BIRUNG
Jalan kita akan memutar
Di antara garis kurva
Dalam lingkaran
Pertemuan akan lebih terbuka
Tanpa sudut
Sebutkan namamu satu persatu di badanku yang berkubang
Sebelum nama-nama kalian menjelma setumpuk debu
“ namaku tanah, namaku api, namaku air, namaku angin,
namaku batu, namaku kayu, namaku belerang, namaku
garam,
namaku kerikil”
Memang sejak lahir kita berjarak dari nama-nama
Bolehkah kita melebur dalam satuan lubang
Anasir-anasir yang menunggal
Orang-orang yang hendak tahu menggali badanku dengan
rajang
Lalu setiap malam menyusunnya dari tanah liat dan
warna peluh
Siang hari yang garang
Lelaki- lelaki kekar lahir dari gunung
memikul batu gerigi
Perempuan-perempuan penyabar lahir dari hutan menumpuk
kayu bakar
“susunlah batu-batu gunung ini di badanku serupa
piramida,
pelan-pelan masukkan kayu bakar seukuran mulutku
lempar setengah karung garam, setengah karung belerang
karena angin selalu datang dari tiap-tiap arah
Memancing api ke permukaan ”
Bagaimana mungkin tegak tanpa berdiri
Dan ukuran ruangannya masing-masing
Tubuh bundarku menjadi saksi kelikir menyangga
batu-batu besar
Pertemuan ini seperti menyibak misteri
seonggok negeri
Yang tak kunjung bisa menyusun rumahnya sendiri
Lalu api bertemu kayu dalam gundukan
Asap hitam mencari kelebat bayang-bayang langit
Gaung-gaung api di badanku menarikan lagu badai
Tunggu sampai sehari-semalam
Batu-batu yang tersusun akan segera matang
Di dalamnya angin dan air menggumpal
Puncak batu kembali debu
Seperti tubuh yang menyusunku
November 2012
KENCING KUNING
Menguning benar pendar bintang yang merambat dari
timur
Menyerupai badan yang terlempar dari lubang-lubang
gelap.
Bau tak sedap. Menggeriap.
Ketika tangis jatuh dalam hentakan keringat ibu di
ranjang
Dari hulu kita bawa sulur pesing ke sekujur badan
Mencari air yang memancar di permukaan sumur
Katakan, ini buah hasrat dalam bij-biji mu`jizat.
Tubuh yang dibaiat suci dari secawan kencing
Sebab pintu langit adalah kelamin yang menulis dan
ditulis.
Di pagi hari perawan dan perjaka mulai belajar mandi
Dari ujung rambut sampai ujung kaki menggenapi niat
bersuci
Serupa langit melempar hujan ke tengah ladang
Benih-benih yang kita selipkan akan tumbuh dan berbiak
Dan kita memang memilih jalan rahasia. Bocah-bocah tak
boleh tahu
Sebelum baligh dan bermimpi meniduri bidadari di
rimbun gelap.
Di situ rahasia para nabi, para leluhur yang menambah
kepala dengan subur
Menggeluti warna diri. Bau diri. Merenangi tanah-tanah
becek.
Jangan mungkir, bukankah memang kita menyembul
Dari sepasang lubang yang saling menghimpit
Saling melempar kencing di ranjang tua.
Ranjang yang pernah bergoyang di malam hari.
Bahkan, darat yang kita lihat sudah menyatakan diri
lewat sungai dan laut, lembah dan gunung
Sumur dan kamar mandi yang kita buat
Untuk membasuh badan,
Kita sucikan seluruh kuman di lekuk jalan
Dan air mengalir membawa pesing sampai ke comberan.
Pasean, 20 November 2012
SAPI-SAPI KEMARAU
Dan kita belum selesai menunggu mata langit menyungai
Dalam derau sepasang sapi yang kurus-kerempeng di
kandang.
Seseorang mengharap malam dari nyanyian kodok di
pematang.
Langit barangkali sekedar mata yang menerobos
Celah-celah batin pohon yang menunggu kencing langit
dari kelebat mendung
Siapa yang kuasa menumbuhkan pohon dalam tanah kering.
Semua penyimpanan rumput di rangkun sudah kita
geledah.
Tak ada lagi. Daun pisang, daun nangka, daun palembang
Seperti kepala yang baru gundul.
Pertanda apakah ini.sapi-sapi menangis di malam hari.
Langit yang tak mengasihi.kita yang sering tak
mengerti.
Bulan berkabung. Malam tanpa mendung. berbagi sepi.
Bila nanti hujan turun, sepasang sapi yang akan
menawar hari
Dalam tarian panjang di antara tegal yang mulai
bimbang
Puji-pujian juga sudah mulai kering
Kenapa tak mengirim nyanyian di tepi pesisir
Sambil memancing seruap air dengan tajin.
Bunyi calung dan gendang membeku di dapur belakang
Lalu kepala linglung. Kemarau memanjang dalam kandang.
kepada puji syukur yang tersungkur di semak belukar.
“Cuaca yang makmur memang kerap melupakan.
Kita lebih memilih lupa seperti umat Musa”
Siapa yang mesti kita ingat pertama kali dalam hujan
Seseorang yang berbuat dosa selama 40 tahun
Dan tuhan merahasiakannya?
Atau yang menjadikan daun-daun menyemi hijau
Rumput mekar dalam kerucut
Mencari kandang
Pasean 19 November 2012
Khalil Tirta
Anggara, lahir
di pulau Madura, 1992. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk. Kini
masih kuliah di UIN Sunan Ampel, Jurusan Teologi Dan Filsafat. Bekerja di
Komunitas Tikar Merah Surabaya, dan Padepokan Seni Albelabeto. Sajak-sajaknya
terantologi dalam beberapa terbitan secara komunal, di antaranya; “Annuqayah
Dalam Puisi” (PPA, 2008) “Manuskrip Dalam Sajak” (PPA Publishing, 2009) “Sepasang
Lelaki Pemburu Matahari (2010) “Getir Maut Yang Memburu” (PPA 2011) “Tualang Kopi”
(Halte Sastra, DKS, 2013). Lelaki Kecil Di Terowongan maling (Melati Press,
2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar