Lukisan karya Claude Monet. Diambil dari Google. |
Para
Penambang Bukit Kapur
Kelak,
setelah sekelompok penambang pergi
akan
datang para penambang lain untuk menggali
sisa-sisa
batu kapur, mengeruk yang terlewat
dan
yang tak terangkat.
Datang dari kampung yang sama dengan penambang
yang
lebih dulu tiba, meninggalkan rumah
sebagai
kafilah pengembara. Mereka berlindung di gua
untuk
tempat tinggal sementara.
Memecah, menggali, mengeruk
sampai
batas kemampuan, hingga keringat penghabisan
menetes
membasahi tanah galian
dan
bukit kapur yang dulu tinggi menjulang
tersisa
separuh luang, lalu rata dengan tanah
dan
menjadi wilayah terbuang
Sekelompok
penambang pergi, kelompok lain datang
tapi
bukit kapur yang telah ditambang
tak
akan pernah kembali. Selamanya jadi tandus
dan
terbuang.
2014
Elegi
Kuda Poni
Kau
bayangkan sebuah perjalanan ke tengah padang
dengan
kuda poni, kau sebagai penunggang
memacunya
kencang-kencang di hamparan sabana
luas
dan lapang.
Tapi
dunia selalu punya cara untuk menertawakanmu
dan
membuatmu tertawa, lewat siasat
yang
tak pernah kau duga.
Inilah
kudamu sekarang: sebuah sekoci
dari
kapal yang karam kemudian tenggelam
pelanamu
geladak, padang luasmu cuma ombak
kau
terpana menatap wajah-wajah pucat
puluhan
penumpang yang telah jadi mayat
“Di
mana letak daratan dengan padang sabana
tempat
menghabiskan hari tua yang telah terencana?”
Mayat-mayat
saling berbenturan
sebuah
kepala muncul ke permukaan
laut
di sekitar seperti mahsyar hari pembalasan
tapi
palingkan wajahmu, lanjutkan perjalanan
memacu
kuda poni, kencang lari melaju
di
padang luas fatamorgana.
2013
Laron-Laron
Ada
yang mesti kupelajari dari gelap semesta
ketika
sebatang lilin di kamar mulai menyala
selalu
lahir sebuah tanya: mengapa laron-laron
membakar
diri pada nyala lilin, hanya untuk mati?
Aku
memperhatikan laron-laron menanggalkan sayap
semacam
upaya meninggalkan cemas di ruang gelap
lalu
tibalah saat perpisahan itu: ketika laron-laron
bergantian
mencumbui lilin yang sedang menyala
semacam
upacara untuk kematian yang sederhana
Aku
mulai sangsi memikirkan prosesi terbaik untuk mati
aku
hidup dan bahagia, bernafas dan bahagia,
berdoa
dan bahagia. Tapi, Elia, apakah kematian
adalah
semacam kebahagiaan juga?
Laron-laron
seakan tak peduli hawa panas pada api
berduyun-duyun
datang, kemudian pasrah mengantri
membuka
jalan atas kematiannya sendiri.
2013
Perempuan
Fiksi
Kau
datang padaku dengan wajah yang sakit
kemurungan
menjadikanmu serupa ilusi
seperti
tembang suaramu melengking panjang
Elia,
hari-hari kita adalah kegilaan tak terencana
kita
menyusun imajinasi-imajinasi konyol
seperti
cerita fiksi kita dibenturkan pada skenario
yang
tak terbayangkan. Kita kerap diselamatkan
kebetulan-kebetulan
Kau
adalah tokoh utama cerita komedi satir
aku
belajar menertawakan peristiwa getir
yang
pahit. Seperti tembang kau pandai
menyamarkan
kesedihan, telingaku menangkap
ratapan
dari dalam kegelapan.
Elia,
berpura-puralah dengan sempurna
pahamilah
kesedihan mereka dan menangislah
air
mata adalah bagian terpenting kisah manusia
biarlah
cerita kita terperangkap imajinasi cerita fiksi
aku
akan belajar melepaskan diri dari situasi tak wajar ini.
2013
Belajar
Berlayar
Perahuku
belum sampai ke pintu laut
sebatas
lipatan kertas, kusobek dari buku
catatan
harian ibu
Selepas
hujan aku melayarkannya di halaman
“Aku
jadi kapten sekaligus pemancing ikan-ikan.”
Pelan-pelan
perahuku menjauh. Tanganku mengulur
seperti
tangan ibu ketika melambai pada ayah
“Pergilah,
pergilah jauh!”
Sejak
hujan itu aku belajar berlayar
belajar
pergi dan melupakan. Halaman itu
telah
kutinggalkan, seperti ibu yang melepaskan
“Kenapa
lautan begitu luas, ibu? Sementara
alamatmu
sudah pasti. Di samudera manapun
aku
membentangkan layar, layarku berkibar-kibar
seperti
kerudung yang menemani tiap tadarusmu.”
Perahuku
belum sampai di pintu laut
tapi
rinduku sudah karam, ibu
aku
ingin pulang.
2013
Badrul Munir Chair, lahir di pesisir Ambunten (sebuah desa di pantai
utara Sumenep-Madura), 1 Oktober 1990. Menulis cerpen dan puisi, karya-karyanya
masuk dalam sejumlah Antologi bersama, diantaranya antologi cerpen Di Pematang
Pandanaran (Matapena, 2009), Bukan Perempuan (Grafindo-Obsesi, 2010), dan
beberapa antologi puisi, seperti Diorama (Antologi Penyair Tanpa Bilangan Kota)
(Pondok Mas, 2009), Antologi Puisi Penyair Nusantara Musibah Gempa Padang (E
Sastera, Kuala Lumpur 2010 ), kumpulan cerpen duetnya (bersama seorang teman)
yang sudah terbit berjudul Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (FUY, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar