Tambangan
orangorang menangisi pembaringan berselimut kafan.
inginnya mengembalikan waktu. mengulang masa lalu. nyanyian riang membahana
dalam riak tangis menyapu kenangan. bau tanah menyeruak seperti bau kembang
tujuh rupa dipasang di setiap sudut ruangan. sunyi tibatiba menyeret halaman
panjang ke telaga.
wujud kepasrahan diri merelakan tiada. uang receh
diberikan untuk mereka yang datang, bukan sebagai pengemis, tapi relawan tangan
tuhan sebagai penghibur hati yang gaduh. ayatayat suci pun mengalun demi
keselamatan manusia dari amarah. ada yang sibuk mencatat kepulangan dan pergi
meninggalkan kenangan.
orangorang pada pergi ke halaman mengemas sunyi
dimandikan. lagilagi berharap waktu kembali menabur kembang. tangantangan
mengurapi tubuh dibiarkan telanjang sambil mulut berucap zikir dan gema
nyanyian ilahi. ruh menatap dari arah jalan tempat kapur dan kemenyan dibuang
agar benarbenar sampai pada halaman pemujaan.
Yogyakarta, 2011
Rébbá
:malam Jumat
malam jumat; ruhruh bújú’ berpulang ke tanah
asal. pun yang mati akan mengintip matahari menggeser tubuhnya, membenamkan
asap pecut yang meliut ke angkasa, tubuh merah kuning melesat dari sela kerak
tanah kering coklat.
yang berdiam dalam diri—merekam malam di arwah hingga
sunyi di hati abai pada
rumah gaduh, bertukar nasib, berebut dupa yang disulut
demi sang jagat.
malam jumat adalah malamnya, malam setubuh ruh.
malam yang damai, rumah pun jadi ramai; butiranbutiran
nasi dan runcing doadoa menembus langit kelewat pekat. pun bau dupa menyesap ke
ruangruang senyap, bagai tangantangan takdir terulur -menepis marah bánakéron
yang tak pernah lelah memamah tubuh. tulangtulang remuk menoreh luka-dendam
di dada sampai rébbá mengurai riwayat kesucian hingga kehidupan kembali
dibangkitkan.
Taman Sare, 2009-2010
Ayah
yah, aku muak dengan airmataku tumpah. di jalan
airmata, di sekolah airmata, di masjid dan di mana saja aku ada adalah
airmataku terjatuh. perut rasanya perih sekali melanjutkan perjalanan ini.
tenggorokanku kering memuntahkan isi perutku. keringatku tertinggal di
jalanjalan, warnanya kuning berbau asin, seperti keringatmu ayah saat kau
pulang dari sawah sehabis menanam benihbenih kerinduan untuk ibu dan anakmu.
yah, tengoklah negeri anakmu dengan doa keperkasaanmu.
negeri yang kau simpan dalam hatimu membentuk kenangan dan kisah anak rantau.
tapi airmataku itu ayah airmata ibu yang membuatku bertahan menahan
sampahsampah kota dari sisasisa luka di dadaku.
engkau ayah, anakmu seperti dirimu. mengikuti musim
dalam sepekan. sumursumur di ladang itu kau bikin dari keringatmu sendiri.
sedang ibu memasak airnya tanpa lelah —untukmu, sampai sumursumur itu kering,
panenan tak ada. ibu memanggilmanggilmu dengan tangisku di dapur yang sudah tak
keluarkan asapnya.
yah, bila kutitipkan hidupku pada angin, kau akan temui
aku di ujung jalan tanpa suara, tanpa menanyakan apaapa tentang keadaanku. lalu
kutitipkan sisa airmata darahku untuk ibu tentang rinduku beraksara biru.
Jakarta-Yogyakarta, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar