Lukisan D. Zawawi Imron. Diambil dari Google. |
Di Bawah Guguran
Kembang Asam
Di
bawah guguran kembang asam
sumpahmu
menantang
Kini
yang mendekapku
lirih
angin dari hati logam
Kemarau
selalu membersihkan
debu
lagi cemburu
Tapi
yang kemilau
tetap
keringat yang berlelehan
Denyut
hidup dalam gamelan
yang
menggairahkan seluruh tarian
Serbuk-serbuk
mayang siwalan
berhinggapan
di dada
Dahaga
dan sorga satu getaran
Jika
engkau menagih
kukibarkan
bendera putih
Jika
engkau bertanya kasih
daun-daun
di hutan berzikir lirih
Lapar
kupunya
nadi
bercabang
liku dalam diri
kulihat
bulan
berdarah
mengaliri nadi
jika
malam lapar
lapar
mengamuk dalam diri
lapar
menderap
mengucap
yang tak kumengerti
kunobatkan
lapar
jadi
topan
yang
bersujud di samudra
maka
kenyang
bagai
bayangan
jika
merenung di hati bintang
lapar
bergetar di lidah belati
kutusuk
diri sendiri
kutu
busuk di dalam hati
nyatanya
aku telah mati
Kau Sebut
kau
sebut cempaka
tapi
aku rasakan harumnya bangkai
kau
sebut sutera
tapi
aku rasakan hamparan duri
di
atas bumi yang satu menetas telur beribu:
tawa
riangmu perih sumsumku
saat
ini kupersembahkan
bangkai
untukmu,
sebagai
tanda penghormatan
dalam
dadamu yang tak berlampu
bulan
jelaga berdebur menyalakan tambur
nanah
itu,
susu
katamu
aku
hanya berdenyut
tak
kuat membendung rasa jijik
Tanya
hai,
bungakah engkau
yang
mencibir-cibir pagi tanpa cuaca?
kolam
dan batu kagum padamu
meski
gelombang
meludahimu
dengan seribu pisau
nyatanya
kau hanya telunjuk
yang
menuding lemari emas
yang
menyimpan bangkai-bangkai
dalam
mengunyah pecahan kaca
kucoba
aku bertanya:
pantaskah
bila kumandi
pada
air matamu
yang
meleleh menyiram melati?
Ranting-ranting Pohon
Pun
ranting-ranting
pohon pun mati
tapi
alangkah deras mengucurkan susu
rumput-rumput
di bawahnya
berzikir
dengan api:
sungai!
sungai!
ke
manakah engkau pergi?
di
sini muaramu
buah
siwalan sangat dahaga
hujan
putih pun tercurah
menghangatkan
tanah, menghangatkan dada
palu-palu
baja beterbangan di udara
membetulkan
darah yang salah warna
Proses
semut
bertubuh bara
selalu
menjalari lorong-lorong nadiku
terakhir
ia menggali sumur dalam hati kecil
sedalam-dalamnya
sampai
ia lenyap
meninggalkan
jejak sajak dan jejak rindu
musim
semiku memancur dari sana
menaksir
daun-daun atlantis
tangan-tangan
langit menabuh gamelan
dinding-dinding
menjadi cermin
menjelaskan
tampangku yang sebenarnya
seekor
badak bercula pena
mengendap-ngendap
memasuki wilayah tak terduga
(Puisi-puisi di atas, diketik ulang oleh Farisi Al)
D. Zawawi Imron,
penyair, lahir di Desa Batang-Batang, Sumenep, Jawa Timur. Meraih The SEA Write
Award (2011). Karyanya, Bulan Tertusuk Ilalang (1982), mengilhami film Garin
Nugroho berjudul sama. Kini, ia tetap berkarya di kota kelahirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar