GAMBAR SOURCE: SUBAIDI PRATAMA |
Di Hadapan Patung
Bung Karno
Aku mendongak ke
atap langit mencari-cari celah dari ma na
matahari terbit.
Mungkin dari arah kepalamu yang ber ki lauan
hingga aku sekarang
terang memandang masa depan.
Di hadapan patungmu,
aku tidak lagi menatap seonggok
batu, tetapi
bayang-bayang ruh yang menegakkan bendera tanpa mengeluh.
Ujung kopyahmu yang
runcing kerapkali kujadikan tambatan hening.
Agar
senantiasa terkenang pada sejarah,
pada luka-luka dan
tanah yang menyerap darah.
Dari kulit jazmu
yang telah kusam menampakkan kini
dan masa silam.
’’Apakah ada salam, apakah arti bungkam
dan tunduk pada
zaman?’’ ucapmu lirih dalam diam.
Di hadapan patungmu
kusaksikan laki-perempuan berselfi bagai lupa
diri;
ahwa kini telah datang penjajah lagi menjarah akal dan
nurani.
Celanamu yang
panjang berkibar turut menyaksikan
langkah-langkah
zaman. ’’Adakah tanah yang kau pijak
begitu lelah,’’
katamu amatlah ramah.
Namun aku menatap
matamu terpejam, mulutmu diam
penuh dengan ribuan
salam.
Blitar, 2016
Pelaut Tengah
Malam
Kau berangkat dari
rumah kecil, membawa bekal cinta
untuk sanak
keluargamu sebelum subuh menenggelamkan keramahan fajar.
Kau menyisakan senyummu dalam botol kecemasanku.
Doa-doamu terus
bertumpahan pada setiap langkah
perjalanan. Kuhirup
cuaca, angin dan hujan agar tak
menggulingkan sampan
yang kau layarkan. Bisik-bisikmu
melandai kudengar
sangat cemas dari daratan.
’’Olle ollang,
paraona alajara. Olle ollang, omba’ agulung dari daja’’
Bapakku! di tepi
laut kalbu pasir-pasir merangkak menuju
karang, menghadang
buncah gelombang. Dan meloncat
ke dermaga menatap
penjuru laut selatan hingga utara.
Hurri!,,, bapakku
datang membawa serenteng kepiting,
segala macam ikan
yang kunantikan akhirnya jatuh juga ke dalam pelukan.
’Olle ollang,
paraona ngadeg da’ daja. Olle ollang, eppa’ bula ataro nyaba’’
Apa yang dapat
kupetik dari asin laut lantaran hidup tak
berbuah manis.
Gelombang telah jadi napasmu serta arus waktu
mengajakmu
pulang ke tepi laut Tuhan.
Namun lagu hidup
terus kau nyanyikan seiring balingbaling berputar
’Olle ollang,
paraona alajara. Olle ollang, alajara asango nyaba’’
Jadung, 2016
Menjelang
Panen Jagung
Menjelang panen
jagung daun-daun berdengung bagai
siul biola tengah
kesunyian. Aku mengasah sabit dengan
ceruk airmata doa
Di tengah ladang,
jelang siang. Bunyi arit terdengar lantang
menumbangkan
bebatang jagung, hingga gelap datang berkabung.
Saat batang jagung
itu terbujur ke bumi. Biji-biji pun yang
kering mau lepas
dari bulu-tangkai. Dan ingin disajikan ke
dalam perut yang
lapar menjadi denyut tak terdengar.
Di tengah ladang
rimbun daunan jadi cermin senyumku.
Rumput-rumput hijau
senantiasa menjalar dalam urat-uratku.
Bertahun-tahun dalam
penantian aku menabung kenyang dan lapar.
Kemudian merentangnya pada tangan
hujan yang jatuh
menimbun ladang dengan basah sepenuh girang.
Jadung, 2016
Semangka atau
Nangka
Ini buah sama-sama
manis rasanya. Kupetik dari tangkai sukma. S
atu kutelan di
tengah lapar dunia. Satunya lagi kusimpan
untuk
dihidangkan di alam baka.
Dan di antara
perbedaan kulitnya. Kukupas bagi nyawa yang
fana dengan pisau
paling pasrah ;padam atau menyala. Itulah buah
yang
kumakan semanis-manisnya.
Jadung, 2016
Sebutir Embun
di Tengah Malam
Akulah sebutir embun
di tengah malam menetes dari
pekarangan langit
lalu jatuh di kuncup hatimu membawa kesejukan
.
Gelap; sebuah
bayang-bayang kucoba raba penuh kenang
di pohon mataku,
sepotong ranting bergoyang-goyang
serupa pinggul
tubuhmu yang kerap merayu.
Tak ada cahaya, aku
bercermin ke dalam batin. Tak ada
cinta, engkau
padamkan tetes embun yang berpilin.
Jadung, 2016
SUBAIDI PRATAMA,
lahir di Sumenep, 11 Juni 1992. Puisinya terkumpul dalam antologi
’’Festival Bulan Purnama” (Trowulan Mojokerto 2010),
’’Bersepeda Ke Bulan” (Yayasan Haripuisi Indonesia
2014),
’’NUN” (Yayasan Haripuisi Indonesia 2015), dan ’’Ketam
Ladam Rumah Ingatan” (Lembaga Seni & Sastra Reboeng 2016). Kini
bergiat di komunitas sastra Malam Reboan di Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar