Salam sastra Indonesia!
Salam, salam, salam...! Semoga Sastra Indonesia dalam keadaan sehat dan selamat
dari campur tangan-tangan kotor para politisi dengan kepentingan politiknya,
selamat dari uluran tangan proyek-proyek kekuasaan yang menjadi lumrah
diam-diam! Amin...
Pada kesempatan kali,
redaksi Arsip Puisi – Penyair Madura menghadirkan puisi-puisi karya Weni
Suryandari. Berjumlah 3 buah judul yang diambil dari blog pribadinya. Masing-masing
berjudul “Menunggu Bulan”, “Air Mata Bunda”, dan “Tuhan Ada Dimana”.
Dengan perasaan senang dan
bahagia, redaksi memulai pemostingan puisi-puisi karya penyair Madura dengan
sedikit catatan yang teramat pendek dan masih jauh dari teori-teori kritik
sastra sebagaimana yang diterapkan oleh para kritikus seperti H.B. Jassin ata
akademisi seperti Prof. Faruk. Catatan yang teramat singkat ini hanya sebatas
kesan yang semoga tidak jauh melenceng dari apa yang dimaksudkan oleh si
penyair.
Pertama, pada puisi Menunggu
Bulan, yang ditulis unuk sebuah kota bernama Solo. Bait pertama puisi ini
dimulai dengan citra indra pendengaran, penciuman, dan penglihatan sekaligus
yang rasanya begitu kental. Coba dengarkan
suara Gamelan mengalun panjang dari kota Solo Dalam rendaman kembang setaman. Wahai betapa, suara gamelan yang
alunnya benar-benar memanjang mempertunjukkan sebuah tarian tradisional meskit
tak disebutkan nama tariannya. Namun benar, itu tampak terlihat dalam mata
batin puisi. Apalagi penciuman disodori setali Aroma dupa yang menggantung
di udara, terasa nikmat dan berdiri ini bulu kuduk – meminjam ungkapan
pemiliki nama Penyair Bulu Kuduk, Acep Zam Zam Noer. Dan baris keempat di bati pertama ditutup
dengan satu poemandangan Rupa-rupa wajah
kota, bulan Suro – wajah kota Solo.
Ya, kota Solo yang
melahirkan Penyair Besar berjuluk Burung Merak,
si W.S. Rendra dan Penyair Peluru yang hilang bernama Wiji Thukul. Kota Solo
yang oleh penyair disebutkan sebagai “menur”. Dengan ungkapan terdalam : Sejak dilahirkan, leluhur bertuah / ; jadilah engkau menur, // darahmu nyesap di tanah / tempat ari-ari dikubur. Entah leluhur yang mana (tentu mesti membuka
sejarah berdirinya kota Solo lagi – nanti di kesempatan yang lain. Jika ada
yang ingin berbaik hati menambahi,
buatlah catatan tambahannya dalam kolom komentar). Namun dapat disimak esensi
yang hendak penyair sampaikan sekelumit sejarah mengenai lahirnya kota Solo,
meski masih belum menujukkan nama peristiwa, waktu dan tokoh yang konkret. Barangkali
karena ini adalah puisi bukan sejarah yang ketat dalam penulisannya.
Lanjut pada bait keempat,
penyair menyuarakan suatu ajakan atau larangan untuk melihat lagi sejarah –yang
mungkin kelam: pembaintain di tepi sungai bengawan- dengan sebab si aku lirik
sedang melihat dirinya sendiri pada sejarah silam. Dengan santunnya si penyair
bersyair : Usah hiraukan wajah bengawan
/ Sebab di situ aku bercermin / Wajah kota masa lalu, warisan / abadi yang hampir hilang, kering. Sebagai
pembaca yang terbilang awam, saya menemukan dua peristiwa sekaligus di baik
keempat yang berisi wmpat baris dengan rima yang begitu kuat (akhiran an). Peristiwa pertama adalah sebuah
ingatan sebagai pembca pada sejarah kota Solo dan Bengawan (sungai Bengawan
Solo) di masa lalu-sekarang dan peristiwa antara Bengawan dengan si Aku lirik.
Sejarah kota Sola terus
berlangsug sampai sekarang, Solo kian populer sebagai kota yang melahirkan
banyak tokoh besar dan ternama di negeri ini, (maaf) sebut saja yang paling
mencolok mata adalah Presiden Jokowi. Namun penyair mencoba melihat dari sudut
pandang seorang penyair yang memiliki kepekaan terhadap realitas di balik peristiwa
yang dihaturkan dalam pemberitaan baik koran maupun tv bahkan dalam buku
sejarah sekalipun. Mari kita simak dengan khidmat cara sang penyair ini dalam
memandang kota Solo dewasa ini: Orang-orang datang melayat, / Pada pusaran tahta, martabat / Kasunanan yang diberi rahmat / ; tapi kesumat dan amarah / Mengubur tahta yang diberi amanat / ; duka
merangsek gerbang keraton. Terlepas dari segala makna yang hendak penyait
sampaikan di bait kelima ini, saya hanya ingin menyampaikan kesan pada yang
dasar-dasar saja, seperti penjagaan rima yang begitu ketatnya. Selebihnya ada
pada pandangan masing-masing pembaca yang budiman dan para kritikus cerdik dan
pandai cendikia.
Akhirnya, si penyair
memberikan buah kesadara yang segar di bait terakhirnya: Keriangan hanya milik masa kanak / bertumbuh dari sesaji babar bayi /Hingga
kutunggu bulan matang / menjadi menur sejati, pelipur lelaki / ; sigaraning
nyowo. Sampai disini, saya tutup catatan kecil tak terhormat ini untuk
dijadikan bahan pertimbangan bagi para pembaca di dalam blog arsip puisi
penyair Madura ini. Salam tabik yang tiada terkita.
Menunggu
Bulan
; Solo
Gamelan mengalun panjang
Dalam rendaman kembang setaman
Aroma dupa menggantung di udara
Rupa-rupa wajah kota, bulan Suro
Dalam rendaman kembang setaman
Aroma dupa menggantung di udara
Rupa-rupa wajah kota, bulan Suro
Sejak dilahirkan, leluhur bertuah
; jadilah engkau menur,
; jadilah engkau menur,
darahmu nyesap di tanah
tempat ari-ari dikubur
tempat ari-ari dikubur
Usah hiraukan wajah bengawan
Sebab di situ aku bercermin
Wajah kota masa lalu, warisan
abadi yang hampir hilang, kering
Sebab di situ aku bercermin
Wajah kota masa lalu, warisan
abadi yang hampir hilang, kering
Orang-orang datang melayat,
Pada pusaran tahta, martabat
Kasunanan yang diberi rahmat
; tapi kesumat dan amarah
Mengubur tahta yang diberi amanat
; duka merangsek gerbang keraton
Pada pusaran tahta, martabat
Kasunanan yang diberi rahmat
; tapi kesumat dan amarah
Mengubur tahta yang diberi amanat
; duka merangsek gerbang keraton
Keriangan hanya milik masa kanak
bertumbuh dari sesaji babar bayi
Hingga kutunggu bulan matang
menjadi menur sejati, pelipur lelaki
; sigaraning nyowo
bertumbuh dari sesaji babar bayi
Hingga kutunggu bulan matang
menjadi menur sejati, pelipur lelaki
; sigaraning nyowo
Januari, 2014
Air Mata
Bunda
Di lumbung maut angin kembara
Mengirim percik cahaya di dadamu
Melesat, menghunjam dipacu waktu
Mengirim percik cahaya di dadamu
Melesat, menghunjam dipacu waktu
Isakmu beriak duka, luka ini begitu tanak
Saat rumah serupa ampas kopi, retak
dan puntung rokok berteman sunyi,
Beku dari sapa, romansa dan amarah
Saat rumah serupa ampas kopi, retak
dan puntung rokok berteman sunyi,
Beku dari sapa, romansa dan amarah
Air mata bunda
Di jejak sejarah, berdarah
Menggenang di kolam jantung
Ketika azan melecut nafas
Mengulang degup gelisah bertarung
Membidik zaman yang kian parah
Di jejak sejarah, berdarah
Menggenang di kolam jantung
Ketika azan melecut nafas
Mengulang degup gelisah bertarung
Membidik zaman yang kian parah
Maret 2010
Tuhan Ada
Dimana
Terlalu lama aku menanak tubuhku sendiri
Tak pernah benar menjadi nasi di sudut nyeri
Angin mati, malam bisu, bulan kaku
Tak pernah benar menjadi nasi di sudut nyeri
Angin mati, malam bisu, bulan kaku
Nasib temaram tak selalu memintal ketabahan
Tuhan ada dimana, saat dada ini ngucur darah
Bibir terkatup pasrah
Mata terpejam penat
Bibir terkatup pasrah
Mata terpejam penat
Terlalu lama aku menampung peluh
Dan kabut hujan dari bola mataku
Kening ditembus panah lidahmu
Belum juga aku mati
Dan kabut hujan dari bola mataku
Kening ditembus panah lidahmu
Belum juga aku mati
Tuhan ada dimana
Jika urat nadiku masih berdenyut?
Jika urat nadiku masih berdenyut?
10 November 2011
Weni
Suryandari: Perempuan berdarah asli Sumenep,
lahir di Surabaya 4 Februari. Sehari-harinya ia bekerja sebagai guru Bahasa
Inggris di SD Generasi Azkia, Bojongkulur, Bogor.
Menulis baginya adalah
laksana mengalirkan seluruh kegelisahan yang tak bisa dibahasakan secara lisan.
Dua pertiga waktu yang ada dalam satu hari dipergunakan untuk profesinya
sebagai guru dengan segala aktivitas yang mewajibkannya secara profesi. Sisa
waktu yang ada kemudian dipakainya untuk menulis, baik cerpen ataupun puisi.
KABIN PATEH adalah sebuah buku kumpulan cerpen pertamanya yang diterbitkan oleh
QAF Books, 2013. Penulis pernah memenangkan kategori terpuji dalam sebuah
sayembara novelet di Tabloid Nyata tahun 2008, lewat judul “Kesetiaan Seorang
Sri”. Karya cerpennya juga termuat dalam Antologi Cerpen Tinta Wanita 24 Sauh
(Esensi Erlangga). Karya-karya cerpen lainnya terbit di berbagai media cetak,
seperti Suara Karya, Majalah Kartini, Tabloid Masjid Nusantara, Tabloid Nova,
Jurnal Nasional, dll. Selain itu penulis juga telah menerbitkan beberapa buku
antologi puisi, antara lain: Merah Yang Meremah (2010), Perempuan dalam Sajak
(2010), Kartini 2012 (2012), Antologi Angkatan Kosong-kosong (Dewan Kesenian
Tegal, 2011), Kitab Radja dan Ratoe Alit (KKK, 2011), dan Beranda Senja (2010).
Cerpen dan Puisinya juga termuat dalam Antologi 3 Tahun Komunitas Sastra Reboan
(2010) dan Cinta Gugat (Antologi Puisi Sastra Reboan, 2013)[]
Diposting 15
Februari 2012 di Blog Perjalanan Weni : perjalananweni66.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar