sebab kau membelakangi cahaya
maka kau berjalan mengikuti
bayangmu saja
bulan ini, kembalilah ke sini
ke surau kecil yang selalu
mengadu nasibnya kepada sepi
pada jendelanya ada rembulan
merajah malam
dengan serat ayat al-qur’an
menyalip angin tiba dalam dada
lebih awal dari bisik suara
di matamu
mayat-mayat jam jadi kisah yang
tak tuntas dituturkan
menuntutmu mengangguk pada setiap
tawaran
bulan ini, kembalilah kau ke sini
basuhlah matamu tujuh kali
sebab ada ruang yang nyaman untuk
dimasuki
terletak antara fajar kidzib dan petang hari
kau akan kenyang meski tak makan
kau tidak akan haus meski tak
minum
dan kau akan puas meski tak
berhubungan badan
sampai kau bisa memilih bunyi
bedukmu sendiri
sebagai tanda berbuka
sebagai tanda tubuhmu menghadap
cahaya
Dik-Kodik,
2013
CINTA SEPASANG TUKANG KEBUN
CINTA SEPASANG TUKANG KEBUN
setiap yang kita lewati akan
membekas di tepi dada
mungkin akan menjadi lumut
yang membuat keheningan singgah
sebagai spora
lalu kita jadi tukang kebun
dengan bibit-bibit cinta
yang membersihkan kerak-kerak
masa lalu
seraya menanam kembali sisa rindu
dan tumbuh bunga alamanda di pot baru
biarkan lumut masa lalu lenyap
dengan namanya
sendiri dan orang-orang hanya
menceritakannya
di suatu pagi tak lebih berarti
dari secangkir kopi
juga spora keheningan akan
berlutut pada takdir
kematian dengan nama yang tak
sehuruf pun
melekat di batu nisan
sedang alamanda kita terus
berkarib dengan
hujan sesekali pada kilap
punggungnya
bertengger seekor kupu-kupu
tanda aminku pada keteduhan
jiwamu
sekali berdua pernah menanam
dalam pot yang satu
Gapura, 2013
TERAKHIR
DARI KEPERGIANMU
terakhir dari kepergianmu
adalah kunang-kunang yang tak
sabar menunggu subuh
terbang ke dadaku yang basah
dengan tujuh luka di punggungnya
kunang-kunang dan dadaku
menanggung kelebat bayangmu
menakir waktu ke dalam rupa
rembulan yang semu
dan rembulan semu itu
adalah kutukan yang tak pernah
diminati subuh
maka inilah nyanyian malam yang
panjang
yang menjadi puisi keabadian
sepanjang kesunyian, senasib luka
kunang-kunang
menerima waktu dengan riak-riak
keheningan
Dik-Kodik, 2013
(Sumber: Padang Ekspres 21 Juli 2013)
A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988.
Karya-karyanya dimuat di berbagai media. Puisinya yang
berjudul ”Perempuan Pemetik Tembakau” masuk lima besar lomba menulis puisi
”Perempuan” Yayasan Lampu. Kumpulan puisi tunggalnya juga telah terbit,
Hilal Berkabut (Adab Press, 2013). Kini, aktif di Komunitas Semenjak dan
membina penulisan sastra di Sanggar 7 Kejora. Penulis juga mengajar seni rupa
di Sanggar Lukis DOA (Decoration of Al-Huda). Ia juga Guru Bahasa Indonesia di
MTs Al-Huda II Gapura. Naskah drama yang ia tulis dan telah dipentaskan, antara
lain Hijrah ke Lubang Jarum, Siul Patung Besi, dan Kacong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar