Lukisan Pablo Picasso, diambil di Google. |
Di Jalan Ini
Jalan
anyar ini, baru kulewati. Dadaku berdebar merasakan sepi
Telingaku
menangkap sesuatu. Seperti lagu-lagu yang sangat merdu
Kanan-kiri
pohon berbaris rapi. Tak ada yang menyala-nyala sendiri
Sungai
kecil mengalir ke dasar jiwa. Ikan berenang mengibaskan cinta
Sejenak
aku berhenti lepas lelah. Peluh mengerai menggugurkan gundah
Di jalan
ini aku merasa nyaman. Kata-kata terlihat lebih anggun
Di sini
jiwaku dibuat berdendang. Sekujur tubuhku bergoyang-goyang
Tanpa
kebebasan yang sepenuhnya. Nalarku ternyata lebih berdaya
Doa dan
keyakinanku bangun rumah. Tiap hari kubersihkan rasa lelah
Bila
hujan turun kutadah ilham. Di bawah matahari kujemur kelam
Sampai
akhirnya kata jadi puisi. Puisi yang lebih paham bernyanyi
Lalu
bersama sepi yang kian hidup. Aku belajar bergerak dalam lingkup
Bandungan,
2016
Di Tempat Sepi
Misalnya
kau temukan aku di sini. Di balik puisi yang teramat sepi
Akankah
kau mau menemuiku. Meski tak kau bawa kenangan yang dulu
Berbeda
bukan untuk permusuhan. Sebagaimana jarak tak berarti hambatan
Di kampung
yang jauh dari hiruk kota. Bersama sepi kumembangun cinta
Pada
dasarnya kita terus bertemu. Meski aku di kampung, kau di kota
Aku di
sini, dalam puisi nyanyi. Mencatatmu sebagai denyut di hati
Puisiku,
puisimu tetap satu. Sama-sama lahir dari satu ibu
Meski di
ujung jalan harus berpisah. Seperti kembang, kita pun mengejar rekah
Bandungan,
2016
Pengantin Tengah Malam
Tengah
malam yang entah, aku terbangun. Puisi tiba-tiba sudah berdandan
Cepat-cepat
aku ke kamar mandi. Membuang rasa kantuk dan sisa mimpi
Tak lama
aku salat di atas sepi. Empat rakaat, dua salam yang inti
Seratus bismillah, seratus kulhu. Hingga ‘tu-batu’ pecah dalam mataku
Lalu
kuhampiri kata per kata. Cinta berdenyut sampai ke dasar jiwa
Puisi
menggenggam tangan perlahan. Malu-malu menyimpan satu senyuman
Sekujur
tubuhku gigil panas dingin. Dadaku berdetak kian tak karuan
Tapi di
bagian lain kunikmati. Ada denyut berarti ramahi hati
Tengah
malam kubuat satu ruangan. Di dalam sepi kami berpengantin
Kukecup
keningnya hangat dan mesra. Ia menggeliat lembut tak berdaya
Bandungan,
2016
Tengah Malam
Bangunlah,
Sayang buka selimutmu. Biarkan ngantukmu kusimpan dulu
Mumpung
masih ada waktu yang sisa. Buka mata dan lepaskan doa-doa
Ini,
sudah kupersiapkan semua. Jiwa air, api, puisi bernyawa
Tinggal
ganti baju agar tidak kusut. Sepi dan sunyi cantik tak sembraut
Jangan
takut dingin atau bahkan gigil. Ia bukan pisau karat yang usil
Bukalah
saja matamu perlahan. Aku menunggumu dalam harapan
Ini
tanganku, genggam jangan malu. Puisi akan merasuk ke dirimu
Bangunlah,
sebelum ramai itu datang. Agar esok jalanmu tenang benderag.
Bandungan,
2016
Faidi Rizal menulis puisi di media
masa nasional dan lokal serta di beberapa antologi bersama. Pernah membacakan
puisinya di Rumah Pena Kualalumpur Malaysia. Buku puisinya Alief Bandungan
(2015). Novelnya berjudul Gaik Bintang (2015) dan Purnama di Langit Pangabasen,
novel bografi Kiai Hosamuddin Pangabasen (2015). Kini sedang merampungkan novel
ketiganya sambil mengajar di MTs dan MA. Nasy’atul Muta’allimin Gapura Sumenep
Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar