Sumber gambar: abstractartisgallery.org |
Wirasa
:
Syarifah Ambami
Ratuku,
kutempuh lembut puluhan anak tangga wirasa
untuk
sampai ke tempatmu. Tangga yang menanjak dari
bukit
kecil.
Tangga
yang sejuk dan majemuk.
Karena
matahari tersimpan di balik rumput-rumput gemuk
daunmu
yang berkerudung bentuk burung pelatuk.
Negerimu
ini berpusar, Ratuku. Tak mengamuk.
Sebab
cintamu memulihkan remuk –––––– dan pintamu
meletak
lambung terdalam –––––– cinta dan pintamu itu,
basah
oleh detak beras-beras doa yang tak termakan masa.
Kau
merasa tak terbelenggu oleh sepi permaisuri.
Kau
setia hingga dunia tak ada.
Dan
titik dada adalah pengurai subur, pelengkap
makmur.
Segenap usia kau persembahkan atas nama
raja
yang perkasa:
Si
penguasa yang menghidupkan uzur jantungmu.
Malam
menangis, Ratuku.
Jika
kau tunduk dalam bungkuk, jika waktu terdiri atas
matamu
melambang hilang.
Matamu
yang bulat berkilat, yang melukis silat semesta
alam : pembuat emas kenangan,
gemilang.
Pembuat
pelabuhan, tempat kapal-kapal sabar bersandar,
tepis
ragu ––––– menunggu kalbu
yang hendak kembali.
Kapal-kapal
pengangkut buah yang tumbuh dari janji
selaput
pipi kelingking sari dan duri.
Buah
yang manis, pipi yang mashur dan manis.
Jarimu
yang berpikir teguh dan sejati –––––
sejati yang
juga
manis.
Kau
ibu cinta yang manis, Ratuku.
Seriang
runcing dagu dan tugu. Tugu lagu janur kuning
dari
timur yang kau simpan di muka suara, suara merdu
merah
delima.
Suara
rakyat lelakimu –––– lelaki seperti tubuh ronjeng,
yang
ditumbuk tangan halus petani, yang mengerti halus
bunyi
teduhnya –––––––– yang juga halus
budi
rindu dan senangnya. Yang halusnya sucikan sunyi:
haluskan
sepasang sumpah,
matimu
yang tulus.
Epilog Raga untuk Jiwa
RAGAPATMI DI UJUNG KUTUKAN. DIPANDANGI
TUBUH
KURUSNYA YANG PENUH API. LALU,
PELAN
IA BERJALAN, MENUJU TEMPAT YANG
LEBIH
TINGGI: SINGGASANA DAN KEDUDUKAN
SEBUAH
PENGHORMATAN TERAKHIR. IA BERDIRI,
TANGANNYA
BERGERAK-GERAK DARI RAMBUT
HINGGA
KE BATAS KAKI. MENANGGALKAN TAHTA
YANG
SEJAK LAHIR DISANDANGNYA SEBAGAI
PEREMPUAN
MAHKOTA. IA GUGURKAN SATU PER
SATU
KEBESARAN DIRI. IA MENARI LUKA RAGA,
DALAM
GELORA DAN SIMPUH
“Baik,
Ayah! Si penguasa arif, yang selalu menggenggam
adil.
Aku sudah lepaskan semua warisan tahta yang ada dan
melekat
di tubuhku, yang megah ini, untuk kulitku yang
terbakar
ini. Jika hati pilu, jika waktu memecutku dalam
belenggu
yang lain, aku tetap berharap suatu saat ayah
merestui
kesengsaraanku sebagai balas budiku dilahirkan
sebagai
anak. Menjatuhkan kabul untukku, meski sehelai
benang
nafas, meski secepat kedip kematian mata ibu.
Kuberharap
itu adalah restu, yang seharum kembang
melati,
sewangi warna dunia yang tak muncul dari kulitku
yang
beracun ini, dari niat-niat yang percaya kepada ajaib.
Hati
ini, hatiku adalah air susu ibu, yang tak lain hati kecil
pemberian
ayah. Dan jika aku tak kembali, kubur saja
angan-anganku
di bawah pohon pisang yang kutanam saat
mataku
riang, dan tulis pada daunnya mantra-mantra yang
pernah
ayah tiupkan ke telingaku, di hari
pertama aku lahir
ke
dunia. Taburkan di sana, ubun-ubunku, nama-namaku.
Atas
kelubung cinta kasih suamiku.”
M. Helmy Prasetya, Bangkalan. Pendiri Pusat Sastra dan Rumah 1000 Puisi “Arus Barat Madura”. Mendirikan Komunitas Masyarakat Lumpur tahun 2004 dan meraih Komunitas Seni Terbaik Jawa Timur tahun 2014. Karya puisi tunggalnya, antara lain Laki-Laki Senja (2001), Antologi Cinta (2003), Sajak Tuhan (2005), Ollessia (2007), Sepasang Mata Ayu (2008), Palsu Maduara (2013), Aku Menulis dengan Tangan Kanan dan Tangan Kiri (2014), Tamasya Celurit Minor (2015), Mendapat Pelajaran dari Buku (2016), Mata yang Baik (2016), Antropologi Hilang (2016), Luka (2016), Bagaimana Aku Menunggumu dengan Setia (2016), dan MaduraBat (2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar