Lukisan Edward Munch asal Norwegian |
Tukang Kayu
:Kenno
Ia
tak pernah cerita padaku
Berapa beratnya palu
Setiap
waktu
Aku hanya tahu
Tak
henti ia ketuk paku pada kayu
Seolah memaksa waktu
Menjadi
bagian dari pintu
Kadang
aku mendengar
dari dalam kamar
Suara
kaca diiris dengan pisau
Berderit
dibawa angin kemarau
Berpuluh
tahun sudah lewat
Kusaksikan
wajahnya yang tua
keriput
Bagai
daun kering ladang kerontang
Batu-batu
hitam
Tak memberinya pijakan
Pohon
jati atau beringin
Tak
ada beda baginya
Ia
lelaki yang sederhana
Kepadaku
ajarkan setia
Jangan
tanya kenapa
Ia
tak membangun istana
Dengan
jendela kaca motif bunga
Lantainya
lembut hamparan sutra
Ia
mungkin akan berkata:
"Lebih
baik jadi pelukis
Daripada
sekadar kambing di atas kanvas."
Walau
kutahu
Pelukis
hanya hamba dari warna
Gambar-gambar
yang tak selalu setia
Bila
malam tiba ia duduk di selasar
Secangkir kopi di atas tikar
Kerlip bintang-gemintang di langit
jauh
Dan bulan tanggal tujuh
Kepadanya
ajarkan satu
yang
tampak hanya semu
Ia
tak pernah cerita padaku
Berapa harga waktu
Setiap
kayu
Aku hanya tahu
Tak
henti ia pukul dengan palu
Seolah memaksa pintu
Menjadi
bagian dari paku
(Batang-Batang, 2015)
Napas Petani
Napasmu
hangat angin kemarau berdesau harum tembakau
Tanah
kerontang pantang tumbuh pohon sebatang
Kauhujani
keringat kuning, air mata doa yang bening
Kembang-kembang
putih kuntum, daun-daun mekar
Mata
cangkul bicara pada akar ihwal panen dan penantian
Di
sudut sawah kau lelah, rumput liar menjangkau betismu
Kawanan
burung terbang ke arah senja penghabisan
Kaupandang
dengan mata nyalang, kelam musim hilang
Sebab
hujan tak pernah bisa menghapus kenangan
pada
angka-angka kalender musim tanam
Kauhentakkan
kaki ke bumi tiga kali
Belalang-belalang
kecil berlompatan
Menjangkau
tanganmu yang legam
(Yogyakarta,
2015)
Tana Mera
Tambur
kemarau ditabuh angin bukit
Sawah-sawah
terjaga seiring denting
Cangkul
dipukul, keringatmu mengucur
Di
kubangan kau lihat mata kanakmu
Mengerling
di luar gugusan bimasakti
Sendiri.
Menjulurkan lidah cahaya
Ke
dunia nasib yang ditinggalkan luka
Kepalan
daun-daun tembakau
adalah
lembaran kitab doa yang sakral
Kau
baca umpama ayat-ayat suci
dalam
sembahyang. Sujudmu ilalang tepian
Maka
biarkan anak-anak main layangan
Mengulur
mimpinya ke angkasa jauh
Selama
kulit mereka legam
Hatinya
terpacak di tanah
Kelak
setelah rekah dan mimpi basah
Dalam
tangisnya akan berpaling ke sawah
Memanggil
nama nenek moyang
Minta
restu pinangan
Pohon-pohon
tembakau yang kau tanam
Akan
menggiringnya ke ladang kunang-kunang
Tempat
cinta dirayakan di bawah lampu temaram
(Krapyak,
2014)
Kemarau
Apa yang bisa dilakukan pada tumpukan
kayu
Bila tungku mengingatkan pada gerutu?
Di
tengah barisan pohon kering menjulang
Kau
memandang ke langit, matahari baru terbit
Kawanan
burung berdiri angkuh di ranting tua
Kau
bayangkan air jatuh selain air matamu
Agar
kembang-kembang kuntum, buah-buah ranum
Angin
desir mengirim bau anyir
Kau
hirup dengan rasa cinta pada alam
yang
telah menciptakan takdir dari luka kematian
Kau
hentakkan kaki di atas tanah liat, wajah ibu teringat
Betapa
banyak jalan berkelok menuju rumah
Tak
setajam tikungan tak bernama
Tangkai-tangkai
tua berlepasan dari batang
Kau
pandang dengan mata nyalang
Sebelum
matahari terbenam, malam menjelang
Kau
gambar wajah bulan serupa wajan
Lalu
kau letakkan batu-batu hitam dalam lingkaran
(Gowok,
2014)
Kamil Dayasawa,
lahir di Sumenep, 05 Juni 1991.
Alumni PP. AL-AMIEN PRENDUAN, Sumenep dan Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Puisinya termaktub
dalam antologi: Estafet (2010), Akar Jejak (2010), Memburu Matahari (2011),
Sauk Seloko (2012), Ayat-Ayat Selat Sakat (2013), Bersepeda ke Bulan (2014),
Bendera Putih untuk Tuhan (2014) dan Pada Batas Tualang (2015). Buku puisi pertamanya Garam Air Mata (BAC Pustaka, 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar