Perempuan yang Mencongkel Matanya di Rel Kereta
Bukan
luka yang aku takuti
Melainkan
harapan yang terlanjut basi
Di
rumahku sendiri
Yogya,
2015
Di
Kamar Laut
Mataku
sungguh perih
Saat
ombak mencoba menerkamku
Meski
tak berduri runcing
Tapi
hatiku jadi tercuri
Sementara
ikan-ikan terus mencumbuku
Lalu
menarik tanganku
Menggigit
rasaku
Tubuhku
terhempas jauh gelombang rasa
Aku
seperti mati di kamarku sendiri
Tubuhku
tercincang wkatu
Mulutku
ngingau karena cuaca gelap
Sementara
wkatu begitu cepat
Mencipta
harap
Apalagi
yang kau butuh
Segala
yang aku punya kini
Tenggelam
dalam lautan
Hanya
tinggal sepotong hati
YangTuhan
kasih
Pekol
Kita
serupa kunang-kunang di malam hari
Mendiami
sepi di punggungmu
Tubuhku
rapuh dan dahiku banjir harapan
Lalu
seorang anak kecil berlompatan ke
semak-semak
belukar
Kupu-kupu
terbang membawa
warna
kehidupan
Di
sinilah, awal mula aku mengukir
tubuhmu
Sepanjang
wkatu di matamu
Lalu
mulailah aku menanam rindu
Di
kedua kakimu yang lengkung
Memetik
doa dari kebekuan batu
Barangkali
Barangkali
kita tak perlu menyesali
Sebab
wkatu tak pernah kembali
Kenangan
hanyalah kado dari ingatan
Terkubur
sepanjang harap
Anak
panah yang berangkat dengan gagah
Membidik
mangsanya dengan tajam
Barangkali,
begitulah hidup dalam
kurungan
rindu
Berlalu
lalu jadi abu masa lalu
Bebek
Seeperti
anak kecil yang digendong ibunya
Mengajariku
tentang ketenangan dalam
sebuah
dekapan
Sementara
di matamu, aku berlayar
bersama
rindu
Mengembara
sabar dari keutuhan waktu
Entah...
Pada
usia berapakah kutemukan kematangan
rindu
di hatimu
Di
usiamu yang bertambah
Kakimu
semakin liar melangkah
Terbang
dan berlari ke ladang tetangga
Menjadi
kerjaan iseng-iseng saja
Kala
matahari membuka pintu dunia pagi
Aku
menaruh harap di setiap pagi
Kuelus
rindu dalam tubuhmu
Kuselipkan
doa dalam jejak kakimu
Maka
pulanglah bila waktunya pulang
Biar
gelisah pun tidak menjadi tamu setia
Pulanglah
tanpa harus gelisah
Sebagaimana
seorang ibu menyambut
anaknya
penuh bahagia
Lalu
Kau
akan menyuruhku membakar sepi dari tahun ke tahun dengan rindu
Sementara
di kejauhan sana
Kau
seperti bianglala kehujanan
Daun-daun
gugur dari matamu
Sebagaimana
hari terkubur dalam waktu
Adakah
yang lebih berharga dari
sebuah
rindu?
Lalu
kau malah menyuruhku mencangkul
kenangan
itu
Dengan
lidah yang mulai keriput
Lalu
bakar mataku dengan bibirmu
yang
manis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar