Perancang sampul : Shohifur Ridho Ilahi |
Sonet Pengembara
Kekelaman
malam kemarau adalah jalan lapang
bagi
pejalan tabah yang disesatkan harapan
dirawatnya
setiap alamat dan tanda kenang
sebagaimana
mengingat rumah yang ditinggalkan
Hamparan
rasi di langit jadi penunjuk arah abadi
dan
temaram bulan jadi penerang di redup hari
suara-suara
malam senantiasa membisikkan hikayat Adam
perjalananlah
yang mesti ditempuh sekalian umat alam
Sesekali
ia mesti mengingat nama, menafsir umpama
membaca
riwayat para tetua dalam kitab yang dibawa mengembara
menerka
segenap tanda dan muslihat yang disimpan semesta
Sekali
waktu ia juga mesti beristirah memeram diri
mengukur
jarak, mengenang kota-kota yang telah terlampaui
merangkai
catatan jadi sehimpun puisi dan kidung puji.
2014
Belajar Pergi
Leluhurku
pernah membangun pagar tinggi
yang
disusun dari batu-batu dengan relief
berisi
petuah, nasihat, dan kata-kata bijak
petuah
yang mengajari kami bahwa tak ada air
yang
mengalir ke hulu; bahwa seputih-putih mata
dan
tulang para petualang, tak akan pernah lupa
jalan
pulang
Ayah
dan ibu merawat pagar itu dengan ritual,
upacara,
dan tradisi. Aku meruntuhkannya
dengan
menghapus relief dan menggerus
batu-batu
pondasi
Pagar
rumahku yang runtuh mengantarku
pada
sebuah dunia yang pernah kurangkai
dari
mimpi-mimpi masa kanakku
aku
belajar pergi sebagaimana ksatria
yang
berulang kali disebut dalam dongeng ibu
dongeng
yang mengisahkan para penakluk
dan
kafilah pemburu, penakluk dan pemburu
yang
tak pernah betah hidup dalam rumah
Jika
ingin menjadi ksatria dan penakluk dunia
tak
ada cara selain pergi.
2015
Yang Datang dan
Mengetuk Pintu
Kau
yang berdiri di depan pintu
ketuklah,
kemudian masuk ke dalam diriku
aku
rumah bagi sekalian pejalan
yang
tersesat di persimpangan garis nasibnya
luka
di telapak tangan menyamarkan peta
jalan-jalan
yang harus dilalui
Di
sini ada meja dengan lilin yang selalu menyala
bukalah
pintu, ucapkan salam dalam hatimu
“Selamat
datang keterasingan.”
pada
retak cermin di atas meja berkacalah
kenali
bayanganmu, sebelum kau mengenali dunia
dan
bayangan lain di luar sana
Di
sini ada ranjang berkelambu sutera ungu
istirahatlah,
tanggalkan sandang dan sepatu
lupakan
kerikil dan debu-debu
sedalam
itu luka yang membekas kemarin
biar
ibu di tempat yang jauh, belajar mengenangmu
lewat
lusuh selembar kain.
2015
Sembahyang
Aku
menepi dari segala ingar-bingar dunia
suara-suara
dan nyanyian panjang
yang
keluar dari mulut para pendusta
terimalah
aku pada hari-hari dingin
di
waktu mula angin menderu
dan
pada hari-hari lain ketika udara membakar
dengan
debu-debu melekat di sekujur tubuhku
Aku
datang tanpa tarian dan kidung persembahan
hanya
doa, sedu lirih suara meminta
tersuruk
untuk segala yang pernah lalu
dan
memohon atas segala yang bakal tiba
terimalah
aku hari ini, esok, dan nanti
dalam
hiruk-pikuk dunia yang tak lagi kukenali
aku
berlindung dari jerit dan raung
amuk
murka letusan gunung-gunung
dari
bandang yang dimuntahkan palung-palung
Aku
berserah dari segala ingar-bingar dunia
bukan
buat ke surga.
2015
Badrul Munir
Chair, lahir di Ambunten-Sumenep, 1 Oktober 1990. Karya-karyanya berupa cerpen
dan puisi dimuat di sejumlah media massa, diantaranya: Indopos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Jurnal Nasional, Sinar
Harapan, Majalah Sastra Horison, Majalah Dewan Sastera (Malaysia), dll.
Selain itu juga terhimpun
dalam lebih dari 20 antologi bersama. Novelnya Kalompang (2014), mendapatkan penghargaan dari Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dunia yang Kita Kenal adalah buku kumpulan puisinya yang terbit pada tahun 2016 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar