Dia [M. Faizi sangat suka menulis
Kadang-kadang dia menghitung kilometer
Di antara dua horizon
Seperti jarak, distance, entfernung
Antara jerman dan Indonesia,
Berlin dan Pulau Madura,
Pankow dan Guluk-Guluk
Namun bahkan lebih dari sekedar berhitung,
Kurasa, dia menyukai yang tak terhitung
Sesuatu yang lebih besar, alam semesta, universe, universum
Dan tak hanya dihadapkan pada cermin, mirror, Spiegel
Dia melihat hal yang berbeda, different, anderes
Sesuatu yang sebaiknya Anda biarkan tanpa nama, unnamed, ohne namen
[Tolya Glaukos, webdesigner, penulis, jurnalis, tinggal di Berlin, Merentang Sajak Madura-Jerman, 2012, hal. 137]
Sumber Gambar - Source: www.antarajatim.com |
Ketika hadir dalam pertemuan “Masyarakat Seni Pesantren” [22/2] –sebuah komunitas penyair, aktivis theater, dan pemusik etnik dari kalangan santri di Sumenep—saya membeli sebuah buku yang dijual di stand dadakan di pojok ruangan. Buku ini sudah beberapa bulan sebelumnya saya dengar, tetapi saya baru mendapatkannya hari itu. Judulnya, Merentang Sajak Madura-Jerman, Sebuah Catatan Perjalanan Ke Berlin, karya penyair Muda Sumenep, M. Faizi.
Suatu kehormatan, karena penulisnya hadir dalam kegiatan itu, saya todong dia membubuhkan tanda tangan di bukunya yang saya baru beli itu. Senang sekali saya bertemu dengan penyair rendah hati, sederhana, suka pakai sarung dan peci, dan juga seorang bloger andal.
Penyair yang juga penggila bis ini adalah M. Faizi. Lulusan UIN Yogyakarta dan S-2-nya di UGM ini memang dikenal sebagai penyair yang banyak melahirkan buku. Ada sekitar 14 buku yang sudah ia terbitkan, dan 4 diantaranya merupukan kumpulan puisinya, yaitu “Delapan Belas Plus” (Diva Press, 2003); “Sareyang” (Pustaka Jaya, 2005); “RUmah Bersama” (Diva Press, 2007; dan “Permaisuri Malamku” (Diva Press, 2011).
Buku Merentang Sajak Madura-Jerman ini seluruhnya berisi tentang catatan perjalanannya sejak berangkat dari Madura ke Jerman, selama berada di Jerman, dan perjalanan pulang dari Jerman hingga kembali lagi ke Madura. Bersama 10 penyair Indonesia, dia diundang ke Jakarta-Berlin Arts Festival, di Berlin, Jerman, 24 Juni – 3 Juli 2011.
Sebagai sebuah catatan perjalanan tentu thema seluruh tulisan ini sederhana. Cuma di tangan M. Faizi menjadi tidak sederhana karena ditulis dengan cukup memikat, mengalir, dan detail. Dia mampu menulis perjalanannya seolah orang yang membaca bukunya justru mengalaminya sendiri.
Ketika saya membaca bukunya, seolah saya berada di bis Madura-Jakarta yang menyiksa, diburu kepanikan dalam taksi dari rumah temannya di Jakarta menuju Bandara karena dikejar jadwal penerbangan, hingga berjumpa dengan budaya Jerman yang tidak melulu menyenangkan. Terkadang menegangkan, bikin kagum, dan seringkali lucu.
Satu hal yang menarik, M. Faizi menulis perjalanannya dengan cukup detail. Data yang ditulis cukup menggelitik. Coba disimak perjalanan dari Madura ke Jakarta dengan bis Karina, yang dia beri judul “Pecah Rekor Bersama Karina”. Ketika menjelaskan ban Karina pecah ia menyajikan data cukup menarik :
“pada sesi kali ini, giiliran ban kanan belakang bagian dalam yang kempes. Serep sudah terpakai di Bunder. Apa yang dapat diperbuat? Tak ada lain kecuali menunggu bala bantuan. Setelah menghabiskan waktu dengan duduk merenung di tepi sungai yang tak jauh dari lokasi, 20 menit kemudian Lorena datang. Bis dengan kode LE 443 bernopol B-7296-XA Jember-Jakarta ini meminjamkan ban serepnya. Tapi, ampun deh, saat hendak dipasang tidak jadi. Lorena 443 kembali melenggang, meninggalkan bunyi klakson, derum kenalpot, serta kekecewaan bersama kami.
Belakangan baru saya tahu dari teman, Wahyudi Irianto, bahwa velg “Si 443” tadi berukuran 22,5 tubeless sesuai spesifikasi chasis Mercedes Benz OH-1525. Ring tersebut tidak bisa dimasukkan ke dalam velg Karina kami yang menggunakan varian rangka 1521 dan velg-nya berukuran 20” [hal. 17-18]."
Buku ini berisi 15 tulisan. 2 tulisan perjalanan Madura-Jakarta, 1 tulisan ketika terjebak kemacetan menuju Bandara, 2 tulisan selama menuju dan pulang dari jerman, 10 tulisan bercerita pengalamannya selama berada di Jerman.
Catatan perjalanannya ke Jerman tak kalah menarik. Dia mampu melukiskan kultur masyarakat Jerman sejak kedisiplinannya di jalan, transportasi yang terkelola dengan rapi, makanannya yang sulit di lidah, perjumpaanya dengan seniman Jerman dan pelajar Indonesia di Jerman, kunjungannya ke makam Sabastian Beach, salah satu musisi besar Jerman, serta beberapa pengalamannya menghadapi “goncangan budaya”.
Semua itu ditulis dengan bahasa mengalir, detail, lucu, dan tentu saja dengan data lengkap misalnya, selama 9 hari di Jerman dia mencatat hanya mendengar bunyi klakson mobil sebanyak 3 kali.
Dasar penyair. Ketika dalam perjalanan pulang Jerman-Jakarta, dan ketika pesawat transit di Turki, ia masih menyempatkan menulis puisi indah yang ditulisnya sehabis shalat. Selengkapnya puisi M Faizi sebagai berikut:
Ottoman,
apakah kamu tahu bahwa saat ini
seorang lelaki dari desa nun jauh
sedang mengambil air dari tanahmu
untuk membasuh mukanya
berwudlu, sambil menyesap sedikit air darinya,
berharap Emre atau Hakan
mengajaknya mampir untuk minum kahve
di beranda rumahnya?
lelaki itu, saat ini,
hendak membayar rasa bersalah
di atas sajadah, tikar lembut hasil karya negerimu
dengan kening yang basah
malam itu,
diantara Maghrib dan Isya’
waktu istijabah, waktu terjepit asak
dia mencicil rasa syukur
menghitung ingat dan lupa
pada banyak lembar sejarah
di mushalla kecil terpencil itu
ia mengukur jarak nikmat dan kufur
mengukur jarak menang dan kalah
jarak antara kening dan sajadah
Bagi saya sebagai blogger, buku ini sangat bermanfaat terutama mempelajari cara M. Faizi menulis catatan perjalanan dengan indah, mengalir, detail disertai dengan data yang tak terduga []
Judul : Merentang Sajak Madura-Jerman, Sebuah Catatan
Perjalanan ke Berlin
Penulis : M Faizi
Penerbit : Komodo Books, 2012, 142 hal. 13 x 18,5 cm
Matorsakalangkong
Pulau Garam | 1 Maret 2013
Sumber tulisan (dipublish pertama kali di):
: http://rampak-naong.blogspot.com/2013/02/puisi-menerbangkannya-ke-jerman.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar