Gambar Via FB Badrul Munir Chaiir |
Kali
ini, beberapa karya puisi Badrul seperti "Lelaki yang Pergi Malam Hari" (2013), "Sungai Berkelok" (2013), "Selat Madura" (2011), "Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini"
(2012), "Mula dan Berakhirnya
Sebuah Kota" (2012), dan "Sonet
Pengembara" (2014) menjadi tema diskusi.
Irwan
Bajang, sastrawan muda yang juga pemimpin redaksi Indie Book Corner (IBC),
mengatakan puisi Badrul menunjukkan bahwa seorang penyair tak akan bisa lepas
dari segala entitas kedirian awal, sebagai muasal dirinya. Puisi "Aku
Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini" bisa dikategorikan sebagai puisi
sufistik dengan pemilihan diksi yang menunjukkan bahwa ia tak bisa lepas dari
istilah-istilah ke-maduraan-nya. “Garam, tembakau, ikan, laut, palung, seolah ikan yang ia jadikan aku lirik
dalam puisi ini pun bersaksi tentang perjalanan kaki di jembatan tua dan
nelayan di tepi pantai,” ungkapnya.
Puisi-puisi
Badrul berada di tengah situasi tradisi masyarakat yang memandang bahwa tanah
kelahiran itu penting, sehingga pulang kampung itu penting. “Badrul terjebak
atau mungkin sengaja menceburkan diri dan tak mau lepas dari situasi masyarakat
yang demikian,” tuturnya.
Lain
halnya dengan Irwan, Galuh Febri Putra, mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM
melihat puisi Badrul dari sisi yang berbeda. Salah satu penggalan puisi
"Tunjukkan Kami Jalan yang Lurus", kata Galuh, Badrul mengingatkan
kita pada salah satu ayat di dalam Alquran. Namun pesan yang disampaikan di
situ, Badrul menegaskan bahwa sebuah perjalanan merupakan usaha untuk melarikan
diri dari batas-batas yang disematkan oleh sebuah tempat. Apalagi dilengkapi
dengan "Rumah sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah dan tempat
singgah. Maka, pergilah!. (Humas UGM/Izza)
Diunggah
: Rabu, 24 Desember 2014 — Gusti di http://www.ugm.ac.id
PANCINGAN
DISKUSI PKKH DESEMBER 2014:
YANG
PERGI DAN YANG TERHAPUS AIR
Oleh:
Prof. Fauk Tripolli
Lelaki yang
Pergi Malam Hari
Ke barat ia pergi, arah yang
ditunjuk perantau abadi
di
pantai rumah telah terbakar, pulau dikepung api
laut
pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang
angin
seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah
nasihat-nasihat
yang hidup ribuan abad, serupa gelombang:
“Rumah
sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah
dan
tempat singgah. Maka pergilah!”
Pergilah
ia di malam hari, agar jejaknya di pasir lekas-
terhapus
air. Tanpa dayung dan mesin pemutar baling-baling
perahu
berangkat ke negeri jauh. Tak ada isyarat dan pesan
kepergian—juga
prosesi pemberkatan. Pandang tiada berpaling
tertinggallah
segala yang dikenalinya sebagai masa lalu
usia
remaja yang kelewat naif dan lugu, menjadi luka waktu
Badai membangun siasat
seperti mata pancing dan tombak
tajam
dan runcing. Hanya hening, hati sebening telaga
menuntunnya
menerka lekuk laut dan gelap semesta
lalu
hamparan kabut membuka diri serupa gerbang
menyambut
kedatangan pelayar baru, gemetar dan ragu
tapi
perahu telah jauh berangkat, tak ada alasan kembali
sebab
di pantai rumah telah terbakar: pulau direnggut api.
2013
Puisi
ini merupakan kisah perjalanan. Meskipun baru sampai pada dua tahap, yaitu
ketika berangkat dan di tengah perjalanan. Seperti kisah-kisah perjalanan
kolonial di masa lalu, perjalanan merupakan sebuah tahap pengujian dan penemuan
diri, pembangunan subjek dan posisinya di dalam lingkungan sekitar.
Karena itu, perjalanan itu bukan hanya sebuah gerakan dari sebuah lokasi
geografis yang satu ke lokasi geografis yang lain, melainkan juga
peralihan dari usia remaja ke, tentunya, usia dewasa. Lebih jauh,
perjalanan itu juga menjadi peralihan dari satu kepribadian ke kepribadian yang
lain, satu kecenderungan mental ke kecenderungan mental yang berbeda, yaitu
dari kelewat naif dan lugu ke “luka waktu”.
Karena
perjalanan itu sekaligus merupakan perjalanan untuk penemuan diri, mental
ataupun psikologis, tidak menjadi begitu penting gambaran mengenai lokasi
(-lokasi) yang dikunjungi. Yang penting adalah penemuan diri subjek itu
sendiri. Dan, tampaknya diri itu bahkan sudah ditemukan sebelum perjalanan itu
sampai ke tujuan, yang di dalam puisi ini disebut sebagai “barat”. Diri itu
tidak lain dari apa yang disebut sebagai “luka waktu” di atas.
Tapi,
diri yang seperti apa, sebenarnya, yang disebut sebagai “luka waktu” itu? Yang
sudah bisa dipastikan adalah diri yang sudah meninggalkan masa kanak-kanak yang
“naif dan lugu”. Kenapa, diri yang seperti itu disebut sebagai “luka waktu”?
mungkin kita perlu memahami luka sebagai sebuah kerusakan atau kebocoran pada
yang semula utuh, seperti “luka perawan”. Dalam pengertian yang demikian,
keluguan bisa diartikan sebagai sebuah keutuhan. Keutuhan yang bagaimana? Tentu
saja, ketika manusia berada dalam ketidaktahuan, lugu.
Jadi,
bila dilihat dari pertentangannya dengan keluguan, luka waktu bisa diartikan
sebagai diri yang berpengetahuan. Tapi, kenapa berpengetahuan dinamakan sebagai
luka, sebagai sesuatu yang tidak utuh? Untuk menjawab hal ini kita mungkin
perlu melihat hal lain yang bisa dianalogikan dengan keluguan di atas karena
hal itu juga merupakan sesuatu yang ditinggalkan, yaitu pulau dan rumah.
Keluguan menjadi analog dengan keterikatan diri subjek pada lokasi tertentu,
pada lingkungan yang akrab. Diri yang lugu adalah diri yang masih menjadi satu
dengan pulau dan rumah itu, belum menjadi subjek yang berdiri sendiri, masih
bergantung pada lingkungan. Luka, dengan demikian, terjadi sebagai akibat dari
ditariknya diri dari lingkungannya itu, dilepaskannya diri, anggaplah, dari
akarnya.
Dengan
demikian, berpengetahuan hanya berlaku bagi diri yang sudah terlepas dari
lingkungannya, dari pulau dan rumahnya. Selama diri masih terikat pada sesuatu
yang ada di luar dirinya tersebut, dia tidak dapat disebut berpengetahuan. Bila
kemampuan lepas dari lingkungan dapat diartikan sebagai kemampuan diri untuk
menjadi subjek yang berdiri sendiri, berpengetahuan menjadi identik dengan
subjektivitas dan subjektivitas identik dengan luka. Hanya orang yang terluka,
mengalami rasa sakit, yang berpengetahuan dan sekaligus menjadi subjek.
Karena
luka menjadi bagian dari subjektivitas itu, perjalanan diri sudah sampai ke
tujuannya justru pada saat ia baru berangkat dan dalam perjalanan, justru
ketika ia belum sampai pada tujuan, pada pulau ataupun rumah yang lain. Lebih
jauh, karena alasan yang sama, keadaan di dalam perjalanan itu sendiri tidak
boleh menjadi perjalanan yang nyaman, yang tidak menyakitkan. Keadaan di dalam
perjalanan itu juga harus menimbulkan rasa sakit, luka. Badai “seperti mata
pancing dan tombak tajam dan runcing”.
Bila
luka adalah tujuan itu sendiri, yaitu ditemukannya diri yang berpengetahuan,
diri yang luka, tentunya perjalanan menjadi tujuan itu sendiri, badai yang
seperti mata pancing dan tombak tajam dan runcing itu bukan lagi hanya keadaan
transisi menuju keadaan yang lain. Tapi, puisi ini tidak menganggapnya
demikian. Ia masih berusaha menemukan rumah baru. Rumah itu adalah: “rumah
sejati ada dalam diri...”. dengan demikian, perjalanan itu bergerak bukan hanya
dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu keadaan ke keadaan yang lain,
dari satu mentalitas ke mentalitas yang lain, melainkan dari lingkungan yang
ada di luar ke yang ada di dalam diri.
Badai
membangun siasat seperti mata pancing dan tombak
tajam dan runcing.
Hanya hening, hati sebening telaga
menuntunnya
menerka lekuk laut dan gelap semesta
dalam
hal ini bisa diartikan bahwa bagi puisi ini lingkungan yang ada di luar, dengan
segala ancaman dan tantangannya, tak lebih dari sebuah batu uji bagi diri. Diri
yang hening, sebening telaga. Apakah diri ini sama dengan diri yang luka waktu?
Bila luka sama dengan ombak yang setajam mata pancing dan tombak, diri yang
luka itu pun menjadi hanya sebuah masa transisi, keadaan di perjalanan untuk
menuju tempat yang lain. Tapi, tetap ada masalah di sini.
Di
dalam kutipan puisi di atas, keheningan dan kebeningan hati merupakan sebuah
kekuatan untuk bisa mengatasi ombak, membuat kabut membuka pintu. Dengan kata
lain, keheningan dan kebeningan ada sebelum ombak, ada sebelum luka. Tapi,
darimana datangnya? Mungkin dari apa yang disebutkan di baris-baris terakhir
bait pertama.
laut pasang
memberi isyarat untuk segera menyeberang
angin
seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah
nasihat-nasihat
yang hidup ribuan abad, serupa gelombang:
“Rumah
sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah
dan tempat
singgah. Maka pergilah!”
tampak
bahwa diri yang dicoba dicari dalam perjalanan itu, dengan meninggalkan rumah,
pulau, dan masa lalu itu, sudah ditentukan oleh nasihat-nasihat angin, laut
pasang, nenek moyang, yang menyerupai gelombang. Sesuatu yang melampaui ruang
dan melampaui waktu, yang tentunya membuat diri tidak bisa beralih dari ruang
yang satu ke ruang yang lain, dari waktu yang satu ke waktu yang lain, yang
membuat diri pergi dan melakukan perjalanan dalam kerangka tanpa ruang dan
tanpa waktu. Perjalanan ke manakah itu, peralihan dari mana ke mana? Bila rumah
ada dalam diri, ke manakah ia pergi? Apa yang ia tinggalkan, ke mana ia menuju?
Sekilas,
puisi ini merupakan sebuah cerita perjalanan menuju diri cartesian yang
mandiri, yang hanya akan menjadi diri bila ia terluka dan melepaskan diri dari
segala ikatan dengan dunia yang ada di luarnya. Tapi, ternyata tidak. Bila
puisi ini bicara mengenai kebeningan telaga, kebeningan itu bukanlah kebeningan
berpikir tanpa bias, lepas dari ikatan tahyul dan mitos dan pikiran orang-orang
sebelumnya, melainkan keheningan ketika diri melebur dalam ruang dan waktu,
kebeningan ketika diri tiada, dan pintu terbuka dengan sendirinya.
Diri
pergi bukan karena maunya sendiri, tapi ada kekuatan luar yang membuatnya
pergi. Mungkin angin, mungkin laut pasang, mungkin rumah yang terbakar dan
pulau direnggut api, hingga ia, mau tak mau, harus tetap berangkat dan tak bisa
kembali. Ia tak bisa lagi menjadi ragu kecuali menyerahkan diri pada kehendak
kekuatan itu. Ia adalah orang-orang madura yang selalu hidup bersama dalam
perantauan, ia adalah orang-orang madura yang selalu kembali setiap hari raya
haji. Dan ia, batal ke barat karena sudah menemukan rumah di dalam hati, rumah
pemberian si nenek moyang yang abadi. Ia berkelana di tanah tuhan yang tidak
tanpa batas.
Ia yang pergi malam hari agar
segala jejaknya terhapus air
Begitukah...
FARUK
121214
Catatan
Facebook Faruk Tripolli
"Subjek"
yang Berhasrat Pada Perjalanan: Sebuah Hasil Pembacaan Puisi Badrul Munir Chair
Oleh:
Galuh Febri Putra
Pengantar:
Subjektivitas akan Ruang dan Keberangkatan
"Tunjukan
Kami Jalan yang Lurus"
QS
Al-Fatihah Ayat 6
Kutipan
ayat tersebut selain menjadi dasar bagi sebuah percarian abadi akan
(per)jalan(nan), ayat itu juga mungkin mempunyai implikasi bahwa jalan lurus
haruslah ditunjukan, tanpa ada "penunjuk" maka jalan tersebut tidak
dapat disebut sebagai jalan yang lurus. Apakah jalan tersebut lurus ataupun
berkelok semua tergantung pada siapa yang melakukan atau menunjuk sebuah
perjalanan. Kerelatifitas perjalanaan bahkan juga ditunjukan oleh ilmu-ilmu
positifistik yang punya kebenaran mutlak.
Jika
menempatkan teorema Newton yang menyatakan bahwa ruang itu bersifat objektif
dan mutlak, maka akan didapati sebuah paradoks. Jika sebuah tongkat dengan
dimensi panjang 15 cm maka tongkat tersebut akan menempati ruang 15 cm,
kemudian tongkat tersebut dilemparkan dan bergerak dari tempat yang satu ke
tempat yang lain. Setiap saat dalam keadaan melayang tongkat tetap berukuran 15
cm berarti tongkat menempati ruang sepanjang 15 cm. Kemudian pengamat
mengatakan bahwa berukuran sepanjang 15 cm berarti menempati ruang sepanjang 15
cm dan berhubung dengan itu, maka setiap saat dalam keadaan melayang tongkat
tersebut berada dalam keadaan diam.
Dari
paradoks di atas bisa disimpulkan bahwa ruang bersifat relatif. Ruang
tergantung pada pengamatnya. Ruang merupakan semacam hubungan antara
benda-benda yang diukur dengan cara-cara tertentu. Dengan demikian apabila
pengukurannya dilakukan dengan cara yang berbeda, maka hasilnya pun akan
berbeda.
Pernyataan
seperti di atas nampaknya juga dibangun oleh seorang sastrawan muda bernama
Badrul Munir Chair melalui puisi-puisi yang ditulisnya. Dalam puisi-puisinya,
Chair menunjukan sebuah transformasi ruang yang mengambil bentuk perubahan
kesadaran, yang ditunjukkan dalam resistensi aktif terhadap perubahan material
yang ada di dalam ruang yang menjadi titik keberangkatan. Kekacauan ruang dalam
puisi tersebut dimulai dari api yang membakar rumah yang kemudian menjalar ke
seluruh pulau sehingga perjalanan keluar pulau menjadi sebuah keharusan.
Ikan di Sungai Kecil: Subjek yang Berhasrat pada Perjalanan
“You never
look at me from the place at which I see you” (Lacan, 1999).
Jika
Decrates menawarkan "saya berfikir maka saya ada" dan Jacques Lacan
menawarkan "saya berfikir maka saya tidak ada" maka mungkin Chair
menawarkan "Saya berhasrat maka ruang ada" . Setidaknya hal itu yang
bisa ditangkap dari puisinya yang berjudul Aku
Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil Ini. Ikan kecil dalam puisi seakan menjadi
manifestasi subjek Chair yang berhasrat pada perjalanan. Seperti apa yang
dikonseptualkan oleh Zizek yang menempatkan subjek pada garis ”antara”. Subjek
dalam puisi ini tersublimasi berupa ikan kecil mengafirmasi lackness –
kekurangan/ketidakcukupan subjek akan ruang yang statis, sehingga ikan kecil
yang berada di aliran sungai paling nurani muncul sebagai subjek yang ingin
dibentuk melalui transendensi penempatannya ke dalam ”ruang kosong”.
(Kristiatmo: 2007)
Aku telah
jadi ikan di sungai kecil ini
mengawasi
pejalan kaki di jembatan tua
dari dasar
air paling nurani
dan suara
nyanyian nelayan di tepian
menyenandungkan
kesunyian purbawi
membawaku
terapung ke permukaan
lalu mabuk
dalam kefanaan
Dari
dasar air yang serupa nurani ikan kecil seakan belajar untuk berhasrat dari
pejalan kaki yang melintas melewati jembatan tua. Pejalan kaki menggiring ikan
melakukan perjalan menuju permukaan dan meninggalkan tempat yang mungkin
merupakan tempat yang paling nyaman dimana si ikan kecil mendapatkan kepenuhan
dari air nurani yang berada di dasar sungai. Setelah sampai ke permukaan ikan
kemudian menjadi mabuk akan kefanaan. Candu yang diberikan oleh Chair yang
membuat si ikan kecil menjadi mabuk melalui manifestasi pejalan kaki yang
diamati oleh si ikan kecil. Tindakan melihat si ikan kecil merupakan dorongan
untuk melihat (scopic drive). Oleh karena itu, pengawasan ikan kecil tidak lagi
semata berada pada posisi si ikan kecil, tatapan tersebut adalah tatapan yang
lain. Dengan tatapan itu si ikan dapat mendengar nyanyian nelayan, bahkan
dengan tatapan tersebut si ikan kecil dapat menyenandungkan kesunyian purbawi.
Dapat disimpulkan bahwa pengawasan si ikan kecil berbeda dengan pengawasan
indrawi. Pengawasan yang dilakukan ikan kecil menawarkan sebuah kekosongan bagi
subjek, sehingga muncul usaha-usaha guna meraih kekosongan dengan berbagai
macam cara.
Kekosongan
yang abadi oleh Chair dimanifestasikan melalui perjalanan dalam puisi-puisinya.
Dalam puisi yang berjudul Selat Madura,
Chair menawarkan antar ruang yang muncul diatara rumah dan bukan rumah. Puisi
ini lebih "bercerita" akan Selat
Madura dan bukan Madura yang
sejatinya merupakan ruang. Jika yang lain lebih menitikberatkan bahwa selat
yang hanyalah menjadi semacam penghubung dimana tidak ada ruang yang dapat
ditulis secara naratif. Chair menawarkan bahwa ruang hanya muncul ketika
seorang subjek berhasrat. Hasrat Chair yang dibangun di dalam kekosongan
bertransformasi aktif bersama subjek sehingga memunculkan ruang yang
bertansformasi subjektif.
Keberangkatan = Kekacauan Ruang
Ke barat ia
pergi, arah yang ditunjuk perantau abadi
di pantai
rumah telah terbakar, pulau dikepung api
laut pasang
memberi isyarat untuk segera menyeberang
angin
seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah
nasihat-nasihat
yang hidup ribuan abad, serupa gelombang:
“Rumah
sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah
dan tempat
singgah. Maka pergilah!”
Walaupun
dimensi rumah dan pulau dalam stanza pertama tidak digambarkan secara detail,
namun secara indrawi rumah di atas pulau dapat disimpulkan bahwa dimensi rumah
tidak sama dengan pulau dalam arti rumah tidak akan sebesar pulau. Dalam puisi
kebakaran yang terjadi pada rumah dan akhirnya dapat menyebabkan seluruh pulau
ikut terbakar, rumah juga digambarkan dalam puisi jika rumah berada di pantai
yang notabene merupakan sumber air yang dapat memadamkan api secara seketika. Stanza pertama puisi Chair
mentransformasikan rumah dan pulau menjadi sesuatu yang berbanding lurus, jika
rumah terbakar maka pulau terbakar, jika rumah bisa untuk bercinta maka pulau
juga bisa untuk bercinta. Padahal di bagian belakang pulau mungkin masih ada
tempat yang belum terbakar dan bisa untuk ditempati. Sebuah subjektivitas akan
ruang dalam puisi sepertinya menjadi sebuah titik tolak sebuah keberangkatan
abadi.
Perjalanan
yang dilakukan di dalam puisi melalui sebuah gerbang yang merupakan
pengejawantahan yang berwujud dari kabut. Gerbang sejatinya adalah bangunan
yang menjadi pintu bagi tembok pembatas yang mengelilinginya. Tembok membatasi
tempat yang ada di luar dan juga ruang yang ada di dalam. Gerbang merupakan
penengah antara tempat di dalam dan di luar ruang. Wujud gerbang yang hanya
kabut transparan dan tidak dapat memberikan batasan secara fisik terhadap ruang
bisa dibilang gagal sebagai penengah atara ruang luar dan ruang dalam. Hal ini
jelas akan memunculkan instabilitas bagi siapa saja yang ada di gerbang
tersebut karena terjadi penumpukan antara tempat yang di dalam dan ruang yang
ada di luar. Siapapun yang ada di sana pasti akan melihat dunia sebagai sebuah
dunia dengan ruang yang absolut dan kemudian membandingkannya dengan dengan
segala keterbatasan yang ada di dalam tempat di dalam tembok.
Perjalanan
merupakan usaha untuk melarikan diri dari batas-batas yang disematkan oleh
tempat. Batas yang disematkan dalam puisi ini adalah api yang membatasi rumah
dan juga pulau, sehingga laut yang pasang pun membisiki untuk melakukan
perjalanan. Perjalanan ini tidaklah sama dengan perjalanan untuk menemukan
ruang absolut dimana dapat melakukan fiksasi atas ruang tersebut hal ini dapat
dilihat dari bisikan nenek moyang yang menjelajah waktu dan muncul dalam puisi
sebagai nasehat hidup yang berbunyi "Rumah sejati ada dalam diri, bukan
sekadar tanah dan tempat singgah. Maka pergilah" . Perjalanan dalam puisi
ini lebih pada usaha untuk melampaui batas-batas dan pemetaan dan pencarian
seuatu yang lebih sesuatu yang jauh lebih cair. (Upstone, 2009)
Daftar Rujukan
Lacan,
Jacques. 1999. The Four Fundamental Concepts of Psycho-Analysis. New York: W.W.
Norton and Company.
Kristiatmo,
Thomas.2007. Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Upstone,
Sara. 2009. Spatial Politics in The Postcolonial Novel. England: Ashgate
Publishing Limited.
terima kasih bagi ilmunya
BalasHapusWow, what a beautiful poem. I like it very much. I am very enthusiastic about the collection of poetry that I found. Thank You
BalasHapus