguguran. Aku
bertirakat, menakwilkan asam cukanya abu bertebangan di udara. Udara berbunyi.
Salah satu bunyinya jatuh ke bawah urat leher anak tiri. Aku anak tiri. Tiri
yang disembelih dari yang menutup telinga.
Tak luput juga di ujung perigi
pasar-pasar, keletukku pun diam. Diamkan tandusnya layar api. Layaran orang-orang bertepi. Langkah-langkah
angkatkan pecut dan digetaskan ke sunyinya tanah kering. Tak ada mandi berdiang
di sana selain penimba air meminum air liurnya sendiri. Sebab tak dimungkinkan
lagi tanah dikeruk dapat mengeluarkan air. Lantas dengan pongah
mereka mengeruk telinga agar bunyi air masuk
menyegarkan jiwa. Agar juga terdengar suara memanggil, mengeluarkan air
susu ibu. Membersitkan kasih sayang. Yang tenang. Yang pernah terbuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar