Ujungrasa. 165 x 165 cm . Akrilik ,pensil on canvas.Sumber: Google. |
NARASI-NARASI
SUNYI
/1/
aku
mulai putus asa
menyisir
jalan cahaya
di
ruangan kedap sunyi
diam
serupa paku yang menancap di tembok
hanya
detak jam yang kudengar
terus
memukul jiwaku
memukul
malam-malamku yang dungu
/2/
sepi
yang berlari
entah
apa yang kuselami di sana
diam
sedalam-dalamnya
memuja
patung suasana
sendiri
berkawan sunyi
tanpa
cahaya bulan
angan
meriap memeluk jam dinding
yang
mati
lusuh
menahan debu
teringat
kembali maut seakan datang membayang
pada
kenangan dan sujudku yang hilang
jejak
tangis yang kerontang, sepi bertualang
dalam
nyanyian puisi dan cerita malin kundang
tak
pernah mengerti kepada siapa aku berserah
mengumandangkan
doa-doa kutukan
/3/
seperti ketika kita bercinta dalam sunyi
begitu gerimis itu lindap di pepohonan
rupa-rupa asing kembali memanjang serupa
patung pisang
jiwa hilang rangkulan
hilang bentuk bayangan bulan
gerimis mengebiri sunyi
merangkum jemari pagi
memandang kembali patung pisang yang
berlari-lari
kesunyianku mengapung, membatu
entah di sudut mana persetubuhan akan
kembali bertemu
rindu ini melaju, untukmu
/4/
kurenungkan sunyi
wajah bertukar cahaya
bulan hilang
sekilas tanya kutujukan pada jendela
udara bisik-bisik pada daun
angin mengerti, lalu memukul dedahan
akulah sunyi berumah Tuhan
dan alam tirakatku ikhtiar pada bumi
masa silam seperti kehidupan malam
kusentuh dengan helai kesabaran
/5/
seberkas cahaya masih menerangi kamar
menyentuh buku-buku dan sekat-sekat kayu
jejakmu lenyap dalam angin sepi
kembali melanjutkan petualangan pada
bantal
tak peduli berapa waktu telah kucuri
dan memberiku suara asing
desing angin, gesah hujan
yang membikin suasana begitu mengharukan
adalah kesengsaraan terbaca di kulit
merinding bulan. terlihat padat
tulang-tulangku hampir menyirip
seperti rumbia terhampar pada atap
rumahku
mataku kerling diserang hujan-hujan
sunyi
dan gamang tak berbatas
aku tetap saja tak berhenti
melamunkan bahasa-bahasa itu
bahasa yang kukenang dari bibirmu,
berbunga-bunga
mekar dalam sepi kamarku
sekali ini hening kuselami sendirian
setega itu sepi memukulku
kau hanyalah lukisan bantal di sana.
duniamu sendiri
meninggalkan jejak di tengah hamparan
malam yang menakutkan
orang-orang menjumpai suara adzan
sedang jiwaku tersesat di silam
daun-daun pergi begitu saja, tanpa
alasan jelas mengapa
takdir tetap menjadi rahasia kegaiban
burung-burung lari takut cahaya
aku mencari kesetiaanmu pada kenangan
lama
berkemas-kemas nafas, bingung mencari
tujuan
benci bercampur harapan
masih kutahan Tuhan
memanggul bulan
aku menoleh. tapi tolehanku bayangan
kematian
kematian yang hampir tak memiliki ruang
mendiamkan kegelisahan
aku ingin mengirimmu puisi
lepas kerinduan mengambang di sepanjang
perjalanan
lebih dari guratan dan gugatan angan
yang terpotong-potong oleh waktu
lamunan
bayangmu tak berkesudahan
sunyi dan kesunyian
semua menjarah hari-hariku yang
ketakutan
Muzammil Frasdia, lahir di Bangkalan, pada 6 Februari
1988. Menjadi Guru (Honorer)
di Sekolah Dasar Negeri Ra’as Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan. Sekarang
aktif mengelola Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan. Buku antologi puisi tunggalnya terkumpul dalam “JIWA
HILANG JIWA (2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar