Hujan Menggali Tanah
Kali ini hujan kembali menggali tanah
Diam-diam halaman bermimpi basah
Kudengar bunyi katak mendentum lebih parau dari isakku
Sebab setiap kesunyian rintihan lain bukan bisikan bisu
Begitu saja hujan lenyap dari pandangan
Musim demi musim lesap ke dingin ingatan
Gerimis telah melahirkan letih di perjalanan ini
Berhentilah menggali, kini tanah bukan lagi bumi
Tapi serpihan-serpihan napasku yang lembab
Yang tersisa pada lempengen gelap
Di balik dingin kusaksikan tangan hujan
Begitu keras mencengkeram, bagai malam menikam kesendiriann
Sungguh basahmu sampai pada lumut hatiku
Membasuh ingatan hingga putih seluruh
Tetapi kini tetaplah tersedu lenguh bisu
Sebab tubuhku ringkih terbelah separuh
Alamak, bulir-bulir air mataku kini tumbang di jalanan
Daun dan embun bertabur nyeri sepanjang tangisan
Mencipta mawar-mawar luka yang gemetar
Lantar terkapar liar saling melingkar
Hujan memang kejam, setiap bertandang runcing merajam
Tapi bagi alam hujan selalu setia menyiram
Meski acapkali mengalir di sungai kecemasan
Menghanyutkan kenangan yang tumbuh di lereng perasaan
Hujan terus-menerus menggali tanah
Menumbuhkan semak rindu di sepanjang tubuh
Tuhan! Apakah ini hanya bandang basah
Tapi kenapa air mata mengalir tak kunjung sudah, aduh!
Diam-diam halaman bermimpi basah
Kudengar bunyi katak mendentum lebih parau dari isakku
Sebab setiap kesunyian rintihan lain bukan bisikan bisu
Begitu saja hujan lenyap dari pandangan
Musim demi musim lesap ke dingin ingatan
Gerimis telah melahirkan letih di perjalanan ini
Berhentilah menggali, kini tanah bukan lagi bumi
Tapi serpihan-serpihan napasku yang lembab
Yang tersisa pada lempengen gelap
Di balik dingin kusaksikan tangan hujan
Begitu keras mencengkeram, bagai malam menikam kesendiriann
Sungguh basahmu sampai pada lumut hatiku
Membasuh ingatan hingga putih seluruh
Tetapi kini tetaplah tersedu lenguh bisu
Sebab tubuhku ringkih terbelah separuh
Alamak, bulir-bulir air mataku kini tumbang di jalanan
Daun dan embun bertabur nyeri sepanjang tangisan
Mencipta mawar-mawar luka yang gemetar
Lantar terkapar liar saling melingkar
Hujan memang kejam, setiap bertandang runcing merajam
Tapi bagi alam hujan selalu setia menyiram
Meski acapkali mengalir di sungai kecemasan
Menghanyutkan kenangan yang tumbuh di lereng perasaan
Hujan terus-menerus menggali tanah
Menumbuhkan semak rindu di sepanjang tubuh
Tuhan! Apakah ini hanya bandang basah
Tapi kenapa air mata mengalir tak kunjung sudah, aduh!
Yogyakarta, 2015
Berpayung Bulan
Tengah malam aku merasa sendirian
Bersandar pada gubuk kesunyian
Segenggam angin pun terasa habis ditelan daun yang rimbun
Tuhan, ternyata embun di atas daun begitu sejuk dan santun
Malam tiba kian merangkak
Melenyapkan segala yang tampak
Pelan dan pelan kuselami tubuh hingga dasar badan
Hingga air mataku jatuh bergelimpangan dalam kesedihan
Di sana, kutatap gelap dari kejauhan
Dari celah sepi beserta kesunyian
Ternyata aku tidak sendirian, Tuhan! tidak sendirian
Kutemukan tubuh ini, terisak berpayung bulan
Bersandar pada gubuk kesunyian
Segenggam angin pun terasa habis ditelan daun yang rimbun
Tuhan, ternyata embun di atas daun begitu sejuk dan santun
Malam tiba kian merangkak
Melenyapkan segala yang tampak
Pelan dan pelan kuselami tubuh hingga dasar badan
Hingga air mataku jatuh bergelimpangan dalam kesedihan
Di sana, kutatap gelap dari kejauhan
Dari celah sepi beserta kesunyian
Ternyata aku tidak sendirian, Tuhan! tidak sendirian
Kutemukan tubuh ini, terisak berpayung bulan
Yogyakarta, 2015
Subaidi Pratama, lahir di Sumenep, 11 Juni 1992. Puisinya dimuat di banyak media. Dan terkumpul dalam antologi Festival Bulan Purnama Trowulan Mojokerto 2010, “Bersepeda ke Bulan” Indopos 2013. Mahasiswa UNITRI Malang.
Bagus terasarapi.
BalasHapus