Somor
Sadri
Danau kecil
musim hujan, abu-abu warna airnya
Di tepinya
ratusan pohon mente berbuah ranum-ranum
Merah-kuning
ngocernang menantang perasaan
Di kejauhan
burung coccorong teriak-teriak kkenyangan
Petani lalu
lalang nimba air dialirkan ke ladang
Sepasang sapi
gagah membersihkan tubuh dan lelah
Dengan lidah dan
ekornya sekuat cambuk rotan
Dan anak-anak
asik memancing ika kiriman surga
Alam bernyanyi
dalam tiupan angin barat
Kicau
burung-burung pada siul-siul gembala
Percakapan
ringan mengalir santun sepoi-sepoi
Kehidupan yang
diberkati alam dan kerja keras
Serta doa-doa
yang diantar dengan sesajen
Demi kehadiran
berkah dan musibah keberuntungan
Januari 2014
Perempuan Hujan
kau
selalu berucap “aku mencintai hujan”
tentu
kau selalu merindukannya dan betapa,
hujan
begitu patuh pada ucapmu yang teduh
lantas,
kau kirim hujan padaku bersama rindu
di
awal november, hujan deras-derasnya
entah
di tanah siapa kau berlarian penuh cinta
meyanyikan
melodi daun-daun akasia
kuayangkan
kamu dari balik jendela tua
“aku
mencintai hujan dan kamu mencintai puisi
buatlah
hujan menjadi soneta agungmu buatku!”
pintamu
tersampaikan angin menggigil
seperti
orkestra hujan di sawah-ladang
suaramu
bergema di liang sumur jiwaku
menyuburkan
air murni ke desa-desa
2013
Numpak
Kereta Maut
sebelum subuh
memanggil kereta maut
aku tersentak
dari tidur ashabul kahfi
kukibaskan mimpi
purbakala dari ujung rambut
ke perut
kota-kota terbakar api tirani
kereta tiba
tanpa intaian malaikat maut
di stasiun beku
bersalju dalam fiksi
aku turun
bersama tubuh-tubuh dingin
berwajah mitos
dan takhayul ratu adil
tiba-tiba isi
kepalaku meleleh ke minimarket,
mengalir ke
kursi-kursi tunggu
lalu menggenangi
ruang atm
astaga, sekian
mata memalingkan nyalang
pandangnya yang
dipenuhi status
dan foto profil
yang sekejap dan sia-sia
Juni, 2014/2015
Soneta
“Bayangan Merak” sama dengan soneta
“Menghadirkan Bayangan Merak” yang dimuat di Minggu Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar